Halmahera & Tradisi Bercocok Tanam

Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2014-08-21

Bagaimana masyarakat Halmahera mengenal tradisi bercocok tanam sejak ratusan tahun lamanya bisa dilihat di Museum Alat Pertanian & Rumah Tangga Tradisional Halmahera Barat.


Museum ini bertempat di komplek Kampoeng Boedaja Ngalar'ra yang dibangun pada 2012. Ditandai dengan gapura besar dari bambu sebagai pintu masuk, dan papan nama yang terpancang di pinggir jalan.


Di dalam halamannya terdapat sebuah pendopo terbuka dengan tiang dan lantai kayu, atapnya terbuat dari daun dobo (nipah). Bangunan ini tak terlalu besar, namun cukup untuk pagelaran kesenian atau tempat menyambut tamu.


Bangunan museum berada tak jauh dari situ. Sebuah rumah panggung yang tak terlalu tinggi, ditopang kayu-kayu sebagai pondasi. Tiang-tiang bambu saling mengikat. Dinding bangunannya tertutup kulit bambu yang disusun rapi. Bilah-bilah bambu melintang menyangga daun dobo yang tersusun rapat sebagai atap. Sebuah papan digantung di teras, bertuliskan 'Muras mala'a ninga ta-sapo-lo' (terima kasih untuk kunjungannya).




Semua koleksi museum adalah alat-alat rumah tangga dan pertanian yang dipakai sehari-hari, dari dulu hingga kini. Semuanya terbuat dari bahan-bahan alami, seperti daun kelapa, bambu, atau pelepah nipah. Dipajang dengan cara digantung pada dinding bambu atau langit-langit. Beberapa di antaranya sangat menarik perhatian karena bentuk dan fungsinya.


Bagaimana kalau barang-barang ini rusak? Pertanyaan bodoh yang terlontar itu pun dijawab dengan senyuman, "Kami tinggal bikin lagi, semua bahan kami bisa cari di hutan toh."



Sisiu (Salapa) dan Tolu

Sisiu terbuat dari anyaman bambu. Bentuknya semacam tas, tapi ternyata berfungsi sebagai alat untuk menangkap ikan atau udang di sungai. Sementara tolu adalah sebutan untuk caping, topi lebar penutup kepala yang sangat berguna menahan panas saat bekerja di ladang. Terbuat dari anyaman kulit bambu atau anyaman daun dobo (nipah).




Sula

Berbentuk seperti wadah yang biasa digunakan untuk menampung hasil bumi yang sudah dihaluskan, terbuat dari pelepah pohon sagu yang dibentuk sedemikian rupa, dan direkatkan dengan potongan bambu sebagai pengikat.




Kamboti

Bentuknya seperti tas, lengkap dengan tali pendek sehingga bisa disampirkan di bahu. Terbuat dari anyaman daun kelapa digunakan untuk menampung hasil pertanian.




Didisong dan Dututu

Sebutan lokal untuk lesung dan alu. Alat menumbuk padi dan umbi-umbian. Kalau melihat rupanya, didisong dan dututu yang dibuat dari kayu keras ini sudah berumur puluhan tahun tahun.




Sapu lidi

Sama seperti sapu lidi yang kita temukan, namun bagian atasnya dianyam sedemikian rupa agar batangan lidi tidak bercerai berai setelah lama dipakai. Pemikiran yang hebat, ya.




Tarupa

Sandal untuk berkebun atau masuk ke dalam hutan. Terbuat dari pelepah daun enau, dan tali pengikatnya terbuat dari kulit ganemo (melinjo). Keren!




Berbicara tentang rumah tangga pasti ada hubungannya dengan perkawinan. Salah satu mas kawin yang hingga kini masih digunakan adalah bunga pohon enau dan capit dari bambu. Dipercaya bahwa pasangan suami-istri harus menjaga capit bambu tersebut agar tidak sampai patah hingga usia mereka menua kelak, agar perkawinan tetap awet dan rukun sepanjang masa.




Saat akan pergi meninggalkan tempat Kampoeng Boedaja tampak papan yang tergantung pada gapura, bertuliskan: 'Paksani, ninga tagi la-la, maha du'a kara ngene ma'u sanga' (Terima kasih untuk kunjungannya sampai bertemu lagi). Dengan senang hati saya akan kembali....



Kampoeng Boedaja Ngalar'ra

Desa Akelamo, Sahu Timur, Jailolo

Halmahera Barat, Maluku Utara

Jam buka: 09.00 ‐ 16.00 WIT

Pertunjukan budaya dan demo masak masakan tradisional harus dengan perjanjian.

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment