Wayang Kencrung, <br>Cara Kocak untuk Merenung

Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2015-03-08

Awalnya saya sempat membayangkan pertunjukan wayang, yang walaupun dengan embel-embel kontemporer, tapi tetap masih dengan sorot lampu pengganti 'blencong' dan dalang yang duduk di belakang bentangan layar.


Gaya modern langsung tampak pada tampilan siluet 'gunungan' di awal pertunjukan, bergambar beberapa pasang mata. Siluet tokoh-tokoh wayang lain pun muncul bergantian dengan gaya masa kini. Ada yang gempal, cungkring, berjanggut, memakai topi, tapi ada juga yang cantik berkain batik. Semuanya dibuat dengan detil yang apik.



FOLK MATARAMAN INSTITUTE menyajikan pertunjukan yang berbeda. Samuel Indratma sebagai dalang memilih 'mengatur dunia pewayangan' dari belakang penonton. Lalu selama pertunjukan, semaunya turun ke panggung dan berjalan ke sana-kemari, bahkan ikut bernyanyi. Begitu juga narator, yang tiba-tiba muncul mengenakan kostum berwarna pink bling-bling, kaos kaki bermotif bunga-bunga, berkaca mata, mengenakan mahkota dengan head lamp sebagai hiasannya.



Lakon Ande-Ande Lumut pun dibawakan menyimpang jauh dari cerita asliya. Bercerita tentang Ande-Ande Lumuten, pemuda yang meratapi keadaan negeri ini, yang makin bobrok karena dipenuhi orang-orang rakus dan para keparat.

Sementara wayang antagonisnya adalah Pak Wrekso ‐pejabat kaya raya, tua bangka yang genit dan 'nakal'. Kegemaranya melakukan korupsi, mengeruk uang rakyat demi kantong pribadi selalu didukung oleh Selo, kaki tangan yang dengan senang hati membantu karena pasti kecipratan rezeki.
Termasuk ketika Pak Wrekso jatuh cinta pada Sarinah, seorang janda cantik molek yang menjadi ibu angkat si Ande-Ande Lumuten.

Dalam wayang, Sarinah ditampilkan dengan bentuk wanita langsing semampai, hidungnya mancung, rupanya cantik menawan, walaupun disebut dalam nyanyian Sarinah wis nduwe anak telu. Dan saking sempurnanya si pembuat wayang menggambarkan Sarinah, hingga ki dalang pun ikut jatuh cinta.



Pertunjukan wayang berlangsung ringan dan kocak, apalagi ketika tiba-tiba di layar yang muncul bukan siluet wayang, melainkan siluet orang yang karakternya persis gambaran tokoh wayang. Wih, cerdas!



Para pemusik pun bebas melontarkan celetukan-celetukan atau celaan. Pemain gitar yang sempat ngambek dan mengancam pulang karena merasa ki dalang lebih memanjakan pemain cello daripada pemusik yang lain ha... ha... ha... membikin 'pecah' suasana.



Wayang Kencrung, tidak melulu diiringi dengan irama musik keroncong. Diawali dengan lagu-lagu ciamik berirama reggae. Di tengah cerita pilihan lagu-lagu dari Koes Plus, seperti 'Mari Berjoget' dan 'Mengapa Harus Terjadi' malah bikin saya yang menonton ikut bernyanyi. Begitu pula saat lagu 'Jatuh Cinta'-nya Titiek Puspa dilantunkan.



Ini salah satu pertunjukan plesetan khas Jogja. Dibawakan dengan cara yang mudah dimengerti, lucu, pokoke waton ngguyu wae ora usah dipikir ha... ha... ha.... Walaupun sebenarnya kalau dicerna dalam ceritanya tetap sarat pesan anti korupsi dan contoh tindakan yang merugikan orang lain. Mengingatkan kita untuk menjaga alam dan tanah tumpah darah, serta tetap bersatu dan tumbuh dalam perbedaan.



Di akhir acara saat para pendukung Wayang Kencrung diperkenalkan, ini tidak berarti acara sudah rampung. Mereka malah duduk di depan panggung sambil mendengarkan lagu dan menari. Setelah itu mereka menyebar dan dengan gembira menyalami para penonton, mengucapkan terima kasih. Menutup pertunjukan dengan sesuatu yang tidak monoton.




FOLK MATARAMAN INSTITUTE dan semua pendukung Wayang Kencrung ‐yang tak bisa disebutkan satu persatu, karena sibuk tepuk tangan lantas lupa meng-on-kan voice recorder ha... ha... ha.... teriring senyuman, saya ucapkan terima kasih atas pertunjukannya.

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment