Jayapura, Persinggahan Mahakarya Indonesia
Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2015-09-14
Terbangun dan melihat dari jendela warna biru di cakrawala sangat melegakan hati. Berarti tak lama lagi pesawat akan sampai di Jayapura. Kota persinggahan sebelum rombongan Mahakarya Indonesia melanjutkan perjalanan ke Wamena.
Saat turun dari pesawat Garuda Indonesia, pandangan saya langsung tertuju pada sebuah rumah Kariwari yang menghias halaman bandara Sentani. Rumah khas suku Tobati-Enggreo yang tinggal di tepian danau Sentani ini memiliki bentuk khas, yaitu kerucut persegi delapan. Dipercaya, setiap sisinya dapat menahan angin dari delapan penjuru mata angin.
Mulai dari keluar pintu pesawat hingga menuju tempat pengambilan bagasi, petugas bandara yang berpapasan hingga penjaga toilet yang saya temui menyapa dengan ramah, "Selamat pagi...." menjadi pertanda awal hari yang baik.
Menunggu jadwal pesawat ke Wamena, rombongan Mahakarya Indonesia berkumpul di kafe Coffee Papua, di pojok bandara. Segelas es kopi saya pesan untuk mengimbangi udara Jayapura yang mulai terasa hangat pagi itu. Dari jendela tampak pegunungan Cyclops membentang, puncak-puncaknya yang menjulang sedikit tertutup awan.
Beberapa teman media sedang menuju ke sana, mengunjungi Tugu McArthur, Jenderal yang membawa kemenangan sekutu di wilayah Asia Pasifik pada PD II. Awalnya saya tergoda ikut, namun 45 menit perjalanan menuju ke sana membuat saya ragu karena saya lebih khawatir bila ketinggalan pesawat ke Wamena ha... ha... ha....
Saya memilih ikut mbak Venus @venustweets, dan Bolang @Lostpacker pergi keluar bandara, mencari tulisan 'Bandara Sentani', untuk berfoto sebagai bukti resmi saya sudah sampai di sana. Beruntung Bolang pernah ke Jayapura, ia mengajak kami berjalan kaki ke pasar batu akik yang berada tak jauh dari bandara.
Para pedagang batu akik menggelar dagangannya di tanah, hanya beralaskan karung atau terpal seadanya. Batu-batu yang dijual di sana lebih banyak dalam bentuk bongkahan daripada butiran kecil hasil asahan.
Batangan batu berwarna hijau disusun berjajar rapi, dinamai batu Cyclops sesuai tempatnya digali ‐pegunungan Cyclops. Batu yang juga dikenal dengan sebutan batu hijau lumut ini dijual dengan harga beragam Rp30.000 ‐ Rp100.000 tergantung ukuran panjangnya. Saya dan mbak Venus jatuh cinta dengan batu ini, namun kami putuskan untuk membelinya nanti sekembali dari Wamena.
Di lapak lain tampak sebuah batu bulat berwarna hitam berdiameter sekitar 15 cm. Batu yang mirip bola tolak peluru ini dijual seharga Rp500.000. Batu jahanam, begitu kata penjualnya. Selain dijual dalam bentuk bulat, ada juga yang dibelah dua. Bagian dalamnya juga berwarna hitam, padat sempurna. "Alam yang bikin batu jadi bulat, bukan saya," kata penjual yang tampaknya sudah setengah baya.
Agak menyesal juga rasanya, karena sibuk menghapus peluh yang mengucur deras saya pun tak banyak mengambil gambar. Panasnya udara Jayapura mulai terasa dan kami pun memutuskan kembali ke bandara. Di mana segelas es kopi pasti sudah tersaji. ◼
─────────
Cultural Trip Wamena ‐ Mahakarya Indonesia, dipersembahkan oleh Dji Sam Soe. Bertujuan mengenal lebih dekat kekayaan budaya nusantara dan mengingat kembali jiwa Indonesia yang sarat dengan nilai-nilai luhur bangsa: gotong royong, kegigihan, kesabaran, dan kerendahan hati.
Perjalanan yang diramu oleh Gelar Nusantara ini diikuti oleh 18 peserta, terdiri dari pemenang blog writing competition, pemenang media writing competition, para juri, sejarawan, fotografer, videografer, tim HM Sampoerna, dan tim Imogen PR.
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment