Mengejar Blue Fire di Kawah Ijen
Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2015-08-27
Jam baru menunjukkan lewat tengah malam, dengan mobil jeep sewaan rombongan Indonesia Travel harus berangkat dari hotel di Banyuwangi, Jawa Timur. Pemandangan gelap di kanan-kiri, hanya tampak lampu mobil menyorot ke jalanan yang sempit berliku dan menanjak naik, ditandai dengan suara mesin yang tak berhenti menderu. Melalui jendela yang sedikit terbuka, angin dingin menyentuh ujung hidung hingga terasa mulai membeku.
Pos Paltuding dicapai sekitar 1 jam perjalanan dari Banyuwangi. Di ketinggian 1.850 mdpl inilah semua mobil harus diparkir, perjalanan menuju kawah Ijen di ketinggian 2.386 mdpl dilanjutkan dengan berjalan kaki. "Hanya sekitar 2 jam dengan berjalan santai," kata para pemandu. Katanya....
Jalan santai yang saya bayangkan sungguh berbeda dengan kenyataan yang dihadapi. Walau jalurnya cukup lebar, namun kontur yang menanjak dan berdebu membuat beberapa orang mulai terbatuk-batuk. Ternyata, selain jaket tebal yang dipakai untuk menahan dinginnya malam, masker tipis pun diperlukan untuk melindungi hidung dan mulut dari debu.
Untuk pendaki amatiran seperti saya, perjalanan 1 kilometer pertama saja sudah bikin nafas terengah-engah. Dan ternyata itu belum seberapa. Di 1 kilometer berikutnya jalan yang ditempuh lebih 'sadis'lagi. Menanjak, menanjak, menanjak terus! Rombongan mulai terpencar-pencar, ada yang berjalan lebih dulu, ada pula yang tertinggal di belakang. Tapi saya tak seorang diri, banyak juga para pendaki amatir dan wisatawan asing yang melepas lelah, terduduk dengan nafas terengah-engah.
Keringat mulai mengucur, jaket tebal akhirnya saya simpan dalam tas. Masker pun saya lepas agar lebih mudah bernafas. Langkah yang semula menjejak yakin, kini melangkah dengan jarak pendek-pendek. Melihat kerlipan lampu-lampu senter di kejauhan dan sangat tinggi, hampir saja mematahkan semangat. Tapi bertemu dan berjalan beriringan dengan beberapa penambang cukup menyenangkan. Sembari mengobrol dan berbagi permen, lumayan bisa melupakan lelah sejenak. Tapi kemudian mereka berlalu lebih dulu, agar lebih cepat sampai ke kawah untuk mengambil belerang.
Pos Pondok Bunder, adalah tempat istirahat di ketinggian 2.214 mdpl. Di sana dijual air kemasan, agar para pendaki yang kelelahan tak pingsan karena kehausan. Di pos ini para pemandu terus memberi semangat, dengan mengatakan bahwa perjalanan 1 kilometer terakhir menuju puncak akan lebih mudah ditempuh, karena tak terlalu banyak jalur menanjak. Bagaimana mungkin? Kata saya dalam hati, tapi toh saya jalani juga. Ternyata betul, walau harus menanjak jalur datar pun lebih banyak dilalui. Suara angin pun mulai terdengar 'menderu' kecang.
DAPAT WALAU SEKEJAP
Salah satu obyek yang diburu para wisatwan dan pendaki gunung Ijen, adalah blue fire, pemandangan indah dari semburat belerang cair yang memancarkan warna biru kemilau. Pemandangan ini hanya bisa disaksikan saat malam gelap, warna kebiruannya akan memudar seiring terang menjelang. Hanya ada dua tempat di dunia yang menyajikan pemandangan indah ini, dan salah satunya ada di Indonesia. Karena itulah saya bertekad ikut turun sekitar 200 meter ke dalam kawah, walaupun harus melalui tebing curam, menapaki batu satu demi satu.
Sebelum turun ke dalam kawah, para pengunjung diharuskan menyewa masker, yang wajib dikalungkan di leher dan harus secepatnya dipakai bila terkena terpaan angin yang membawa asap belerang.
"Mineeers!... Mimeeers!" itu teriakan yang kerap terdengar selama menuruni tebing. Setiap pengunjung harus mendahulukan para penambang belerang yang akan lewat. Karena jalur yang sempit, tak jarang saya harus menempel pada batu agar tak tersenggol keranjang yang penuh pecahan belerang dengan ujung-ujung tajam.
Ketika sampai di dasar kawah, beruntung saya masih sempat menyaksikan sedikit pendar kebiruan, karena langit mulai bersemu terang. Kepulan asap belerang yang putih membumbung, menyebarkan bau belerang yang menyengat. Ketika langit sudah benar-benar terang, tampaklah bahwa semua bebatuan berwarna putih kekuningan terkena debu belerang. Tak habis kagum pula melihat dinding kawah yang menjulang tinggi.
Saat angin bertiup menghalau asap, mulai tampaklah samar-samar air kawah berwarna hijau. Ditemani pemandu, saya mencelupkan tangan ke dalam air yang hangat. Karena kandungan belerangnya yang tinggi, kawah Ijen merupakan kawah terasam di dunia.
Walau masih ingin berlama-lama menikmati keindahan kawah Ijen, ketika sudah mulai tak leluasa bernafas itu tandanya saya sudah harus beranjak pergi. Kembali menapaki tebing menuju ke puncak. Bagi saya, kawah Ijen bukanlah tempat yang bisa dicapai dengan mudah. Namun, semua kelelahan dan peluh terbayar dengan pemandangannya yang menakjubkan. Membuatnya layak untuk dikunjungi lagi. ◼
PERHATIKAN!
▪ Setiap pengunjung dan pendaki wajib melapor pada petugas di pos Paltuding, serta membayar tiket masuk.
Lokal: Rp5.000, Rp10.000 (weekend/hari libur)
Internasional: Rp100.000, Rp150.000 (weekend/hari libur)
Pemandu: Rp150.000/rombongan
▪ Bagi penderita penyakit asma, jantung, dan darah tinggi, dilarang mendaki ke puncak gunung Ijen.
▪ Dilarang turun ke kawah Ijen tanpa pemandu.
▪ Turun ke kawah Ijen harus mengenakan masker, yang bisa disewa seharga Rp25.000 (lokal) atau Rp50.000 (internasional)
INI PERLU!
▪ Baju hangat atau baju berlapis.
▪ Sarung tangan.
▪ Headlamp.
▪ Pakailah sepatu khusus gunung, sepatu kets, atau sepatu dengan alas bergerigi. Sangat tidak disarankan menggunakan sepatu sneakers atau jenis lain dengan alas licin, apalagi sandal.
─────────
This trip provided by the Ministry of Tourism of the Republic of Indonesia, VITO Singapore, Garuda Indonesia-Singapore, and Nuffnang
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment