Melirik Lurik di Cawas

Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2011-10-02

Walau tak seberapa jauh dari pusat kota Klaten, kami harus mencerna arah lor, kidul, wetan, dan ngulon petunjuk yang diberikan untuk sampai di desa Cawas ‐sebuah desa sentra keranjinan tenun lurik.

Lurik berasal dari kata lorek, bahasa Jawa yang berarti bergaris-garis. Zaman dulu kain ini tak terlalu istimewa, hanya sebagai kemben penutup dada. Tapi karena karena terbuat dari benang katun yang kaku dan kasar, kain ini lebih sering dipakai untuk mengangkat bakul dan keranjang. Dari situlah terkenal sebutan kain gendong.



Meninggalkan gaya lama yang hanya terdiri dari warna hitam dan putih, kini helaian benang dicelup dengan warna-warna memikat dipintal menyelimuti gelondongan yang terbuat dari kayu, menjadi gulungan-gulungan kecil yang disebut kelos.



Tenun lurik, diproses dengan alat tenun manual, bunyi kayu gemeletak nyaring saling beradu menandakan benang-benang sedang ditata dengan komposisi warna dengan motif-motif garis dan geometris menjadi lembaran kain. Bukan pekerjaan yang mudah, karena dibutuhkan kecermatan dan kesabaran.





Kini kain gendong ini pun naik kasta, menjadi penghias interior, bahkan pelengkap gaun pesta. Sebuah kekayaan negeri yang dikerjakan dengan keihklasan dan kecintaan mereka pada tradisi. Bagaikan roda pemintal benang, di sini roda ekonomi pun ikut berputar.



Cerita lain dari perjalanan ini adalah, saya 'terjebak' menjadi fashion fotografer dadakan. Beruntung pengetahuan saya tentang mode yang hanya sejengkal tak jadi hambatan, karena ada @ErinMetasari, pengarah gaya yang bisa diandalkan.






Beberapa foto dimuat di:

Buklet Yogyakarta: Bekal Wisata Akhir Tahun, majalah Pesona edisi Desember 2011

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment