Sepakbola Persahabatan

Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2019-12-08

Namanya Sepak Bola Persahabatan. Bukan pertandingan dua kesebelasan, melainkan dimainkan oleh ratusan orang di lapangan terbuka. Saat diteriakkan aba-aba, semua orang tidak boleh dalam posisi diam. Harus bergerak, menyapa, saling berkenalan dengan orang-orang sekitarnya.



Diikuti oleh ratusan guru-guru dari seluruh Indonesia, Sepak Bola Persahabatan yang dipimpin oleh Uni Papua ini boleh dibilang semacam permainan interaktif. Semua harus berjalan sambil menyanyikan lagu Garuda Pancasila. Ketika terdengar teriakan, “Delapaaan!” Serentak saling mencari teman membentuk kelompok yang berjumlah delapan orang.



Begitu juga ketika teriakan berubah, “Tujuh belaaas!” kelompok-kelompok kecil itu pun berantakan, saling menarik, memanggil untuk bergabung.



“Empaaat!” Pecah lagi menjadi kelompok-kelopok kecil.

“Limaaa!” berantakan lagi, saling menarik orang dari kelompok sebelahnya.



Tujuan permainan ini sederhana, mengembalikan kebiasaan untuk bersikap ramah, saling menyapa, memanusiakan manusia, dan kerja sama. Lalu aba-aba berubah menjadi bentuk kelompok sesuai agama dan kepercayaan, mata pelajaran, dan provinsi asal. Jelas, ini sebagai pengingat bahwa tidak ada salahnya hidup dalam kelompok, tapi harus pula bisa berbaur, bertenggang rasa, saling menghargai dan menghormati.





Pada kenyataan, bahwa cara mengajar di zaman sekarang tak lagi bisa dengan kekerasan, interaksi antara murid dan guru harus dijalin. Tantangan besar bagi para guru sejarah, agama, ilmu sosial, dan PPKN (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Empat mata pelajaran yang sering disepelekan, padahal sebenarnya menjadi dasar untuk memperkokoh budi pekerti. Itulah mengapa Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) akhir November 2019 mendatangkan lima ratus guru perwakilan dari 34 provinsi ini dalam Persamuhan Nasional, Pendidik Pancasila akhir November 2019 lalu di Hotel Shangri- La, Surabaya.



Sepakat bahwa pendidikan Pancasila harus tetap diajarkan sedini mungkin agar setiap siswa memiliki rasa nasionalisma, kelak menimbulkan rasa cinta negeri. Tapi apa sih Pancasila itu? Absurd. Kalimat-kalimat yang berisi nilai-nilai baik. Tapi kalimat hanya tinggal kalimat, Pancasila baru bernilai bila diterapkan dan diamalkan.






Mulai dari mana? Dari lingkungan terkecil. Keluarga. Sopan santun diajarkan di rumah, bagaimana anak bersikap, itulah yang harus ditanamkan oleh orang tua. Rendah hati, saling memahami, saling menghormati, saling menghargai sesama. Diterapkan dalam keseharian, orang tua pada anak, juga sebaliknya. Adik dengan kakak, juga sebaliknya. Juga keluarga inti dengan keluarga besar.



Keluar dari rumah, ilmu didapat di sekolah. Pengamalannya menjadi semakin luas, karena setiap siswa dihadapkan pada perbedaan. Coba ingat-ingat saat kita sekolah dulu, siap teman sekolah kita? Ada yang fisiknya sempuna, ada yang tidak. Ada yang pandai, yang tidak pun banyak. Ada yang berasal dari keluarga kaya, yang pas-pasan dan kekurangan pun ada. Di sini bagaimana pertemanan tak harus dibeda-bedakan.



Lepas dari sekolah, makin luas pula yang harus dihadapi. Perbedaan suku dan budaya, agama dan kepercayaan, apakah perlu permasalahkan? Apabila ada perbedaan pendapat, seberapa perlu diperdebatkan? Semuanya kembali pada bagaimana kita menghargai pendapat orang lain, tidak memaksakan kehendak. Semuanya kembali pada akar kokoh yang kita miliki.



Sekarang tinggal berbagi. Bagaimana akar kokoh dan semua amalan baik bisa ditularkan. Amalkan dengan hati, lakukan tanpa pamrih.



Sugih tanpo bondo

Digdoyo tanpo aji

Trimah mawi pasrah

Sepi pamrih tebih ajrih

Langgeng tanpo susah, tanpo seneng

Antheng mantheng

Sugeng jeneng.



Artinya kira-kira:

Kaya tanpa harta

Kuat tanpa kesaktian

Menerima dengan pasrah

Tidak menuntut balas budi sehingga jauh dari ketakutan

Senantiasa damai dengan bermartabat.



Bait-bait dari syair yang dibuat oleh Raden Kartono, kakak RA Kartini ini tak saja mengingatkan perwakilan para guru dari seluruh Indonesia tapi juga kita sebagai tunas bangsa Indonesia untuk berbakti pada ibu pertiwi. █

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment