Minyak Berharga dari Tanah Hulondalo

Category: Icip-icip Kuliner • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2015-06-26

Berada di semenanjung utara Sulawesi, Hulondalo sudah dikenal sejak 400-an tahun yang lalu oleh para pedagang dari Ternate, Buton, Bugis, Papua, bahkan Arab dan Tiongkok. Bukan saja kaya akan hasil bumi, daerah yang kini dikenal dengan Gorontalo ini juga kaya dengan beragam masakannya yang sedap tiada tara.

Rahasia kelezatan masakan Gorontalo ternyata terletak pada minyak yang digunakan untuk menggoreng, menumis, atau dipakai dalam adonan kue. Minyak dengan aroma khas kelapa yang bila bercampur dengan bumbu akan 'meramu' masakan menjadi lebih gurih dan sedap.



Minyak kampung, begitulah masyarakat setempat menyebut minyak kelapa. Disebut seperti itu karena dulunya minyak ini dibuat di kampung-kampung oleh para istri petani kelapa dan kemudian dijual ke kota. Masyur dengan keharuman aromanya, lalu mulai bermunculanlah kelompok-kelompok warga yang memproduksi minyak ini. Namun walau penampakan, kejernihan dan aromanya hampir sama, ternyata pembeli yang jeli tak akan asal beli. Mungkin masalah selera, tapi yang jelas memang ada sesuatu di balik proses pembuatannya.



Cara pembuatan minyak kampung diwariskan secara turun-temurun. Pembuatannya pun masih menggunakan alat-alat tradisional yang sederhana. Salah satunya adalah 'dudangata', alat parut kelapa yang berbentuk seperti kuda-kudaan kayu berkaki pendek. Badannya terbuat dari kayu pipih dan panjang. Sebagian lehernya terbuat dari kayu yang disambung dengan batang besi, dan di 'bagian kepalanya' terdapat lingkaran pipih bergerigi.




Bila puluhan buah kelapa yang dikupas dan dibelah dua sudah disiapkan, beberapa pemarut akan duduk di bilah kayu masing-masing 'dudangata'. Menangkupkan kedua tangan mereka di atas kelapa, dan mulailah melakukan gerakan yang nyaris sama. Ketika bagian dalam daging kelapa terkikis gerigi, seperti mengeluarkan irama magis, terus terdengar dengan nada serupa. Daging kelapa pun terburai menjadi serpihan halus yang akan menghasilkan warna santan yang bagus.



Karena dilakukan secara beramai-ramai, pekerjaan ini menjadi tampak ringan dan cepat selesai. Sebentar kemudian giliran mereka memeras santan. Setelah mencampurkan serpihan kelapa parut dengan air kelapa, mulailah kegigihan mereka diuji segenggam demi segenggam.




Seorang 'moohinula' ‐begitu sebutannya, sudah bersiap memegang kayu panjang, dialah nanti yang akan membuat minyak kelapa. Dengan kayu panjangnya, 'moohinula' harus terus-menerus mengaduk santan di dalam kuali. Menjaga agar santan yang diaduk tak berkerak dan pecah bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi dilakukan berjam-jam di depan panas api dan kepulan asap dari tungku berbahan bakar sabut kelapa. Sudah pasti kesabaran jadi andalan.



Konon saat mengaduk, seorang 'moohinula' tak boleh digantikan orang lain kalau tak ingin aroma minyak kelapa berubah nanti. Walau tahu betapa penting perannya dalam pembuatan minyak, seorang 'moohinula' tak boleh tinggi hati dan harus tetap menjaga sikap hingga santan mulai berubah warna menjadi cokelat. Ini pertanda minyak sudah dihasilkan dan aroma kelapa yang khas pun mulai tercium harum semerbak.



Menunggu sedikit dingin, dituanglah seisi kuali ke alat penyaring. Berupa kain yang dijepit dengan bambu. Minyak pun akan menetes dari pori-pori kain ke dalam wadah, terpisah meninggalkan ampas. Barulah kemudian dituang ke dalam botol-botol kaca. Dikerjakan dengan hati-hati, tak boleh gegabah, agar minyak tak tumpah sia-sia.



Dari puluhan butir kelapa, minyak yang dihasilkan tak mencapai belasan botol. Walau dijual dengan harga yang cukup murah, bukan berarti waktu dan tenaga terbuang percuma. Karena minyak kampung bukan minyak kelapa biasa. Harum aroma yang dihasilkannya adalah aroma Mahakarya Indonesia. Harta warisan nenek moyang dengan 'ramuan' luhur gotong royong, kegigihan, kesabaran, dan kerendahan hati yang tetap dijunjung tinggi. ◼



Catatan:

Tulisan ini saya kirimkan untuk mengikuti 'blog writing competition' Mahakarya Indonesia 2015 dan berhasil menjadi satu dari 5 pemenang mingguan.



Setelah melalui beberapa tahap penjurian berupa wawancara dan menyusun proporsal plan, saya berhasil menjadi salah satu dari dua pemenang yang mendapatkan hadiah Perjalanan Budaya ke Wamena, Papua


Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment