Sarita, Kain Titian ke Surga

Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-04-24

Kain bermotif pohon mencuri perhatian di antara deretan kain-kain tenun khas Toraja. Ternyata selain budaya menenun, suku Toraja sudah membatik sejak ratusan tahun yang lalu.



Seperti yang saya lihat di kios-kios cindera mata di Kete' Kesu, Sa'adan To'bara', Lemo, Londa, dan Pallawa. Kain-kain yang penampakannya seperti batik itu dipajang terpisah dari kain-kain tenun tradisional. Disampirkan di batang bambu. Ada yang berukuran lebar, tapi banyak juga yang kecil memanjang 3-4 meter, bahkan lebih. Corak dan motifnya simbolik dengan gaya megalitikum bergambar manusia dan bunga dalam bentuk geometris. Sementara bentuk kerbau dan pohon tampaknya berasal dari pengaruh agama Hindu-Buddha.



Sarita, begitu kain-kain bergambar itu disebut. Suku Toraja percaya pada legenda bahwa kain itu dibawa oleh nenek moyang saat turun dari puya (surga) untuk bermukim di bumi. Tampaknya cocok dengan filosofi pada motif pohon kehidupan (tree of life) simbolisasi penghubung dunia bawah (bumi) dan dunia atas (surga).



Sama seperti membatik, pada proses pembuatan kain Sarita juga ada perintang warna. Biasanya menggunakan malam atau bubur beras. Pewarnaannya bukan dengan dicelup melainkan dengan menorehkan warna menggunakan ranting kayu. Namun sekarang, pembuatan secara tradisional sudah sangat jarang dilakukan. Terkalahkan teknologi cetak mesin.



Menurut info dari pakar batik William Kwan Hwie Liong, Museum Kete' Kesu masih memajang sepotong kain Sarita tertua (1880). Lebar potongannya 50 cm, sedangkan panjang berkisar 1,5 meter saja, sepertujuh dari panjang sebenarnya. Sayangnya, walau sempat berkunjung ke Kete' Kesu saya tak menemukan letak museumnya.






Kain Sarita yang diyakini dapat menolak bala dan memberi berkah kehidupan yang baik, juga dipakai sebagai perlengkapan sebuah ritual adat, seperti pernikahan atau kelahiran bayi. Pada ritual mangrara banua (upacara pemberkatan rumah) dan rambu tuka' (upacara syukuran) kain Sarita akan diikat pada tongkonan (rumah tradisional) atau pada bambu dan ditancapkan di depan lantang (bangunan yang dibuat untuk para tamu dan keluarga) sebagai penunjuk status sosial keluarga.



Pada ritual rambu solo' (upacara kematian), selain diletakkan di atas peti, jika yang meninggal berasal dari keluarga bangsawan, kain Sarita akan dibalutkan pada salah satu kerbau yang disebut parepe, semacam induk (kerbau utama) dari semua kerbau yang dikorbankan. Dulu, kain Sarita yang panjangnya belasan meter malah diikat dari ujung tongkonan ke tanduk kerbau. Suku Toraja percaya, setelah kerbau disembelih, ia akan mengantar arwah, meniti kain Sarita menuju puya (surga).





Dalam ritual-ritual tertentu para parengnge' (pemuka adat) serta patutungan bia' dan tominaa (pemuka agama) mengenakan kain Ma'a. Yaitu kain Sarita yang sudah tua atau penuh sejarah keluarga.



Di kios-kios cindera mata, kain-kain Sarita menggunakan bahan berwarna krem atau cokelat muda. Sementara corak dan motifnya berwarna merah, cokelat, biru. Dijual dengan harga Rp150.000 ‐ Rp400.000. Bila Anda ingin membeli, jangan lupa tanyakan pada pemilik kios mana corak dan motif yang baik dan mendatangkan rezeki, ya. █

Selain kain Sarita baca juga:

>> Sa'dan To'barana', Kampung Tenun di Toraja Utara

>> Tenun Pengikat Kekerabatan Suku Toraja


--------------------


Perjalanan bersama para blogger ini terlaksana atas undangan Kementerian Pariwisata Indonesia. Foto-foto juga diposting di twitter dan instagram dengan hashtag #PesonaToraja #PesonaIndonesia

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment