Menemukan Surga di Akediri
Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2014-08-21
Sungai Akediri berhulu di mata air panas Balen Langsa, Desa Gamtala, Jailolo, Halmahera Barat dan bermuara di laut Maluku. Saat menyusuri sungai, saya dan dua teman seperjalanan saling terdiam, tak ingin mengganggu, asyik tenggelam terpesona indahnya pemandangan.
Sebuah perahu panjang yang kami sewa sudah siap di dermaga. Keriuhan terjadi saat mengatur duduk di perahu, sibuk berbagi tempat dengan beberapa anak kecil dari desa Gamtala yang meminta izin ikut serta.
Siang itu air sungai masih surut, lambat-lambat perahu didayung hingga ke tempat yang lebih dalam. Air sungainya sangat jernih, ikan-ikan tampak berenang melintas di bawah perahu. Dahan-dahan pohon nipah melengkung di sisi sungai, tumbuh di lumpur tempat kepiting-kepiting membuat lubang sebagai sarang.
Sesekali kami berpapasan dengan perahu lain, nelayan yang baru pulang dari laut atau penduduk sekitar yang mencari kayu di hutan. Lambaian tangan dan senyuman menjadi ciri khas betapa bersahabatnya penduduk di sana.
Saat mesin perahu dinyalakan, perahu pun melaju lebih cepat, memberi riak di sungai yang berair tenang menuju kawasan hutan bakau. Saat nyamuk-nyamuk mulai ramai berdengung di dekat telinga, itulah tanda perahu mendekati tujuan. Tak siap dengan krim anti serangga maka handuk kecil jadi alat penyelamat, dikibas-kibaskan ke sekujur badan untuk mengurangi gigitan nyamuk hutan yang ganas.
Perahu melambat dan merapat di sebuah dermaga kayu. Pelataran luas dan beberapa pondok tebuka dibangun di antara pohon-pohon bakau. Tempat yang menarik untuk beristirahat ini biasanya baru ramai dikunjungi anak muda di akhir pekan. Boleh pula digunakan untuk menginap, asal membawa perlengkapan agar tak kelaparan saat tengah malam. Tempat pembakaran sudah tersedia, tapi apa yang mau dimakan bila tak membawa bekal?
Terbayang serunya malam-malam di tengah hutan bakau. Diterangi lampu-lampu minyak dengan sumbu yang mencuat dari botol kaca, ditemani riuhnya suara satwa. Tapi apakah tahan akan serangan nyamuk semalaman? Itu yang jadi pertanyaan.
Perjalanan dilanjutkan menyusuri sungai yang mulai melebar. Hutan bakau perlahan berganti dengan pohon-pohon besar yang tumbuh tinggi menjulang membenamkan akar-akarnya ke dalam tanah. Warna air menggelap, artinya dasar sungai sudah jauh di bawah sana.
Ketika sisi sungai mulai ditumbuhi deretan pohon kelapa, pertanda perahu sudah mulai mendekati muara. Sebelum ke laut, sungai Akediri akan terlebih dulu bertemu dengan sungai Akelamo. Pertemuan dua sungai yang menciptakan arus kuat dan gelombang yang cukup membuat perahu kami berguncang.
Muara sungai yang luas terhalang delta berpasir. Tempat yang dikenal dengan nama pantai Marimbati ini terbentang memanjang bagai pagar pembatas antara sungai dan laut lepas.
Kami langsung meloncat turun ketika perahu merapat ke pantai. Pasir yang lembut dan hangat langsung terasa merayap di telapak kaki. Lelah berjalan menyusuri pantai yang dihiasi tebaran kerang, kami pun duduk berjemur sambil menatap lautan. Menikmati keindahan gunung Gamkonara yang menjulang di kejauhan. Puncaknya tertutup awan, dengan latar belakang langit biru yang luas membentang. Pantaslah disebut #paradays, salah satu tempat dengan pemandangan indah yang dimiliki Halmahera.
Di ujung pantai, di mana mulut muara berada tampak deretan perahu nelayan ditambatkan. Uniknya, dalam setahun mulut muara selalu berpindah tempat. Seiring kemana angin mendorong gelombang, ke sanalah mulut muara akan menganga. Walau lebarnya tak seberapa, jangan pernah mencoba berenang ke seberang, kalau tak mau terseret arus ke lautan lepas.
Dalam perjalanan pulang, perahu berbelok dulu ke sungai Akelamo. Sambil terus melawan arus, perahu melewati sebuah tempat pengolahan sagu yang didirikan di pinggir sungai. Tak tampak lagi kesibukan para pekerja, mungkin mereka sudah melepas lelah di rumah. Ember yang terikat menggantung di ujung bambu panjang, biasa digunakan untuk mengambil air sungai, dalam proses menyuci sagu secara tradisional.
Tak jauh dari sana, terdapat situs benteng Saboga. Ditandai dengan sebuah pohon yang tumbuh tinggi menjulang. Paling tinggi di antara pohon-pohon sekitarnya. Benteng peninggalan Spanyol yang dibangun pada 1548 ini, dulunya digunakan sebagai tempat menampung semua hasil bumi dari daratan Halmahera untuk dikapalkan ke Eropa. Kini, reruntuhannya diselimuti tumbuhan, terabaikan, dan nyaris terlupakan.
Keinginan melihat benteng secara lebih dekat pun terpaksa diurungkan. Karena waktu sudah terlalu sore, tak mungkin turun dan menjelajah tanpa pulang dalam gelap. Tapi dalam hati saya berjanji akan menjelajahinya suatu saat nanti. Kembali lagi ke #paradays, surga yang tak habis dikunjungi dalam sehari. ◼
Bagaimana ke sana?
Dari pelabuhan Dufa-Dufa, Ternate menggunakan perahu cepat menuju Jailolo.
Dari pelabuhan Jailolo menuju mata air panas Balen Langsa, desa wisata Gamtala, Anda bisa menyewa mobil atau bentor (asal kuat dengan suara musiknya yang menggelegar).
Harga sewa mobil: Rp350.000-Rp400.000/hari
Harga sewa perahu: Rp300.000
#Paradays4Blog
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment