
"Jamu! Jamuuuuuu!"
Begitu seruan mbok jamu kalau lewat sambil menggendong bakul di punggung, diikat kain gendong menyelempang di bahu. Bakul itu penuh dengan botol-botol besar jamu paitan, kencur, jahe, temulawak, kunyit, asam jawa, madu, juga termos air. Membayangkannya saja sudah membuat punggung terasa pegal.
Pernahkah Anda perhatikan, hampir semua mbok jamu gendong memiliki tubuh yang sehat dan bugar. Biasanya postur tubuh mereka tegap, langsing, walau gemuk namun badan mereka tetap sintal. Kulit mereka mulus, padahal hampir selalu terkena paparan terik matahari. Bukan tidak mungkin ini salah satu khasiat jamu yang mereka konsumsi setiap hari.
Istilah jamu sendiri muncul pada abad 15-16. Berasal dari kata jampi usodo. Jampi yang dalam bahasa Jawa kromo inggil berarti penyembuhan menggunakan ramuan dan ajian. Sedangkan usodo berarti kesehatan.
Kala itu jamu populer di kalangan keluarga kerajaan dan para bangsawan di Jawa. Jamu yang disajikan khusus diracik oleh seorang acaraki. Dibuat dari bahan alami berupa tumbuh-tumbuhan yang memiliki kandungan tertentu.
Memanfaatkan segala macam tumbuhan yang ada di alam, ada 8 komponen yang bisa digunakan untuk pembuatan jamu:
- Akar-akaran
contoh: akar alang-alang - Umbi
contoh: kunyir, kencur, jahe, temulawak - Batang pohon
contoh: kayu manis, secang - Daun
contoh: daun jeruk purut, daun salam - Bunga
contoh: bunga matahari, rosela, lavender - Buah
semua buah yang diracik sebenarnya masuk dalam kategori jamu - Kulit buah
contoh: manggis, mangga, jeruk - Biji
contoh: pepaya, pala
Lambat laun jamu 'keluar' dari keraton dan bisa dikonsumsi oleh rakyat kebanyakan. Seperti digambarkan salah satu relief di candi Borobudur. Orang-orang berkumpul di bawah pohon Kalpataru sambil membuat dan meminum jamu.
Ini menjelaskan bahwa jamu sudah dikenal jauh sebelum obat-obatan berbahan kimia masuk ke Indonesia. Hingga kini masih banyak resep racikan jamu yang sudah berusia ratusan tahun, diwariskan turun-temurun, dan masih bisa dinikmati. █
Sumber: Suwe Ora Jamu