Monolog Wanodja Soenda
Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2020-01-31
Wanodja artinya wanita dalam bahasa Sunda halus. Mendengarnya saja seakan memuja dan meninggikan martabat kaum wanita. Tapi ada masanya, wanita menjadi kaum yang tak pernah mendapat tempat sejajar dengan kaum pria. Dianggap tak layak mengenal bahasa, aksara, dan angka.
Hal ini ditampilkan jelas pada Monolog Wanodja Soenda yang digelar di Grand Ballroom Savoy Homann, Bandung pada akhir Januari 2020 lalu. Sebagai penggagas, Heni Smith, Direktur The Lodge Group, merasa harus menyuarakan bagaimana isi hati kaum wanita pada suatu masa tentang keinginan belajar yang terkekang dan upaya mengangkat derajat agar setara.
Bagi kaum wanita kala itu “Nasib buruk belum pudar, nasib baik malah seakan jauh meninggalkan …” sepenggal kalimat dari puisi yang dibacakan Atalia Praratya Kamil ini menggambarkan harapan yang tak kunjung jadi nyata. Tapi di antara kerumuman wanita penurut dan tak berdaya selalu ada sosok-sosok yang berani melawan arus.
“Tak harus berteriak lantang. Tapi berupaya agar suara mereka bisa terdengar di telinga anak-anak bangsa,” kalimat penutup dari Inaya Wahid sebagai narrator membuka kisah tentang perjuangan tiga wanita Sunda, Emma Poeradiredja (Rieke Dyah Pitaloka), Raden Dewi Sartika (Sita Nursanti), dam Lasminingrat (Maudy Koesnaedi).
EMMA POERADIREDJA (1902 – 1976)
Lahir di Cilimus, Kuningan, 13 Agustus 1902. Emma Poeradiredja lahir dari keturunan ‘Raden’. Ia tumbuh menjadi sosok wanita berpendidikan, berpikiran terbuka, dan tegas. Emma selalu yakin bahwa wanita dan pria adalah setara. Sama-sama punya andil dalam perjuangan, karena sejatinya para wanita adalah penyangga bangsa.
“Aku hadir di konggres itu,” kata Emma dengan nada bangga. Disambut lantunan biola lndonesia Raya. Saya terbawa suasana haru dan bangga. Rasanya sesak di dada, ingin ikut bersama menyerukan Sumpah Pemuda. Perjuangan tak selalu angkat senjata, dengan Pasoendan Istri, organisasi yang Emma bentuk pada 1930, ia membuktikan bahwa wanita tetap bisa punya ruang yang leluasa untuk mengutarakan pikiran-pikirannya. Emma menjadi wanita pribumi pertama di Dewan Rakyat Bandung. Seorang wanita Sunda yang duduk sejajar dengan para meneer Belanda.
Ketika pecah Perang Dunia II, wanita pribumi malah berada di pinggir neraka. Musnah sudah harga diri, jiwa dan raga. Menjadi salah satu anggota organisasi wanita, Fujinkai, bukanlah sebuah keberpihakan. Itu adalah strategi bertahan hidup, agar tetap bisa berjuang. Emma yakin satu hari terang akan datang.
Emma Poeradiredja adalah wanita pribumi pertama yang diterima bekerja di Staatspoorwagen (SS), jawatan cikal bakal PT Kereta Api Indonesia pada 1922. Ia pernah bermimpi, satu saat nanti kereta api tak hanya untuk mengangkut hasil bumi, bukan hanya para meneer, mevrouw, atau tentara. Kereta api bisa dinaiki siapa saja. Manusia-manusia merdeka.
RADEN DEWI SARTIKA (1884 – 1947)
Lahir di Cicalengka, Bandung, 4 Desember 1884. Dewi Sartika dibesarkan oleh pamannya, saat ayahnya, Raden Rangga Somanegara menjalani hukuman pembuangan ke Ternate, Maluku. Ia beruntung dilahirkan di keluarga menak dan bisa mengenyam pendidikan di sekolah Belanda. Sejak kecil ia sudah bercita-cita menjadi guru. Pastinya karena terinsipirasi oleh Agan Eni, istri dari pamannya, yang kerap mengajari para gadis-gadis menak tentang tata karma dan budi pekerti, keterampilan memasak, membuat pola, dan menjahit busana.
Karena bisa membaca, Dewi Sartika menjadi andalan para gadis menak untuk membacakan surat cinta dari kekasih-kekasih mereka. Mereka memang tak seberuntung Dewi Sartika. Walaupun seharusnya mampu, tapi keluarga mereka tidak merasa perlu mengirim mereka bersekolah. Sekolah hanya membikin resah. “Bahagia saja dengan kesederahanaan. Tanpa perlu bisa membaca. Pahalanya surga!”
Tak ingin kaumnya buta aksara, Dewi Sartika akhirnya membuka Sakola Istri bagi gadis-gadis pribumi di halaman belakang rumahnya. Mengenalkan angka dan aksara pada gadis-gadis pribumi. Setiap kelas dimulai ramai orang berkerumun. Entah penasaran ingin ikut belajar atau hanya sekedar menyebarkan gunjingan.
Kabar angin pun sampai ke Meneer C. Hammer, pengawas pendidikan Hindia Belanda di Bandung. Ia mengagumi Sekolah Istri, namun selama masih di wilayah pemerintahan Hindia Belanda, tetap ada aturannya. Apalagi sekolah bagi wanita pribumi. Harus ada restu dan ada yang melindungi.
Dari caranya membusungkan dada, saya merasakan betapa geram Dewi Sartika sebenarnya. Dihadapkan pada peraturan yang terus saja mencengkeram. Tapi ia memilih berpikir jernih demi masa depan. Ia tekan harga diri, bersimpuh dan memohon restu Aria Martanegara, sang penguasa Tumenggung Bandung.
RADEN AYU LASMININGRAT (1843 – 1948)
Lahir di Limbangan, Garut, 1843. Berbeda dari penampilan Emma Poeradiredja dan Dewi Sartika, Lasminingrat berperawakan anggun dan lemah lembut. Tapi dari sorot matanya yang tajam, jangan sangsikan kepandaiannya. Mungkin karena ayahnya, Raden Haji Mohammad Musa adalah seorang penghulu dan sastrawan Sunda yang berpikiran terbuka.
Dari teman-teman ayahnya, Karel Frederick Holle dan Levyson Norman, Lasminingrat belajar membaca dan menulis dalam bahasa Belanda. Melalui buku-buku cerita, buku pengetahuan, bahkan majalah. Lasminingrat pun rajin menerjemahkan cerita-cerita itu dalam bahasa Sunda. Tak lupa, ia sisipkan pesan moral dalam setiap cerita.
Lasminingrat menikah dua kali. Setelah suami pertamanya meninggal. Ia disunting oleh Raden Djenon, Bupati Limbangan. Sebagai istri kedua, ia mendapat tetap dapat mendapatkan kebebasan untuk terus menulis. Bahkan ia menerbitkan buku berjudul Tjarita Erman (1875) yang disadur dari cerita Hendrik Van Eichenfels .
Nama Lasminingrat cukup dikenal baik oleh para petinggi Hindia Belanda dan kalangan menak Bandung. Ia turut mempengaruhi Aria Martanegara agar memberi restu dan perlindungan untuk Sakola Istri yang diinginkan oleh Dewi Sartika. Lasminingrat sendiri akhirnya mendirikan Sakola Kautamaan Istri pada 1907. Ia tularkan ilmu berhitung, menulis dan membaca, serta keterampilan pada para wanita.
Pertunjukan Monolog Wanodja Soenda ini berlangsung selama 2,5 jam. Disutradarai Wawan Sofyan, para pemain tampil apik berbalut kebaya panjang karya Deden Siswanto dan kain batik. Endah Dinda Jenura, Wida Waridah, Zulfa Nasrulloh, dan Faisal Syahreza yang menyiapkan naskah mampu menyelipkan pesan bahwa perjuangan ketiga Wanodja Soenda ini sungguhlah tak mudah. Tapi tak ada kata putus asa. Ilmu tetap disebar pada para wanita yang sebagian besar hanya tahu cara bertani. Yang terikat pada banyak aturan yang tidak mereka pahami.
Pada kenyataannya, ketiga Wanodja Soenda ini bisa melihat bagaimana roda zaman akan berputar. Ketika kepandaian akan menggantikan jabatan, ketika tingginya ilmu akhirnya menggantikan keningratan. Begitulan nantinya wanita akan dihargai, sebagai dewi yang patut dihormati. █
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment