Budaya Meng-kritik lewat Komedi
Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2022-04-25
Boleh dibilang setelah reformasi, masyarakat Indonesia mulai berani bersuara tentang banyak hal yang terjadi di negara ini. Salah satu yang sedang digemari adalah melalui komedi. Melalui komedi banyak hal jadi lebih mudah dipahami.
Dia melanjutkan ceritanya tentang Mbah Gontho, asal Sragen yang berusia 146 tahun. Mbah Gontho yang sudah sangat tua ini mendapat bantuan pemerintah berupa alat bantu dengar.
“Mbah Gonto butuh usia 146 tahun untuk mendapat bantuan pemerintah. Makanya kita-kita yang masih muda ini tak usah protes-protes sama pemerintah. Sabar saja! Tunggu 110 tahun lagi,” lanjut Abdruarsyad yang kembali disambut tawa.
Ketika pertangahan April lalu, Abdurarsyad tampil di IG Live Mimdan #6 bersama
Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) di program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN), komika ini bercerita betapa seriusnya ia mempersiapkan materi komedinya, apalagi bila materi itu berisi sebuah kritik sosial.
Bila materi itu berisi kritik sosial, Abdurarsyad memilih isu yang merupakan pengalaman atau dekat dengan kehidupannya sehari-hari. Ini 3 hal penting yang dia perhatikan:
1. Tahu
Kalau hendak menyampaikan pesan atau kritik sosial, sebaiknya kita tahu apa permasalah sebenarnya. Jangan sembarang mengeritik, keras bersuara, tapi sebenarnya tak tahu apa-apa. Pengetahuan itu bisa didapatkan dari membaca atau mendengarkan berita, tapi jangan lupa cek juga kebenarannya. Dengan makin banyak kita tahu, pembahasan kita jadi lebih bekualitas.
2. Peduli
Bila kita mengetahui suatu hal atau kejadian, mulailah bertanya, apakah hal itu memang perlu disampaikan? Sepenting apa hingga harus dikritik? Apa kita nyaman untuk melontarkan isu tersebut? Tidak semua yang kita tahu harus dikritik. Kalau kita tahu tapi tidak terlalu aham pada duduk persoalannya, sebaiknya jangan. Karena bisa jadi malah menjadi bumerang bagi kita sendiri.
Persona
Ini tinggal bagaimana kita membawakan isu tersebut, dan menyampaikan kritik sosial menggunakan cara yang sesuaikan dengan karakter kita.
Karena pada kenyataannya, kritik masih lekat dengan sesuatu yang buruk di masyarakat kita. Banyak yang menggunakan kritik untuk menghujat atau menjelek-jelekkan pihak lain yang tidak mereka sukai. Itulah alasan mengapa kritik sosial bisa menjadi sangat sensitif bagi seseorang atau kelompok. Padahal sebenarnya kritik juga bisa menjadi acuan untuk mencapai sesuatu yang lebih baik lagi. Dalam sebuah kritik ada tanggapan, kupasan, pertimbangan baik buruk, biasanya dibarengi dengan usul dan saran.
Saya setuju dengan pendapat Abdurarsyad, bahwa komedi bisa menjadi alternatif menyamaikan kritik sosial tentang isu serius dengan cara atau gaya yang lebih ringan. Disampaikan dengan ‘terselubung’ sehinggan orang atau pihak yang dikritik ‘dicolek’ secara halus.
Dalam sebuah unggahan video di akun instagramnya, Abdurarsyad juga memberikan kritik sosial dengan perumpaan bola. Dia mencoba bangku pemain cadangan kesebelasan sepak bola Bali United. Bangku yang terletak di pinggir lapangan sepakbola itu tampak empuk dan nyaman.
“Kalau saya jadi pemain bola, saya memilih jadi pemain cadangan daripada jadi pemain di lapangan. Kalau jadi pemain kerjanya lari-lari, dapat bola juga belum tentu. Mending jadi pemain cadagan, duduk enak, santai, tiap bulan terima gaji,” kelakarnya.
Kalau kita telaah lebih dalam, sebenarnya kritik ini bisa menyinggung siapa saja yang tidak bekerja dengan benar. Bisa saja menyinggung ‘dunia persilatan’ persepakbolaan Indonesia yang carut-marut. Kritik ini bisa juga ditujukan pada para anggota dewan yang sudah terpilih, menikmati sejumlah fasilitas, tapi tak nampak hasil kerjanya. Duduk nyaman di kursi empuk, dalam ruangan sejuk, sampai terkantuk-kantuk, tanpa menghasilkan sesuatu yang berarti untuk masyarakat. Ups!
Apakah pesan dari isu tersebut tersampaikan atau tidak juga tergantung banyak faktor. Salah satunya adalah faktor tingkat pendidikan audiens-nya. Kita tidak bisa memaksa orang untuk melakukan sesuatu yang kita inginkan. Saat kita menyampaikan sebuah isu, ada yang setuju, ada yang tidak setuju, ada yang kemudian senang berdebat dan adu argument, semua memiliki pendirian masing-masing. Termasuk yang memilih netral dan tak memberi tanggapan apa pun.
Ketika ditanya seberapa efektif komedi bisa digunakan sebagai cara penyampaian isu tentang budaya dan kritik sosial? Abdurarsyad pun menjawab tidak tahu, karena tidak ada indikator atau pengukurnya. “Tapi terlepas efektif atau tidak, komedi tetap bisa digunakan sebagai bentuk ekpresi masyarakat."
Mengubah kebiasaan mengkritik dan dikritik memang tidak mudah. Tapi, budaya seperti ini harus diperkenalkan. Masyarakat yang beragam ini harus mulai berfikiran terbuka menghadapi kehidupan sosial yang dinamis agar bisa berkembang. Yang perlu diingat, bila kita hendak menyampaikan kritik sosial, sampaikan dengan cara yang intelek dan bertanggung jawab. █
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment