Dua Sejoli yang Berevolusi
Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2015-06-25
Yang satu seorang sejarawan, yang menyediakan perpustakaan dan rumah kerjanya sebagai tempat berkumpul para sahabat dan kerabat. Sementara satu lagi adalah seorang perupa, memiliki sejuta imajinasi di kepala yang ditumpahkannya pada goresan karya dua dimensi. JJ Rizal dan Widi S. Martodiharjo. Dua sosok berbeda profesi, namun tampak sudah ditakdirkan untuk bertemu dalam satu minat dan kesenangan.
Berbicara tentang JJ Rizal tak bisa lepas dari Komunitas Bambu (Kobam), sebuah penerbitan buku-buku sejarah Indonesia yang dimotorinya. Beberapa bulan lalu ia memindahkan rumah kerja Kobam ke lokasi yang baru. Sebuah bangunan tiga setengah lantai berbentuk persegi empat dengan langit-langit yang tinggi.
Bagai 'berlapis' mengitari ruang di bagian tengah, setiap lantai didesain menyatu dan terbuka. Warna kelabu kuat pada dinding dan lantai semen. Hanya beberapa ruang saja yang beralaskan keramik.
Dari halaman, para tamu bisa langsung menuju teras di lantai dua. Tempat menerima tamu sekaligus perpustakaan yang menyimpan ratusan koleksi buku-buku sejarah. Lantai teratas sebagai kantor, sedangkan lantai paling bawah digunakan untuk dapur dan ruang makan.
Tak ada pendingin ruangan, tapi banyak kipas angin yang terpasang di langit-langit. Udara pun mengalir melalui jendela-jendela terbuka. Dan yang paling menarik perhatian adalah jendela warna-warni dalam potongan-potongan besar yang disusun sedemikian rupa. Unik dan menarik.
Widi S. Martodiharjo sendiri terdaftar sebagai pelanggan buku-buku terbitan Kobam. Minatnya lebih pada buku-buku 'sejarah kiri' Indonesia. Keingintahuannya ini berkaitan dengan kakeknya yang diciduk tentara pasca peristiwa 1965 dan kemudian hilang tak tentu lagi rimbanya. Dari ayahnya, Widi hanya tahu bahwa kakeknya adalah seorang perajin batik dan ukir perak.
Ungkapan 'kacang ora ninggalake lanjaran', cocok disandang Widi, seorang perupa seni kontemporer yang menggunakan kertas sebagai media lukisannya. Guratan tinta pulpen pada setiap karya lukisannya sehalus rambut. Sehalus guratan-guratan yang bisa didapatkan pada kehalusan ukiran perak atau kayu. Harta berharga yang diwariskan oleh ayah dan kakeknya.
"Guratannya sehalus titian rambut dibelah tujuh," kata JJ Rizal dalam sambutannya pada pembukaan pameran EVOLUSI WIDI.
Beberapa bulan sebelum pameran, Widi melihat foto seorang sejarawan 'kiri' yang bertandang ke perpustakaan Kobam, berpose menghadap tangga kayu yang berasal dari kayu-kayu bekas bantalan rel kereta api. Selain sebagai tangga, kayu-kayu ini juga berfungsi sebagai tempat duduk-duduk para sejarawan atau siapa saja yang datang berkumpul untuk bertukar pikiran. Dan saat itulah Widi ngotot hendak berpameran di Kobam.
Keinginan Widi tak pelak membuat JJ Rizal sempat bingung, karena bangunan yang baru 70% selesai ini tak didesain untuk ruang pameran seni rupa. Ruangan-ruangannya berdinding minimalis, alias tak menyediakan banyak dinding kosong, karena sudah tertutup rak-rak buku dan sedikit perabot antik.
"Siapa bilang lukisan itu harus selalu digantung di dinding?" ujar Widi yang dengan santai menggantungkan sebagian karya lukisannya pada batang pohon, beberapa karya dipajang di dinding yang tersedia, diletakkan pada rak-rak buku, dan sisanya ia letakkan di lantai, berjajar bersandar pada dinding dan meja.
Dan terjadilah pameran seni perdana yang diadakan di Komunitas Bambu. Terbukti, bahwa rumah kerja ini tak melulu tentang buku sejarah, tapi juga ruang bagi perupa.
Pameran lukisan EVOLUSI WIDI
Kertas, Pena, dan Cat
24 Juni ‐ 24 Agustus 2015
08.00 ‐ 17.00 wib
Komunitas Bambu
Jl. Taufiquraahman No.3, Beji Timur, Depok
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment