Siap-Siap ke Wamena

Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2015-09-04

Masih beberapa hari lagi keberangkatan saya dengan rombongan #MahakaryaIndonesia dan Gelar Nusantara ke Wamena, ibukota kabupaten Jayawijaya, Papua. Ini akan jadi pengalaman pertama saya pergi ke pedalaman Papua. Kira-kira apa yang perlu disiapkan?


SEBERAPA DINGIN DI WAMENA?

Wamena terletak di lembah Baliem, di ketinggian 1.750 meter di atas permukaan laut, dan dikelilingi pegunungan Jayawijaya. Kabut bukan pemandangan asing di sana karena udara dingin dialami sepanjang tahun.
Soal suhu harus diperhitungkan dengan cermat. Yang jelas, makin banyak pakaian tebal yang dibawa otomatis ransel pun bakal 'membengkak'.



Bila melihat di foto2 yang menampilkan suku Dani tidak mengenakan baju, saya menarik kesimpulan mungkin udara di sana tidak sedingin yang dibayangkan. Walau pasti pada bulan-bulan tertentu suhu udaranya akan turun drastis, tapi yang jelas menurut info saat ini suhunya berkisar antara 11-27 derajat celcius. Artinya masih bisa dibilang sejuk.



MINUM PIL ANTI MALARIA

Ada yang bilang tak ada nyamuk malaria di Wamena, saking tingginya nyamuk pun lelah untuk sampai ke sana ha... ha... ha.... Tapi sebagai pencegahan tampaknya tak ada salahnya minum obat ini sesuai aturan. Daripada terkena malaria, salah satu penyakit yang sekali menyerang akan 'setia melekat' selamanya.



MAKAN APA DI SANA?

Hipere atau ubi jalar, kasbi, dan keladi tinta adalah makanan pokok yang diolah dengan cara direbus atau dibakar. Bila tiba saatnya pesta adat, umbi-umbian ini akan disajikan bersama potongan daging babi yang dibakar di bawah tumpukan batu panas. Tak hanya daging babi, ikan dan udang hasil tangkapan di sungai Baliem pun dikonsumsi.


Nah, untuk yang bermasalah dengan makanan setempat silakan membawa makanan kering sendiri. Misalnya abon atau makanan kaleng, bawalah agak banyak agar teman-teman yang lain juga bisa ikut mencicipi ha... ha... ha....



SERBA MAHAL

Sebagai satu-satunya kota besar di pedalaman Papua, di Wamena pasti semua kebutuhan ada. Namun, harganya memang jauh lebih mahal. Makanan instan dan softdrink dijual dengan harga berlipat. Sebenarnya ini hal yang wajar, mengingat lokasi yang jauh dari pesisir, semua barang pun didatangkan melalui udara, menggunakan pesawat untuk bisa masuk ke lembah. Tentunya tak murah, bukan?



SELALU SOAL COLOKAN LISTRIK

Di Wamena sudah ada PLTM (Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro/Mikrohidro) yang mengambil dari sungai Uwee ‐salah satu anak sungai Baliem‐ yang menghasilkan listrik dan menerangi seluruh kota. Tentunya cukup memadai, walau masih ada giliran 'byar-pet' tergantung debit air sungai.



Sementara hotel tempat kami menginap nanti jauh dari kota, dan masih mengandalkan genset untuk memenuhi kebutuhan listrik. Jadi penggunaan listrik sangat dibatasi, pada jam 20.00 WIT, sudah tak ada lagi lampu menyala, listrik dipadamkan. Senter dan lilin pun jadi andalan. Yang sebenarnya jadi masalah bukan soal lampu, tapi soal bagaimana meng-charge ponsel, kamera, dan powerbank hingga penuh dalam sekejap.



JANGAN MEMOTRET SEMBARANGAN

Seperti juga ditemukan di beberapa daerah di Indonesia, soal meminta uang setelah difoto memang agak bikin saya dagdigdug. Konon di pedalaman Papua mereka mengenal uang merah (Rp100.000) atau uang biru (Rp50.000). Dan tempat yang paling 'rawan;' untuk difoto adalah pasar tradisional. Beberapa teman yang pernah ke sana menyarankan, bila hendak memotret sesuatu (pohon sekalipun), sebaiknya meminta izin terlebih dahulu pada penduduk setempat atau orang yang bersangkutan, agar tidak tiba-tiba didatangi dan dimintai uang. Ah, berdoa saja semoga nanti semuanya dipermudah.



JANGAN MENABRAK BABI

Harga seekor babi sangat mahal, bisa mencapai puluhan juta. Bila berkendara dan menabrak babi, bisa panjang ceritanya. Anak babi dirawat dan dibesarkan seperti anak manusia, jadi jangan heran bila di sana melihat seorang wanita menggendong dn menyusui anak babi. Kalau begitu, kenapa anak babi yang sudah susah-susah dipelihara, nantinya dipotong dan disantap bersama? Kan sayang....



BELAJAR MENGUNYAH PINANG

Kalau mau terlihat keren di sana, cobalah mengunyah pinang (menyirih). Sama seperti berbagi permen dan rokok, mengobrol sambil mengunyah pinang akan mencairkan suasana. Nanti saya akan mencoba, agar tak ada lagi jarak antara saya sebagai pendatang dengan warga di sana. Ada pula yang memberi saran: "Kalau jalan lihatlah ke bawah, karena ludah pinang berwarna merah ada di mana-mana. " ha... ha... ha.... ◼

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment