Bertemu Orang yang Keliling Indonesia
Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2019-10-01
Kenali orang dari cara ia berjabat tangan. Bila menjabat erat berarti ia seorang yang bersahabat. Seperti lelaki di depan saya, namanya Bung Sila. Yang hanya bermodal motor dan uang seadanya nekat keliling Indonesia.
Tepat pada hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2011, dengan kemauan sendiri ia berangkat dari Maumere menggunakan motornya Honda Supra miliknya. Ia hanya punya semangat, keberanian, dan uang Rp400.000 di kantong. Banyak orang yang menganggapnya gila, tak sedikit pula yang mencibir dan yakin ia tak akan kembali pulang ke tanah kelahirannya. Tapi Bung Sila tetap pada satu keyakinan, bahwa tujuannya baik dan pasti ia akan bertemu orang-orang baik.
Ia mengendarai motor keaarah Barat, melintasi selat dan laut menggunakan kapal. Untuk menghemat uang, ia makan ketika sudah lapar sekali dan bila haus dia akan mampir ke rumah siapa saja untuk meminta minum.
Bukan sekali dua kali dia harus mendorong motornya karena kehabisan bensin, kerap kali saat sampai di pompa bensin ada saja yang membayari ongkos bensinnya. Hanya gara-gara melihat bendera merah putih yang diikat di tiang di bagian belakang motornya. Karena bendera itu juga, Bung Sila ‘ditraktir’ naik pesawat Hercules milik TNI Angkatan Darat di Papua.
Dalam perjalanannya pasti ada lebih sejuta cerita, mulai dari didekati ular saat sedang tidur di pinggir jalan, diincar harimau Sumatera, hingga disandera OPM. Tapi ternyata Bung Sila memiliki pengalaman paling ajaib yang tak bisa ia lupakan. Saat di Tabanan, Bali, motornya ditabrak truk container dari belakang. Semua orang yang melihat kejadian itu berteriak histeris, karena motor terseret di bawah truk.
“Ini satu kejadian yang tak bisa saya jelaskan,” kata Bung Sila, “Saya tak tahu apa yang terjadi dan bagaimana. Karena ketika truk berhenti, saya sudah berdiri di pinggir jalan. Padahal seharusnya saya ikut terjepit di bawah truk.”
Masyarakat sekitar langsung mengerubungi Bung Sila, memastikan dia baik-baik saja. Karena melihat kondisi motor, mereka tadi sudah mengira pengemudi motor seharusnya luka parah bahkan mati. Ketika motor berhasil dikeluarkan dan kondisinya rusak parah, beberapa di antara mereka berinisiatif membawa ke bengkel.
“Saya melihat ada lambang garuda dan bendera merah putih. Pasti kamu memiliki sebuah misi untuk bangsa ini,” kata salah seorang dari mereka yang melunasi semua biaya perbaikan motor, “biar kamu bisa melanjutkan perjalanan.”
Beda lagi ketika di Jawa Timur. Saat Bung Sila berhenti beristirahat di tepi jalan dalam keadaan lusuh karena sudah tak lagi punya baju bersih, lewat sepasang suami istri. Mereka petani dan baru pulang dari sawah. Saling menyapa, lalu mereka mengajak Bung Sila mampir ke rumah. Bung Sila dipersilakan mandi bahkan disediakan beberapa baju pengganti, dijamu makan minum, dan diperbolehkan istirahat sepuasnya. Sampai benar-benar siap melanjutkan perjalanan.
Begitulah sesungguhnya ketulusan hati bangsa ini. Saling menolong, tanpa melihat perbedaan. Seperti ketika Bung Sila tiba di Pidie Jaya, Aceh beberapa hari setelah gempa bumi 8,6 skala richter menimpa Kota Banda Aceh. Beberapa gereja menitipkan sejumlah uang sumbangan untuk disampaikan pada para korban gempa bumi. Bukankah ini yang namanya toleransi?
Kalau saat memulai perjalanan, Bung Sila punya satu keyakinan, bahwa tujuannya baik dan pasti ia akan bertemu orang-orang baik. Saat perjalanan keyakinannya bertambah, bahwa Tuhan memang sudah menyiapkan orang-orang baik dan mereka masyarakat yang berbeda-beda suku, budaya, dan bahasa. Tapi mereka adalah bangsa Indonesia.
Percaya atau tidak, Bung Sila kembali ke Maumere tepat 1 tahun kemudian, dengan senyum lebih lebar, pengalaman lebih banyak, dan uang Rp400.000 utuh di kantongnya. █
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment