Akhir Pekan di Kota Baru Parahyangan

Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-02-28

Memasuki Kota Baru Parahyangan, semua kendaraan akan melewati jalan utama yang melingkari bundaran dengan bangunan di tengahnya. Awalnya tak jelas bentuk bangunannya, tapi setelah melihat bagian runcing di atas atapnya barulah saya sadar, itu adalah jam matahari.



Bangunan yang merupakan markah tanah Kota Baru Parahyangan ini merupakan jam matahari terbesar di Asia Pasifik dan ternyata sekaligus sebagai science center. Wah, pasti seru kalau bisa melihat bagian dalamnya. Sayangnya mobil kami hanya melewati, jadi tak bisa melihat bagaimana bayangan ujung runcingnya bergerak menunjukkan waktu. Dari sinilah perjalanan akhir pekan 12 blogger #ExperienceKBP dimulai.





MENGUSUNG BUDAYA & SEJARAH

Kota Baru Parahyangan menjadi solusi pengembangan kota modern. Dari 1.250 hektar lahan kota satelit di barat Bandung ini, baru sekitar 350 hektar yang dibangun. Berupa jalan raya yang lebar-lebar, hunian, sekolah, pusat kebugaran, rumah sakit, rumah ibadah, dan fasilitas lain yang dibangun selaras dengan lingkungan.



Kota ini menjadi kota mandiri yang memiliki gardu listrik, sumber air, dan pengolahan limbah. Kalau diperhatikan memang tak tampak selokan terbuka. Air hujan tak akan menggenangi jalanan karena akan langsung mengalir masuk ke gorong-gorong.



Hunian dibangun dalam sistem cluster yang disebut tatar. Dalam bahasa Sunda, tatar berarti tanah. Setiap tatar hanya mempunyai satu gerbang masuk, yang dijaga selama 24 jam. Setiap penghuni memiliki kartu akses, sementara bagi para tamu yang berkunjung akan dimintai kartu tanda pengenal yang kemudian ditukar dengan kartu khusus tamu.



Saya iseng membaca nama-nama tatar yang ada. Wangsakerta, Pitaloka, Ratnasasih, Jingganagara, Rambutkasih, Larangtapa, Banyaksumba, Mayangsunda, Naganingrum, Candraresmi, Purbasari, Tejakancana, Kamandaka, Titiswari, Subanglarang, Kumalasinta. Beberapa nama pernah saya dengar, tapi sebagian besar terasa asing di telinga. Padahal ternyata nama-nama itu semuanya berasal dari tokoh-tokoh legenda Pasundan. Wah, malah jadi penasaran deh, ingin mencari tahu setiap kisahnya.






Setiap tatar difasilitasi dengan taman bermain di lahan terbuka. Kami mampir ke salah satu taman bertema bunga. Ada papan dengan gambar berbagai bunga beserta nama-namanya. Sambil berjalan pun saya memperhatikan lintasan terbuat dari semen dengan bebatuan yang disusun berbentuk bunga. Apik dan rapi. Rindang di bawah rimbunnya pohon-pohon besar.



Bentuk dan tipe rumah di setiap tatap tatar juga berbeda. Tapi yang paling menarik bagi saya adalah Bandoeng Tempo Doeloe yang terletak di pinggir jalan utama. Bentuk bangunan khas Eropa dengan serambi depan, kuat dengan paduan lengkung dengan garis tegas gaya artdeco. Bentuk bangunan seperti ini masih bisa ditemui di Bandung, seputaran Cipaganti, Cilaki, Riau dan Dago.



Setiap rumah mempunyai halaman terbuka tanpa pagar. Terus terang saya sempat mempertanyakan, di mana letak septic tank-nya? Ternyata letaknya di halaman depan dan ditutup rapi dengan rumput. Dengan sistem biofil, setiap septic tank diberi bakteri pengurai. Semua buangan limbah rumahan akan terurau dan kembali jadi air bersih yg aman diserap tanah.



SEHAT BUGAR DI ALAM TERBUKA

Aura sehat langsung terasa saat kami memasuki Bumi Pancasona. Di pusat kebugaran ini banyak fasilitas yang tersedia. Mulai dari kolam renang, gym, aikido, yoga, zumba, sampai panahan.



Kecuali kolam renang dan futsal, kegiatan berolahraga dilakukan di dalam ruangan yang dirancang sedemikian rupa hingga memiliki sirkulasi udara cukup baik, bahkan tanpa pendingin ruangan pun udara sejuk tetap terasa. Dari satu ruang ke ruang lain dihubungkan dengan tangga dan selasar dengan kontur naik turun. Jadi sebelum sampai di tempat olahraga keringat sudah mengucur lebih dulu.








Memasuki ruang bulutangkis, mulut saya menganga melihat 4 lapangan bulutangkis yang tersedia. Di ruangan berbeda hanya ada satu lapangan besar yang digunakan untuk basket, futsal, dan tenis. Berhias garis-garis dengan warna berbeda sebagai batas lapangan. Wah, kalau saya main di situ kira-kira bakal bingung nggak, ya?



Keluar dari pusat kebugaran ini mata saya langsung tertuju ke arah parkiran sepeda. Sebagai penyepeda senang rasanya melihat sepeda memiliki tempat parkir khusus. Tidak hanya disempilkan di sudut terpencil lahan parkir. Di Kota Baru Parahyangan, keberadaan sepeda memang diakui. Di sepanjang jalan raya tersedia jalur sepeda. Jadi sedari awal masuk ke Kota Baru Parahyangan saya langsung bertanya-tanya, di mana saya bisa menyewa sepeda?







KASUR EMPUK & BANGUN PAGI

Kami menginap di Mason Pine Hotel, satu-satunya hotel di Kota Baru Parahyangan. Rere @Atemalem jadi teman sekamar saya kali ini. Dari 5 lantai dengan 135 kamar, kamar kami berada di lantai 4. Begitu membuka pintu menuju teras, langsung bisa memandang lembah dan pegunungan di kejauhan, pucuk-pucuk pohon pinus, dan kolam renang.
Udara yang sejuk dan kasur yang empuk mengundang untuk dipeluk. Tapi daripada menggeletak di kasur, kami berdua lebih memilih menjelajah hotel.







Kami masuk ke taman pohon pinus di belakang hotel. Ada jalur berbatu-batu yang digunakan untuk refleksi kaki. Bila berjalan di atas bebatuan itu tanpa alas kaki, rasanya telapak ini ditusuk-tusuk. Bila sakit artinya ada organ bagian dalam yang lemah. Di ujung jalur ada sebuah papan gambar yang menampilkan peta telapak kaki yang berhubungan langsung dengan organ-organ tubuh. Duh, jadi deg-degan, karena selama saya berjalan di atas batu, kok rasanya sakit semua ya? Waaah....






Acara yang juga ditunggu adalah makan malam. Walaupun perut masih terasa penuh karena makan siang Porsi Kenyang di Planet Drinks, dilanjutkan dengan ngemil sore-sore Menghabiskan Mojitos di Ekuator, tapi toh jam 20.00 kami semua sudah duduk rapi di Pine Bistro di lantai dasar Mason Pine Hotel yang sudah menyiapkan hidangan steam boat. All you can eat pula. Baiklah, lupakan sejenak persoalan berat badan, ya.



Soal makanan, kami juga sempat mencicipi sajian dari restaurant yang juga berada di hotel ini, Fok Luk Sau. Dari 5 jenis dim sum yang disajikan, ceker berbumbu manis ternyata paling jadi rebutan.









Ketika akhirnya masuk ke kamar menjelang tengah malam, tampaknya kami memang tidak boleh langsung tidur. Pendingin ruangan di kamar tak menyala. Saya malah berfikir untuk tidur dengan pintu teras terbuka. Tapi Rere sudah langsung melaporkan masalah pendingin ruangan pada pihak hotel. Belum sampai lime menit, dua orang staf maintenance hotel datang dan langsung sigap memperbaiki. Senang rasanya akhirnya kami bisa tidur nyaman malam itu.



Sayup-sayup suara adzan dan orang mengaji dari Masjid Al Irsyad, di seberang hotel, pertanda subuh sudah datang. Tiba-tiba saya teringat, bahwa pihak hotel sudah menyiapkan sepeda untuk digunakan pukul 6 pagi. Mungkin mendengar saya sibuk bersiap-siap, Rere kemudian membuka selimut dan beranjak dari tempat tidur. Beruntung dia sudah tahu kebiasaan saya ini, karena bagi saya liburan bukan berarti kehilangan semangat pagi. █

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment