Hiasan di Lautan Pasir Bromo

Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2015-08-28

Para penunggang kuda yang berpacu mengiringi jeep adalah pemandangan biasa di pagi hari di sekitar gunung Bromo. Mereka juga mengerumuni mobil sambil menyodorkan selembar kertas kecil bertuliskan nama. Kertas itu sebagai tanda jadi, bahwa kita menyewa kuda untuk sampai di kaki gunung Bromo.


MARI BERKUDA

Selembar kertas bertuliskan Aziz, ada di tangan saya. Pria setengah baya mendekati saya sambil menuntut kuda. Pak aziz memakai topi kupluk dan menutupi sebagian mukanya dengan sarung, gaya khas masyarakat Tengger. Dengan meminta maaf lebih dulu, pak Aziz membantu saya naik dengan mendorong pinggang dan bokong saya.... Hadeuuuh, sudah jelas bobot saya tidak ringan, untung saja bisa langsung duduk di pelana.



"Harap diperiksa apakah tas sudah dalam keadaan tertutup. Karena saya akan menuntun kuda di depan, jadi saya tidak bisa mengawasi bila ada barang-barang yang terjatuh," begitu kata pak Aziz yang dengan sabar menunggui saya yang repot sendiri mengeluarkan kamera dari dalam tas pinggang. "Silakan duduk dengan punggung tegak. Dan berayun saja mengikuti gerakan kuda."




Jalur yang dilintasi adalah jalanan berpasir yang tidak mudah dilalui dengan berjalan kaki. Ini sebabnya kenapa disarankan untuk menyewa kuda. Selain membantu kehidupan masyarakat di sana, dengan berkuda kita bisa menghemat tenaga sambil menikmati pemandangan lereng gunung Batok yang bergaris-garis seperti lipatan kertas. Di kejauhan dari puncak gunung Bromo tampak asap belerang terbawa angin.



Kuda berhenti di lereng gunung. Dari tempat parkir kuda, perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju anak tangga. Tangga ini dibuat dua jalur bersisian, agar pengunjung yang naik tak bertabrakan dengan pengunjung yang turun. Terus terang saya tak suka mendaki, sementara untuk sampai di puncak dan melihat kawah gunung Bromo ada 247 anak tangga yang harus dinaiki. Setiap 10-15 anak tangga saya berhenti untuk mengatur nafas, saat itulah saya menyesali keputusan untuk mendaki.





Anak tangga terakhir persis berada di bibir kawah. Dari kedalaman kawah yang besar luas menganga, muncul kepulan asap belerang. Pemandangan yang luar bisa, membuat sadar bahwa manusia itu tak ada apa-apanya. Merasa cukup mengambil foto-foto, saya pun memutuskan kembali ke bawah. Entah mengapa saya takut bibir kawah itu runtuh saking banyaknya pengunjung yang bersandar di pagar sambil berfoto-foto.



Ternyata berkuda sambil menuruni lereng jauh lebih menegangkan. Kalau tak menegakkan punggung dan condong ke belakang, sesuai saran pak Aziz, mungkin saya akan terjungkal ke depan. Kuda yang saya naikin bernama Poni, umurnya 6 tahun. Beberapa kali dia berhenti, menyempatkan diri untuk buang hajat. Sepanjang jalanan beberapa kali dia menempelkan kepalanya di lengan pak Aziz. Mengajak bermain atau minta disayang. Terharu saya saat melihat pak Aziz membelai hidung si Poni, lalu kuda itu pun menegakkan kepalanya dan kembali melangkah gagah.




PURA LUHUR POTEN

Pura Luhur Poten yang dibangun menjadi pusat ibadah suku Tengger. Penganut agama Hindu yang dahulu kala terusir dari pesisir Jawa. Memiliki hari raya Yadya Kasada setiap hari ke-14 bulan Kasada penanggalan Jawa. Dalam perayaannya yang setahun sekali itu, akan disiapkan sesaji-sesaji. Diiringi doa-doa, sesaji-sesaji diangkut ke puncak gunung Bromo dan dilempar ke dalam kawah. Walau kali ini saya hanya bisa menatap gapuranya, semoga lain waktu ada kesempatan melihat berlangsungnya upacara yang memadukan agama dengat adat dan budaya setempat.



BUKIT TELETUBBIES

Saya nyaris lupa, bahwa saat ini saya berada di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Kawasan seluas 50.276,3 hektar ini berada di 4 kabupaten, yaitu Pasuruan. Malang, Lumajang, dan Probolinggo. Bentangan dari barat ke timur saja hampir 30 kilometer, sedangkan dari utara ke selatan mencapai 40 kilometer.



Dengan pemandangan seluas itu tentu pemandangannya pun beragam rupa. Salah satunya bukit Teletubbies yang terletak di balik gunung Bromo, yang bisa dicapai dengan menggunakan mobil. Bukit-bukit dengan hamparan savanna ini seharusnya berwarna hijau segar kekuning-kuningan. Sayang, kemarau yang cukup lama dan sebaran asap belerang gunung Bromo membuat alam sekitarnya tampak kering. Tapi walaupun begitu, tetap saja tempat ini seru untuk dikunjungi.




MENEMBUS LAUTAN PASIR

Pada 2001, lautan pasir ini menjadi tempat lokasi syuting film yang dibintangi Christine Hakim, Dian Sastro, Slamet Rahardjo, dan Didi Petet. Tempat ini kemudian kondang dengan sebutan 'Pasir Berbisik' seperti judul filmnya. Sesuai dengan namanya, saat berada di tengah lautan pasir ini, suasananya tiba-tiba menjadi sangat tenang. Walau banyak pengunjung di sana, namun seakan semua kebisingan teredam tak bersuara. Mungkin karena karena semua pengunjung kelelahan karena harus bangun dini hari dan sekarang kelaparan, karena sudah saatnya sarapan pagi ha... ha... ha....





Catatan:

▪ Wisata berkuda biasanya ramai sejak subuh hingga jam 09.00.

▪ Harga sewa kuda Rp120.000, kalau Anda berbaik hati berikanlah tambahan tip pada pawangnya.

▪ Disarankan menggunakan operator trip setempat, yang menyediakan transportasi ke tempat-tempat wisata.

▪ Pakai baju yang cukup hangat.

▪ Gunakan sepatu tertutup dan berkaos kaki.

▪ Masker tipis kalau diperlukan untuk menghindari debu saat berkuda.

▪ Kacamata hitam.

▪ Tak perlu takut kehausan atau kelaparan, karena di dekat parkiran jeep ada pedagang minuman dan makanan kecil.

▪ Tersedia toilet umum, ada baiknya menyediakan uang receh.



#WonderfulBromo #WonderfulEastJava #WonderfulJava #WonderfulIndonesia

─────────

www.indonesia.travel

This trip provided by the Ministry of Tourism of the Republic of Indonesia, VITO Singapore, Garuda Indonesia-Singapore, and Nuffnang

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment