Sejarah Teh Tulungangung yang Terlupakan

Category: Icip-icip Kuliner • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2020-12-08

Air panas yang keluar dari mulut ceret mengepulkan asap, merendam helaian daun teh kering di dalam gelas. Menghirup teh hangat di tengah hujan gerimis di lereng Gunung Wilis, seperti mengingatkan kembali pada jejak sejarah Tulungagung yang terlupakan.



Kalau menyebut nama Tulungagung, lalu muncul pertanyaan, “Ada apa di sana?”



Tulungagung itu ibarat kendi tanah di atas meja, yang hanya didekati oleh orang yang dahaga. Ketika kendi diangkat dan dituang, bukan air yang keluar tapi butiran emas yang mengalir tak ada habisnya. Seperti itulah saya menggambarkan Tulungagung, tempat kaya sejarah yang terpendam zaman.



PEMASOK TEH DUNIA

Sendang, merupakan kawasan subur di lereng Gunung Wilis. Di sinilah pemerintah Hindia Belanda membuat perkebunan teh. Pada awal 1900-an, perkebunan yang terletak di ketinggian 1050 mdpl itu menghasilkan teh berkualitas. Tercatat dalam sejarah, Tulungagung menjadi salah satu pemasok teh dunia.





Tapi pada 1932, industri teh dunia merosot, tergantikan oleh kina dan gula. Perkebunan teh di Tulungagung pun terpuruk. Pengelolaan perkebunan berganti-ganti tangan. Setelah Indonesia merdeka, perkebunan dan pabrik teh yang puluhan tahun memperkaya Hindia Belanda, dibiarkan merana. Ditutup dengan alasan teh sudah tak lagi berharga.



Lahan-lahan perkebunan teh di Tulungagung dibagikan kepada rakyat. Tapi apalah gunanya mewarisi kekayaan bumi pertiwi tanpa tahu bagaimana memberdayakannya. Bukan salah petani, kalau akhirnya mengganti tanaman teh dengan sayur-mayur, yang lebih mudah mereka jual. Rumput gajahan pun ditanam untuk pakan ternak peliharaan. Ini semua urusan perut demi menyambung hidup. Dari ribuan hektar di lereng Gunung Wilis, tanaman teh perlahan hilang. Menyisakan beberapa hektar yang dibiarkan ‘bernafas’ seakan sedang tidur panjang.



CERITA DARI MULUT KE MULUT

Kejayaan perkebunan dan pabrik teh di Tulungagung masih dikenang segelintir orang. Diceritakan oleh kakek ke bapak, bapak ke anak, anak ke cucu. Tapi ketika cucu bertanya di mana letak perkebunan dulu? Tak lagi ada yang tahu.



Ketut Sunyoto adalah satu dari segelintir orang yang mendengarkan semua cerita. Kepalanya merekam pemandangan saat melihat arsip-arsip foto peninggalan Belanda. Walau dilahirkan bukan dari keturunan pekerja perkebunan, dia mulai khawatir sejarah teh Tulungagung terhapus tak bersisa.



“Saya hanya ingin, orang Tulungagung bisa menikmati dan bangga dengan teh dari tanah mereka sendiri,” kata lelaki keturunan Jawa Bali ini sambil membenahi topi.



Ketut mengakui tak punya pengetahuan apa-apa soal teh. Tapi dia mau belajar mengolah teh secara tradisional dari masyarakat yang dulu pernah bekerja di perkebunan dan pabrik teh. Pada 2011, dia mulai mencoba menjual daun-daun teh hasil olahannya dalam kemasan sederhana dengan merek Teh Tubruk Mbah Djie.





TEH TUBRUK MBAH DJIE

Teh tubruk merupakan sajian teh yang dibuat dengan cara sederhana. Cukup sejumput daun teh kering diseduh dengan air panas. Tradisi ini yang ingin Ketut kembalikan. Sementara merek Mbah Djie, diambil dari nama belakang kakek dan ayahnya. Bentuk balas budi untuk dua lelaki yang dia hormati. “Semoga hal yang saya lakukan ini, bisa menjadi besar seperti mereka membesarkan saya,” kata Ketut dengan nada bangga.



Dengan harga Rp7.500 per renteng yang berisi 15 plastik teh sekali sedu, Teh Tubruk Mbah Djie dia titipkan ke warung-warung. Paling tidak satu renteng di satu warung, setiap hari sepulang dia mengajar olahraga SMK di Tulungagung. Selama 4 tahun, dia lakoni hal ini. Tak hanya menitipkan produknya, tapi dia jalin juga keakraban dengan pemilik dan pengunjung warung. Keakraban pun terbangun menikmati teh bersama layaknya keluarga.



Pada 2015, Ketut mulai percaya diri mengenalkan produknya lebih luas lagi. Dia memperkuat brand, mengubah kemasan, mengurus izin produksi, berjualan di kawasan pinggir kali, hingga akhirnya bisa membuka Kedai Teh Mbah Djie di pusat kota Tulungagung yang bisa dikunjungi sore sampai malam hari.








Selama 9 tahun profesi sebagai penjual teh dia jalani. Tujuannya sederhana, yaitu memperkenalkan teh dari tanah kelahirannya, Tulungagung. Kini produk Teh Tubruk Mbah Djie bisa dibeli melalui akun instagramnya. Teh hitam dan teh hijau produk premiumnya sudah ada di beberapa kafe di Yogyakarta dan Bali. “Seperti menyeduh teh, produk tersebar perlahan tapi pasti,” katanya sambil menuangkan air panas ke dalam gelas teh untuk saya.



MENIKMATI HIDUP DENGAN TEH TUBRUK

Bagi saya teh hanya sekadar teh. Hangat, harum, nikmat. Tapi setelah berbincang dengan Ketut, saya jadi sadar bahwa teh yang saya teguk ini melalui proses yang panjang. Mulai dari helai daun yang dipetik, diolah, hingga tersaji.



Teknik penyajian teh pun bukan hal mudah. Dari jenis teh yang dipilih, cara menyeduh, takaran, teko, dan suhu sangat menentukan. Belum lagi penambahan aroma dan rasa, seperti rosella, melati, kayu manis, dan banyak lagi yang masing-masing memeiliki karakter berbeda. Perlu keahlian untuk memadankannya, agar cita rasa teh jadi lebih nikmat.





“Belajar itu panggilan alam, mbak,” kata Ketut tersenyum, ketika saya mengaku tak mampu dalam sekejap menangkap segudang ilmu.



“Teh mengajarkan saya untuk tidak serakah,” lanjutnya. “Saya hanya memproduksi teh dari petani-petani Tulungagung dari kebun-kebun yang tersisa. Segenggam daun teh yang dipetik, segenggam itulah yang saja jual. Di sini saya tahu, artinya berkecukupan.”



Saya hanya bisa diam mendengarkan, menyadari bahwa nilai kehidupan ada di sekeliling kita. Tinggal bagaimana kita peka, paham, dan menerima apa adanya. Sejumput daun teh diletakkan di dalam gelas kaca. Saat air dituang, helaian daun teh akan teraduk sendirinya. Helai-helai daun teh yang terendam perlahan naik dan mengambang. Air seduhan perlahan berubah warna. Biarkan airnya menjadi sedikit hangat, agar saat diminum terasa nikmat.



Begitulah gambaran bagaimana kita menjalani hidup. Saat masalah dan cobaan datang, tenangkan hati sejenak, jernihkan pikiran, dan temukan jawaban. Tidak perlu terburu-buru apalagi bertindak gegabah. Kita akan menemukan jalan hidup yang benar dan ringan dalam melangkah. █



KEDAI TEH MBAH DJIE

Jl. Kyai Wachid Hasim, Kauman, Tulungagung

Jam Buka: 15.00 – 23.00 wib

Harga: Rp5.000 – Rp.15.000




--------------------------------------------------



Perjalanan di akhir November 2020 bersama para blogger dan vlogger ini, terlaksana atas undangan Forum Tuladha, Komunitas Tulungagung Muda Berdaya dan Berbudaya. Foto-foto juga instagram dengan hashtag #TulungagungBercerita #TulungagungBerbudaya #Tuladha2020


Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment