"Cawas Ki Wetane Klaten...."

Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2011-10-02

Salah satu bekal yang harus dibawa saat mengunjungi Yogya dan sekitarnya adalah hafalan empat arah mata angin dalam bahasa Jawa: lor (utara), kidul (selatan), wetan (timur), dan kulon (barat). Hal ini terbukti manjur, karena kepada siapa pun Anda bertanya arah, biasanya dijawab dengan 'jurus empat mata angin' ini.

"Cawas ki wetane Klaten, mbak (Cawas itu di sebelah timur Klaten)," itu jawaban dari seorang tukang parkir di bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, saat saya dan seorang teman bertanya arah menuju Cawas. Saat diperintahkan untuk meliput desa sentra tenun lurik ini, sebenarnya alamat sudah di tangan. Namun, menemukan desa yang satu ini tak semudah yang dibayangka. Apalagi, meskipun dekat dari Yogyakarta, sesungguhnya desa ini ada di kabupaten Klaten, Jawa Tengah.



Saat keluar dari kota Klaten, kami kembali bertanya kepada seorang petani yang sedang memenuhi keranjang sepedanya dengan rumput, "Mbelok tengen, lurus kemawon. Caket meniko, mbak halaaah paling yo sak rokokan (Belok kanan, lurus saja. Dekat, kok, mbak, paling-paling seisapan rokok)," jawabnya. Tapi rasanya istilah 'seisapan rokok' itu tidak cocok. Buktinya, setelah hampir setengah jam barulah tampak papan petunjuk menuju desa tenun yang kami cari-cari itu.



Cawas adalah sebuah desa penghasil kain tenun yang sudah dikenal sejak puluhan tahun silam. Kain tenun berserat kasa itu lebih dikenal dengan nama kain gendong, karena biasanya digunakan untuk menggendong bakul. Konon, awal 70-an, saat seniman Djoko Pekik dicekal karena dianggap menganut faham komunis dan tak lagi bebas berkarya, ke daerah inilah beliau mengambil kain-kain gendong untuk dijual di Yogyakarta. Dari hasil berjualan kain itulah beliau menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak-anaknya.



Sementara teman saya mewawancarai pemilik pabrik tenun, saya memisahkan diri menuju sebuah rumah bergaya joglo yang di terasnya duduk tiga perempuan setengah baya yang sedang memintal benang dengan alat sederhana. Belasan selongsong kayu yang belum terisi benang berserakan di kaki mereka.

"Kulo nuwuuun...," suara saya hilang ditelan kemlothak kayu beradu. Belasan alat tenun dari kayu berjajar rapi di dalam ruangan. Para perempuan penenun bekerja tanpa bicara, kedua kaki dan tangan mereka bergerak sinergis, sigap, cepat, dan cermat.



Bertepatan dengan sayup-sayup kumandang adzan dzuhur, seorang tukang sayur datang sambil membunyikan klakson motornya. Serentak semua alat tenun berhenti bekerja. Suara kayu beradu berganti dengan celoteh riuh ibu-ibu yang mengerubungi tukang sayur yang menggelar lapak di bawah pohon.

"Belanja buat masak di rumah nanti, mbak," kata seorang ibu yang tertawa geli melihat saya ikut nongkrong di sebelahnya. Seperti kebanyakan perempuan penenun yang berusia sekitar 25-40 tahunan, ibu ini bersepeda setiap hari, menempuh perjalanan 5-7 km dari rumah ke tempat kerja. "Kan saya pulangnya sore. Jadi nanti sampai rumah langsung masak buat makan malam."



Setelah acara belanja rampung, seorang ibu menggelar beberapa tikar di tengah ruangan, di antara alat-alat tenun. Lalu semua berkumpul, duduk lesehan di atas tikar, membuka plastik berisi bekal yang mereka bawa dari rumah. Mereka saling bertukar lauk-pauk sederhana. Kering tempe, tempe bacem, telur gudeg, oseng kangkung, sambal terasi, ikan asin, brongkos, pepes tahu, semua dalam porsi kecil.



"Ayo, mbak... ikut makan sini!" ajak mereka sambil menyodorkan mi goreng dan kerupuk rambak kepada saya. Seorang ibu menuangkan air teh manis dari bungkusan plastic ke dalam cangkir, khusus untuk saya. Otak saya bekerja keras, bila menolak saya khawatir mereka tersinggung. Tapi hati saya tak tega, bagaimana kalau jatah makan mereka berkurang? Dengan menggunakan tangan, saya suapkan mi goreng di hadapan saya... dan mereka pun tersenyum senang.




Tulisan ini dimuat di:

Buklet Yogyakarta: Bekal Wisata Akhir Tahun majalah Pesona edisi Desember 2011

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment