Tiga Rumah Tuhan di Tepian

Category: Rumah Ibadah • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2014-08-02

Gaya arsitektur, bahan, dan usia masjid yang berbeda melintas tahun dan abad. Tak mungkin dilewatkan begitu saja bila Anda berkunjung ke Samarinda, kota tepian sungai Mahakam.

Di dermaga kecil dekat Pasar Pagi, Samarinda Hilir, perahu-perahu motor siap mengantar warga untuk menyeberangi sungai Mahakam, cara yang lebih cepat menuju Kampung Samarinda Seberang.

Penyeberangan tak sampai 15 menit. Disuguhi pemandangan kapal kargo yang sedang bongkar muatan, kapal ferri tujuan Pare Pare membunyikan peluitnya satu kali, kapal-kapal tongkang berisi batu bara ditarik kapal pemandu menuju muara, dan puluhan tugboat (kapal pemandu) lain berjajar parkir di tepian menunggu giliran.





MASJID SHIRATAL MUSTAQIEM

Terombang-ambing ombak sungai, perahu motor merapat di dermaga kayu Samarinda Seberang. Melewati jembatan kayu di antara rumah-rumah panggung, menuju jalan raya, dan tampaklah bangunan masjid dan menara bertingkat berwarna kuning dan hijau dengan halaman yang sangat luas.




Masjid Shiratal Mustaqiem kini merupakan cagar budaya. Dibangun pada 1881 oleh Said Abdurrachman bin Assegaf ‐seorang saudagar dari Pontianak‐ di atas lahan yang biasanya dijadikan tempat perjudian, sabung ayam, dan rawan penjahat.

Masjid yang dibangun selama 10 tahun ini, bentuknya lebih mirip gaya rumah tradisional Kalimantan Barat, dengan 3 atap bertingkat. Jelas menunjukkan tempat dari mana Said Abdurrachman bin Assegaf berasal.
Sebagian besar memakai bahan kayu ulin (kayu hitam) yang tebal dan kuat, untuk tiang utama, kerangka, pintu dan lantai. Pada 1910 seorang saudagar berkebangsaan Belanda menghibahkan sejumlah hartanya untuk pembangunan menara masjid setinggi 21 meter untuk muadzin mengumandangkan adzan. Bentuk menara yang unik ini masih berdiri kokoh hingga sekarang.


Sebuah kolam di halaman masjid diberi pagar kayu. Ukurannya cukup besar dengan tangga berundak menurun, sedikit air masih tertampung di dalamnya. Kolam ini dulu berfungsi sebagai tempat berwudhu, kini sudah tak dipakai lagi digantikan dengan keran-keran yang lebih praktis.




Seorang marbot ‐penjaga masjid‐ tampak sedang menyirami teras masjid sepanjang 16 meter yang seluruhnya terbuat dari kayu ulin (kayu hitam). Karena kuatnya, kayu ulin biasanya dipakai untuk membuat kapal laut, kayu ini bila didera panas terus-menerus akan mengkerut dan rusak, makanya teras masjid ini selalu disiram paling tidak dua kali dalam seminggu.




Masjid ini memiliki 3 buah pintu masuk, terbuat dari kayu ulin, yang tebal dan kokoh bercat hijau. Jendelanya kecil-kecil berteralis besi. Dindingnya putih bersih, hanya sedikit ornamen sulur-suluran yang menghiasi bagian atas mihrab (tempat imam memimpin sholat) dilengkapi dengan kaligrafi Arab. Tak jauh dari situ diletakkan sebuah mimbar berukir, lengkap dengan atap dan tangga berukir kepala naga.




Seluruh bagian dalam masjid sudah dialasi karpet sajadah dari ujung ke ujung, dari dinding ke dinding. Pembatas bertirai tipis di pasang di tengah ruangan, memisahkan wilayah sholat makmum lelaki dan perempuan.


Masjid ini disangga 12 tiang yang berdiri mengelilingi 4 tiang utama. Konon ceritanya ketika hendak mulai membangun masjid ini, warga kampung tak mampu mengangkat dan menanam tiang utama ke dalam tanah.




Sampai suatu sore datanglah seorang nenek menawarkan bantuan. Sementara orang sekampung mencemooh, Said Abdurachman bin Assegaf malah menyetujui. Si nenek menyanggupi dan mempersilakan semua orang pulang ke rumah masing-masing. Keesokan harinya, terkejutlah orang sekampung. Tak percaya melihat keempat tiang utama sudah tertanam kokoh. Sementara keberadaan si nenek sudah tak diketahui dimana.



MASJID RAYA DARUSSALAM

Masjid Raya Darussalam terletak di kawasan Pasar Pagi, Samarinda Ilir, hanya dibatasi jalan raya dari tepian sungai Mahakam. Dikenal dengan sebutan Masjid Jamik, masjid ini dibangun oleh para saudagar suku Bugis dan suku Banjar pada 1925 dan sempat mengalami beberapa kali renovasi.




Masjid berbalut warna kuning gading ini berdiri dengan 4 buah menara di masing-masing pojok bangunan masjid dan satu kubah besar dikelilingi 8 buah kubah kecil berwarna hijau di atap. Pintu-pintu yang berbentuk melengkung dan lancip di bagian atasanya berjajar di ketiga sisi bangunan masjid, berhiaskan ornament-ornamen geometris berwarna hijau tosca dan emas. Sederhana tapi berkesan megah.




Pintu utama masjid berhadapan dengan kolam air mancur. Bentuknya lebih besar dibanding deretan pintu lainnya, dengan ornamen berwarna emas di sekelilingnya dan berhias kaligrafi di bagian atasnya.




Melangkah ke dalam masjid, dinginnya lantai marmer langsung merayap di telapak kaki. Ada tangga menuju mezanin, tempat menampung jamaah. Seperti bagian luar yang sederhana, bagian dalam masjid pun hampir sama. Ornamen geometris sederhana menghias sisi dekat pintu. Tampak besi-besi bersilangan menghias langit-langit yang melengkung tinggi. Beberapa lampu gantung terbuat dari lekukakan-lekukan tembaga indah berbentuk kerucut terbalik. Alunan suara mengaji sayup-sayup terdengar, menambah tenang hati saat meletakkan kepala bersujud di lantai masjid.


MASJID ISLAMIC CENTER

Keluar dari Masjid Raya Darussalam, dari tepian sungai Mahakam tampak kubah dan menara masjid Islamic Center. Masjid terbesar di Samarinda, dengan 6 buah menara di ujung-ujung bangunan dan sebuah menara utama setinggi 99 meter berada di halaman depan masjid. Mendengar ceritanya, siapa yang tak tergerak hati ke sana?


Saya menampik tawaran tawaran taksi (angkutan kota) menuju ke sana, memilih berjalan kaki demi menikmati pemandangan sore sepanjang sungai Mahakam. Melihat kesibukan kapal-kapal dan perahu hilir-mudik di sungai Mahakam dan deretan lampu-lampu yang mulai menyala di seberang sungai. Kubah dan menara masjid di Teluk Lerong Ulu masih tampak, tapi tak kunjung 'mendekat.'

Tahukah kalian seberapa jauh jarak ilir (hilir) ke ulu (hulu)? Perjalanan yang dimulai sebelum adzan Maghrib berkumandang di masjid raya Darussalam hingga adzan Isya' terdengar pun, saya belum sampai juga di masjid Islamic Center. Ha... ha... ha...




Ketika akhirnya sampai juga di gerbang Islamic Center. Berdiri di balik pagar siap dengan kamera, dan... beberapa lampu masjid dimatikan, karena waktu sholat Isya' berjamaah sudah lewat 45 menit yang lalu. Jadi foto di bawah ini saya ambil dari Wikimedia, karena hasil foto saya hanya gelap dengan titik-titik lampu di sana-sini ha... ha... ha...

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment