Kang Maman & Pasar

Category: Icip-icip Kuliner • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2015-08-01

Maman Suherman bersuara di seminar 'Patali Day: Meraih Untung dari Bisnis Wisata Kuliner melalui Pasar Rakyat' dalam rangkaian acara Gelar Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Budaya, awal Agustus 2015 lalu. Bukan sebagai pembicara, namun tetap saja penting untuk didengar.


Indonesia memiliki lebih dari 13.000 pulau, andai setiap pulau memiliki 10 saja destinasi kuliner favorit, berarti kita memerlukan 168 tahun untuk menikmati semuanya. Namun yang menyedihkan, hingga saat ini Indonesia belum memiliki peta destinasi kuliner. Padahal potensi wisata yang paling kuat untuk mempertahankan budaya kita adalah kuliner, satu-satunya hal yang tak akan bisa direbut oleh luar negeri saat memasuki pasar tebuka nanti.



Bahkan 30 Ikon Kuliner Tradisional Indonesia yang dipromosikan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 2014 lalu pun hanya berhenti pada sebuah buku. Tak pernah lagi disosialisaikan, dan sampai hari ini belum juga masuk dalam kurikulum sekolah.

Hingga saat ini, Ikon Kuliner Tradisional Indonesia berhenti sampai angka 30. Padahal untuk soto saja, Indonesia memiliki 128 jenis. Sebagai contohnya, bila menyebut coto Makassar, orang akan membayangkan potongan daging sapi di dalamnya. Padahal di Gowa dan Jeneponto, coto Makassar disebut coto kuda, karena menggunakan daging kuda. Hingga kini, coto kuda banyak dicari orang-orang Tionghoa karena memiliki khasiat, mengeringkan luka paska operasi. Hal yang lebih diketahui oleh orang luar, daripada bangsa sendiri.



Sedangkan bila berbicara persaingan antara pasar tradisional. Konsultan kreatif dan No Tulen di program Indonesia Lawak Klub Trans 7 ini, setuju bila ada 'Hari Pasar'. Hal ini bisa menjadi sebuah payung yang kuat dalam upaya menandingi pasar retail modern yang muncul 4 buah setiap hari. Rakyat pun boleh menagih janji Presiden Joko Widodo, yang melalui Departemen Perdagangan RI memrogramkan pembangunan dan revitalisasi 1.000 pasar per tahun. Berarti dalam 5 tahun akan ada 5.000 pasar yang 'tampil' lebih baik.



Kang Maman pun mencoba mengembalikan ingatan masa kecil kita pada lagu anak-anak 'Pepaya, Mangga, Pisang, Jambu'. Masih ada yang hafal lagunya?


Pepaya, mangga, pisang, jambu

Dibawa dari pasar minggu

Di sana banyak penjualnya

Di kota banyak pembelinya



Pepaya buah yang berguna

Bentuknya sangat sederhana

Rasanya manis tidak kalah

Membikin badan sehat segar



Pepaya makanan rakyat

Karena sangat bermanfaat

Harganya juga tak mengikat

Setalen tuan boleh angkat



Pepaya, jeruk, jambu, rambutan, duren, duku, dan lain lainnya

Marilah mari kawan semua membeli buah buahan



Lagu yang dulu sering kita nyanyikan ini ternyata berasal dari Riau, bukan dari Jakarta atau Betawi walaupun ada kata-kata 'Pasar Minggu' dalam syairnya. Karena sebenarnya, hampir setiap daerah di Indonesia punya tempat untuk menggelar pasar pada hari-hari tertentu. Kini, di ibukota atau beberapa tempat lain kegiatan pasar tradisional berdasarkan hari sudah makin jarang bahkan hilang, namun sebutannya tetap dipakai untuk nama daerahnya. Dan yang menarik adalah dari 7 hari dalam seminggu, hanya Selasa yang tidak dijadikan hari pasar. Inilah menjadi cerita sejarah yang tidak dibukukan di mana pun. ◼

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment