Sumpah Pemuda Janji 34 Propinsi
Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2019-11-06
“Mainnya kurang jauh!” Kalimat ini sering dilontarkan pada orang yang (biasanya) berpikiran sempit. Tapi benar adanya. Bisa jadi dia memang kurang jalan-jalan atau kurang banyak kawannya. Jadi pengetahuannya ya ‘di situ-situ’ saja. Coba bayangkan kalau dia punya kawan main dari setiap propinsi di Indonesia. Pasti lain ceritanya.
Bila tidak bertemu Frans Berek di Persamuhan Nasional 2019 yang diadakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Hotel Marbella Anyer, Banten akhir Oktober lalu, tentu saya tak tahu rasa sebenarnya bagaimana puluhan tahun tak bisa beraktivitas di malam hari, karena tak ada aliran listrik yang mengalir ke desanya. Baru beberapa tahun belakangan mereka bisa merasakan suasana terang di malam hari.
Ketika Frans Berek meminta tolong saya mengambil fotonya, ia berdiri membelakangi hotel. “Itu saja yang tak ada di Flores. Kalau pantai di kampung saya lebih bagus,” katanya tanpa maksud menyombongkan diri. Dan saya setuju itu.
Ternyata, Jakarta sebagai Kota Metropolitan tetap menjadi daya tarik bagi sebagian besar pemuda di seluruh Indonesia. Begitu juga di Larantuka. “Anak-anak Flores selalu ingin ke Jakarta. Kata mereka, kalau bisa sampai Jakarta, hebat sudah.”
“Eh, jangan salah, oom,” kata saya, “Saya yang tinggal di Jakarta malah sebaliknya. Tak ada pemandangan indah di Jakarta kecuali gedung-gedung. Tiga kali ke Flores, dan selalu rindu balik ke sana lagi. Pemandangannya luar biasa. Pokoknya kalau sudah bisa injak Tanah Flores. Bangga sudah!”
“Oh, begitu ya?” tanyanya sambil tertawa. Saya yakin, dia bangga pada tanah kelahirannya.
Frans Berek hanya satu dari 200 orang lebih yang hadir di Persamuhan Nasional 2019. Orang-orang pilihan BPIP ini adalah adalah Pembakti Kampung dari 34 propinsi. Orang-orang hebat yang ingin memajukan dan memberdayakan kampung halaman mereka. Mereka giat melibatkan seluruh warga memajukan kampung, gotong royong dijunjung tinggi. Berbagi ilmu, saling mendukung, musyawarah untuk mufakat diutamakan, semuanya untuk kebaikan bersama.
Ada yang bergerak di bidang literasi, Taman Baca, Rumah Belajar, memanfaatkan keindahan dan keunikan alam sekitar dengan menjadikan kampungnya sebagai Desa Wisata. Dan siapa bilang para seniman kampung itu ‘kampungan’? Mereka malah bebas berkarya. Menggali kembali budaya lokal, mengembangkannya menjadi sebuah karya seni.
Uniknya, Persamuhan Nasional pertama ini diadakan bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2019. Sumpah! Baru kali ini, saya merayakan Hari Sumpah Pemuda dengan orang-orang dari 34 provinsi di Indonesia.
Bayangkan! 200-an orang berkumpul dengan berbagai pakaian adat mendengarkan Sumpah Pemuda dibacakan:
“Kami Putra dan Putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia.
…. Mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
…. enjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Ketika semuanya menyanyikan lagu Indonesia Raya 3 Stanza. Dada saya rasanya mau meledak saking bangganya.
Suasana senyap berganti dengan keriaan. Tifa ditabuh serentak, mendentumkan bunyi yang seragam. Para seniman secara spontan menampilkan tarian khas daerah mereka. Lagu-lagu daerah dinyanyikan sambung-menyambung. Semua yang hadir bernyanyi, membaur jadi satu. Semua bergoyang, berdansa Maumere, berputar, tertawa-tawa, saling berpegangan tangan. Semua bersatu, gembira. Beginilah seharusnya Indonesia. █
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment