4 Teknik Bakar Batu di Papua

Category: Icip-icip Kuliner • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2021-07-19

Banyak yang tidak sadar bahwa nenek moyang masyarakat Papua sudah lebih dulu mengonsumsi makanan organik dan melakukan teknik memasak slow cooking jauh sebelum hal ini jadi tren kuliner dunia.



Hal ini diungkapkan Charles Toto yang dikenal sebagai Jungle Chef pada acara webinarTimur Bacarita yang membahas tentang Kuliner & Pangan Lokal Indonesia Timur. Dengan menggunakan bahan-bahan sederhana, nenek moyang masyarakat Papua bisa menunjukkan betapa kaya budaya kuliner Papua. Salah satunya dengan memperkenalkan teknik memasak bakar batu.



Teknik ini menggunakan bahan sederhana, yaitu batu-batu kali dengan diameter sekitar 4 – 5 cm yang dibakar berjam-jam dalam tumpukan kayu. Setelah panas, batu-batu tersebut dipindahkan satu persatu menggunakan batang kayu yang salah satunya ujungnya dibentuk seperti penjepit.






Saya sempat melakukan perjalanan ke Wamena dan Lembah Baliem pada 2015. Di sana juga menyaksikan bagaimana mereka memasak dengan teknik bakar batu. Hanya saja, saya tidak mencicipi hasilnya, karena potongan daging yang ikut dibakar adalah daging babi, tapi aromanya memang luar biasa bikin perut lapar. Dan saya baru tahu bahwa teknik bakar batu ini ternyata berbeda-beda di beberapa tempat.



1. Dataran Papua Bagian Selatan

Teknik memasaknya di atas tanah. Batu panas yang digunakan adalah batu kali.

Sebagai alas akan disusun daun pisang di atas tanah membentuk lingkaran besar. Kemudian di atasnya diletakkan umbi-umbian dan sayuran. Di atasnya ditumpuk batu-batu panas yang disusun rata sedemikian rupa. Lalu paling atas ditutupi pelepah kulit pohon kayu putih yang akan memberikan aroma khas pada makanan.



2. Dataran Tinggi Papua

Teknik memasaknya di dalam tanah. Batu panas yang digunakan adalah batu kali.

Bahan makanan akan di masak dalam lubang besar. Tumpukan umbi-umbian diletakkan paling bawah, kemudian di atasnya akan diletakkan batu-batu panas. Setelah itu diletakkan sayuran, potongan daging di atasnya, lalu ditutup dengan dedaunan. Potongan daging sengaja diletakkan di bagian teratas, agar kandungan air dalam daging menetes ke bawah, dengan demikian sayur dan umbi-umbian di bagian bawah terasa lebih gurih.



3. Dataran Rendah Papua

Teknik memasaknya di atas tanah. Batu panas yang digunakan adalah batu kali.

Bahan makanan akan diletakkan dan tertutup dalam tumpukan batu panas yang disusun menggunung.



4. Pantai Utara Papua

Teknik memasak yang dikenal dengan istilah barapen juga dilakukan di atas tanah dengan cara menumpuk bahan makanan di antara batu panas. Bedanya, batu yang digunakan adalah batu karang atau batu kapur. Untuk menghindari bahan makanan kotor karena tebaran abu kapur yang rontok karena panas, maka umbi-umbian, sayur, dan daging dibungkus dengan pelepah pinang gunanya agar tidak terkena abu kapur yang bertebaran karena panas. Bahan makanan dan batu panas berselang-seling disusun menggunung.



Memasak dengan teknik bakar batu memakan waktu 3 – 4 jam. Ini merupakan teknik memasak slow cooking yang sudah dilakukan masyarakat Papua sejak dulu. Sekarang masih ada, namun sudah semakin jarang ditemukan. Batu panas yang dibakar, sudah tergantikan dengan panasnya api yang menyala dari tabung gas LPG. Tradisi makan bersama satu desa atau satu suku, tergantikan dengan kebiasaan makan masing-masing keluarga.



Sedikit Cerita tentang Charles Toto

Lelaki Papua ini akrab dipanggil Chato. Ia sempat berprofesi sebagai koki di salah satu hotel di Jayapura menemani para tamu yang melakukan perjalanan ke pedalaman. Sejak 1997, dia konsisten berkeliling dan menjelajah hutan-hutan Papua untuk mengkaji budaya kuliner masyarakat di sana. Ia juga mengajarkan beberapa resep masakan tradisional Papua pada masyarakat Papua sendiri, menggunakan bahan-bahan yang ada di hutan mereka. Harapannya satu, agar masakan tradisional Papua tidak begitu saja dilupakan.





Ada rasa prihatin melihat pola makanan masyarakat Papua yang sudah mulai bergeser. Jelas ada pengaruh dari perubahan zaman. Berbaurnya masyarakat setempat dengan para pendatang dari pulau lain, juga adanya program-program pemerintah yang mengubah gaya hidup dan pola makan. Seperti sagu dan umbi-umbian sebagai bahan makanan pokok yang tergusur oleh beras. Kalau dulu nenek moyang mereka menggunakan garam sebagai bumbu minimalis, karena alam Papua menyediakan sumber-sumber air garam di hutan dan pegunungan, kini masyarakat di sana mulai tergantung dengan bumbu-bumbu lainnya, termasuk bumbu instan pabrikan.





Pada 2006, Chato mendirikan komunitas Papua Jungle Chef Community, yang menggali keunikan kuliner tradisional Papua. Karena konsistensi dan kecintaannya pada kuliner Papua, Chato diundang sebagai pembicara di Ubud Food Festival 2017 dan berhasil menyajikan kuliner Papua di ajang Slow Cooking Terramadre Festival 2018 di Torino. Melalui Papoea by Nature, sebuah restoran di Jakarta, Chato ingin memperkenalkan makanan asli Papua ke masyarakat Indonesia. Dia yakin bahwa masakan tradisional yang dibuat dari bahan-bahan di hutan-hutan Papua pantas disajikan di meja makan hotel bintang lima. █

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment