Sensasi Lewat Jalanan Sepi
Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2015-03-16
Suasana hati agak tidak tenang bila pulang malam-malam dan harus melintasi jalan yang kanan-kirinya merupakan tanah kosong. Jalanan aspal sepanjang 200 meter serasa jadi lintasan antar kota. Pakai 'bonus' merinding pula!
Sementara tanah kosong di kanan jalan ditutupi tembok yang cukup tinggi, pucuk-pucuk tanaman pagar berjajar mengintip dari balik tembok dan sebuah pohon besar yang dahan melintang menaungi jalanan.
Sebenarnya jalan itu dilintasi banyak kendaraan dari pagi hingga sore hari, tapi kalau malam memang sudah jarang ada yang lewat. Dan tampaknya yang berjalan kaki malam-malam lewat situ, ya hanya saya. Walau sebenarnya suasana jalan itu tidak terlalu gelap, karena masih ada lampu jalan di ujung jalan dan lampu-lampu rumah di kejauhan. Namun, tetap saja suasananya tidak menyenangkan.
Dulu ada kalanya, lampu di ujung jalan itu tiba-tiba mati persis saat saya sudah menempuh seperempat perjalanan.
Kontan mulut komat-kamit. Serentetan do'a yang bisa diingat langsung dirapalkan. Langkah pun menjadi dua kali lebih cepat agar bisa mencapai ujung jalan. Herannya, tepat di ujung jalan lampu pun kembali menyala. Ah, kebetulan saja, kata saya dalam hati.
Tapi ternyata hal itu tidak selalu terjadi. Bila kebetulan saya berjalan bersama atau berpapasan dengan orang lain atau kendaraan, lampu jalan itu tidak mati sama sekali.
Jadi sekali waktu ketika saya berjalan sendirian, lampu yang tadinya terang menyala tiba-tiba mati (lagi). Saya cuma bisa bergumam menenangkan hati, " Naaah, kaaan! Jahil!"
Tak hanya berjalan cepat, entah mengapa saat itu saya langsung berlari pontang-panting.
Ha... ha... ha... ha... untung tak ada yang melihat karena pasti lucu sekali.
Sebenarnya jalan itu bukan satu-satunya. Tapi jalan itu memang jalan pintas paling cepat untuk mencapai rumah. Jalan lain harus memutar dan melewati tanjakan. Sedangkan jalan satu lagi bisa menghabiskan waktu 30 menit bila berjalan kaki.
Ketika suatu hari saya mengajak seorang teman yang punya 'kesaktian' ‐bisa melihat hal-hal gaib‐ melintasi jalan itu. Tiba-tiba dia berkata, "Wah, banyak anak kecil di situ, lari-larian sambil loncat-loncatan." Sambil berjalan menatap semak belukar, "Wow, ada anak genderuwo juga, tuh," lanjutnya.
Duh, pakai dijelaskannya pula bahwa bayi genderuwo yang baru lahir itu besarnya kira-kira seukuran pria dewasa. Laaah, kalau bayinya saja segitu, emaknya sebesar apa?
Mungkin terpengaruh cerita kawan saya itu, sekarang setiap berjalan kaki melintasi jalan itu sensansi yang timbul jadi berbeda. Bulu kuduk yang tiba-tiba berdiri, lalu lengan kanan bagian belakang merinding, menjalar ke punggung hingga ke kaki.
Sambil merapalkan doa, kedua lengan pun saya kebaskan atau sengaja menendang-nendang kaki. Siapa tahu yang 'ngegelendot' jadi lepas ‐efek kebanyakan nonton acara makhluk gaib ha... ha... ha... ha....
Ketika saya tanyakan hal tersebut pada kawan saya yang sakti itu, sambil tertawa dia berkata, "Mungkin karena kamu gundul. Jadi anak-anak genderuwo itu mau ngajak main, mereka pasti ngira kamu tuyul."
Hadeuuuh....
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment