Mudik atau Tidak Mudik?
Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2020-04-06
"Jangan pulang! Diam-diam saja di sana!" Itu jawaban tegas ibu saya, Ketika saya bilang ingin pulang. Puluhan tahun menjadi anaknya, tak pernah saya mendengar ibu berkata begitu. Sedih. Rasanya seperti dibuang dari keluarga.
Tapi ketika malam itu, di Stasiun Pasar Minggu, tiba-tiba saya berhenti di deretan papan iklan yang terpampang di hadapan, menampilkan deretan gedung perkantoran di Jakarta. Bagai mendapat pencerahan. Saya jadi sadar, sekejam-kejamnya ibukota, untuk sementara saya memang harus tetap tinggal di sana, selama masa wabah corona ini belum sirna.
Bukan tak ingin bejumpa dengan anaknya, tapi ibu lebih tenang kalau saya tidak ke mana-mana. Tetap berada di rumah adalah hal paling sederhana yang bisa saya lakukan. Memperkecil kemungkinan berinteraksi dengan orang, menjadi upaya untuk memutus rantai penyebaran virus corona.
KALAU NEKAT PULANG KAMPUNG
Wabah corona tak kenal waktu. Pagi, siang, malam, ia datang seperti hantu. Sudah banyak korban berjatuhan, yang sakit bahkan akhirnya menyerah tak mampu melawan.
Sementara yang sehat masih berusaha tetap berdiam di rumah. Membuka-buka almanak dan sadar, bulan puasa dan Lebaran sudah menjelang. Hari di mana biasanya semua berkumpul dengan keluarga dan handai taulan.
Sebagian besar mudik sebagai tradisi tahunan.
Tapi yakinkah kalian hendak mudik? Yakinkah wabah ini sudah usai? Atau jangan-jangan akan makin parah dan menyebar ke mana-mana seiring tradisi mudik dilakukan.
Jangan dibayangkan! Batalkan saja rencana kalian. Saya tidak akan mudik tahun ini, sudah saya tetapkan di hati. Dan ketika saya utarakan pada kedua orang tua, mereka malah lega.
Padahal kalau mudik, hanya memerlukan waktu 3 jam perjalanan bila ditempuh naik kereta. Tapi tetap saja saya tak tergerak untuk berani pergi ke Bandung. Tempat kedua orang tua saya tinggal bersama kakak sulung.
Membayangkan perjalanan dari tempat kos ke Stasiun Gambir, naik ojek saja sudah bikin hati resah. Lalu di stasiun pun saya harus menunggu. Sesepi-sepinya stasiun mungkin saya tak berani duduk di kursi sampai tiba jadwal keberangkatan kereta.
Saya yakin tak ada rasa gembira melihat Tugu Monas menjauh di belakang, karena tiga jam ke depan pasti tak menyenangkan, mungkin malah cemas sepanjang perjalanan.
Sesampai di Stasiun Bandung, perjalanan belum selesai, karena saya harus naik ojek lagi sampai ke rumah, jauh di Bandung Utara. Apakah ada virus yang terbawa? Saya tak berani membayangkan, walaupun rasanya badan sehat dan cuci tangan puluhan kali sudah saya lakukan.
Sesampai di depan rumah pun saya yakin bukan senyuman atau bentangan tangan yang ada. Tapi tatapan marah ibunda. Bisa jadi saya harus mandi dan menyikat diri di halaman. Mungkin juga seharian saya hanya berkain sarung, karena seisi ransel dikeluarkan, dicuci dan semua tergantung di jemuran.
'Penderitaan' tak selesai sampai di situ. Sudah berhadapan pun jangan berharap bisa cium tangan, apalagi cium pipi kiri-kanan. Bisa jadi makan pun saya harus duduk di pojokan.
Kecemasan terus berlangsung sampai 14 hari. Agar meyakinkan kalau betul tak ada virus yang saya bawa dari Jakarta. Apa akan nyaman suasana Lebaran seperti ini?
UNGKAPKAN CINTA DARI MANA SAJA
Setiap mudik Lebaran biasanya kita akan bertemu dengan orang tua, keluarga, kerabat, dan handai taulan. Saling berkunjung ke rumah saudara atau mengadakan reuni dadakan dengan teman-teman. Alasannya, rindu karena lama tak jumpa.
Tahun ini, tidak mudik bukan karena tak ingin berjumpa. Tapi lebih karena saya peduli pada kesehatan kedua orang tua. Tidak mudik bukan berarti tak berbakti pada mereka, tapi lebih baik mengalah dulu pada keadaan daripada menyesal nantinya.
Tak perlu khawatir. Karena kecanggihan teknologi sudah membukakan jalan. Tidak mudik pun masih bisa saling berkirim pesan melalui telepon genggam, mengucapkan selamat Lebaran. Bisa juga bertatap muka walau terbatas layar kaca.
Yang membedakan hanyalah, kita tak bisa mencium tangan kedua orang tua, saling berpelukan dengan saudara, atau bercanda berangkulan dengan teman sepermainan. Tidak pergi ke masjid untuk tarawih dan Sholat Ied bersama di lapangan. Dan pastinya tak bisa menghabiskan ketupat dan opor ayam bersama-sama.
Tapi yang jelas pernyataan "Mohon maaf lahir batin" tetap bisa tersampaikan. Tak berjumpa tidak mengurangi arti, selama diungkapkan tulus dari hati.
Tak perlu sedih, malah sebaliknya saya bersyukur karena orang tua, keluarga, saudara, kerabat, dan kalian semua masih dalam keadaan sehat.
Berlapang dada saja, karena di sini sebenarnya kita diuji. Tergerak berempati atau malah mau menang sendiri. Seberapa peduli kita pada orang-orang yang dicintai. Kita juga bisa bertanya pada diri sendiri, apakah selama ini bilang rindu sebatas di mulut saja? Nah, dengan begini, sekarang baru tahu bagaimana rasa rindu sebenarnya.
Berbesar hati untuk menunda rencana. Yang penting berdoa, agar wabah ini cepat usai. Dan semua bisa bertemu dalam keadaan sehat dan bahagia. █
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment