Dari Ende untuk Indonesia

Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2019-08-31

Berbicara soal Ende, tak bisa terlepas dari Soekarno. Beberapa tahun di tempat pengasingan malah mendorongnya mencetuskan ide tentang Pancasila. Ideologi yang menjadi tuntunan perilaku kehidupan berbangsa dan bernegara.



Pancasila yang dirancang Soekarno bukan semata-mata wangsit yang turun akibat duduk merenung di bawah pohon Sukun. Tapi lebih karena selama menjalani pengasingan di Ende, beliau berinteraksi dengan masyarakat setempat.



Masyarakat Ende tidak melihat Soekarno sebagai seorang dari suku Jawa yang diasingkan pemerintahan Hindia Belanda, melainkan sebagai saudara sebangsa yang butuh bantuan. Walau berbeda agama mereka menjaga tenggang rasa dan sangat sangat sosial. Mereka melakukan musyawarah dan sepakat pada apa yang diputuskan bersama. Mungkin hal ini memang sudah menjadi laku kehidupan nenek moyang mereka, untuk saling menghormati dan menghargai. Ajaran budi pekerti yang diwariskan turn-temurun dan dibawa sampai mati.





Toleransi bisa diwujudkan. Asal semuanya berasal dari hati.



BERBEDA AGAMA TAPI SATU TUJUAN
Sayangnya, puluhan tahun Ende sempat terlupakan. Padahal selain menjadi kota yang mencatat sejarah, Ende memiliki kekayaan tak terkira. Salah satunya adalah masyarakat yang tak terpancing huru-hara adanya isu etnis dan agama. Karena memang agak sulit menjawab bila ditanya apa agama mayoritas yang ada di Ende? ‘Mayoritas’ hanya sekedar kata yang mengacu pada angka. Di Ende, mayoritas berubah menjadi sama rata.



Walau kita tahu bahwa seiring dengan masuknya Portugis ke Nusantara pada abad 17, turut pula para misionaris menyebarkan agama. Begitu para misionaris Katolik menjejakkan kaki, secara perlahan agama dan kepercayaan nenek moyang pun terganti.



“Tapi sekarang tidak begitu lagi,” kata Pater Lukas Jua, Provincial Flores SVD di Ende. “Misi gereja bukan lagi Katolikisasi. Kami percaya bahwa demokrasi berjalan karena adanya agama dan setiap agama memiliki kontribusi masing-masing pada dunia.”



Pernyataan itu dilontarkan di sarasehan Penelusuran Pancasila di Tanah Rahim Pancasila pada 26 Agustus 2019 lalu di dalam Pondok Pesantren Walisongo, Ende. Bila ada segelintir orang yang memincingkan mata mendengar seorang Pater berbicara di pesantren, hal ini tidak berlaku bagi masyarakat Ende. Karena sudah sejak belasan tahun lalu, Pondok Pesantren Walisongo menjadi tempat kerja prakter para Prater dari SVD se-Indonesia untuk belajar bertoleransi dan belajar ilmu-ilmu agama Islam. Bahkan para Pater membantu Siti Halimah, pemilik Pesantren, membangunkan 200-an santri di pagi hari.




Sebelum ungkapkan cinta untuk si dia, nyatakan dulu untuk negara.





Perbincangan serius Prof. Hariyono dan Pater Lukas Jua tentang toleransi agama.



Menjunjung tinggi toleransi beragama dan kerja sama lintas agama ini menjadi unsur penting idealisme Pancasila. Sesuai pula dengan misi Badan Pembinaan Idealisme Pancasila (BPIP), institusi yang membantu Presiden melakukan pembinaan ideologi pada masyarakat luas ini juga menganggap Pondok Pesantren Walisongo di Ende sebagai sebuah tempat yang sangat Pancasilais. Tidak peduli dengan perbedaan dan keragaman suku, etnis, serta agama, pesantren ini tetap menjunjung tinggi nilai gotong-royong, kebaikan dicerminkan dalam bentuk nyata, sebagaimana yang diajarkan pada kitab-kitab agama.



Tak hanya Pater Lukas yang mewakili agama Katolik, sarasehan ini juga diikuti oleh perwakilan dari umat Kristen Protestan Gereja Masehi, umat Hindu, dan tentu saja umat Islam. Semua sepakat bahwa Pancasila ada di kehidupan sehari-hari masyarakat Ende. Tinggal dijaga kerukunan dan keharmonisannya, agar bisa ditularkan pada yang lainnya.



SEMUA SERBA SOEKARNO DALAM PERPUSTAKAAN MINI

Dalam kesempatan ini Prof. Hariyono, Kepala BPIP juga berkesempatan mengunjungi Perpustakaan dan Museum Mini di Pondok Pesantren Walisongo.



“Dengan adanya perpustakaan ini, diharapkan kita bisa memperkuat, memperkuat, dan merawat bangsa kita,” kata Prof. Hariyono sambil memotong pita tanda Perpustakaan dan Museum Mini resmi dibuka.



Namanya boleh mini, tapi sebuah pemikiran besar tersimpan di dalamnya. Puluhan buku tentang Soekarno disusun berjajar, sebagian lagi ditumpuk di meja. Di salah satu dindingnya dipajang instalasi berupa jajaran puluhan lembar halaman dari buku Soekarno dilapisi bingkai kaca. Tak bisa lepas dari Sang Proklamator, beberapa patung burung garuda pun ikut dipajang.





Pemotongan pita menanda perpustakaan resmi dibuka.





Puluhan buku tentang Soekarno. Semangat Pancasila yang tak boleh padam.





Berbincang soal garuda dan seni, Nanang Garuda dan Taufik Rahzen pakarnya.





Suster pun boleh masuk dan membaca buku di perpustakaan pesantren.





Hadiah dari Bung Sila, tentang perjalanannya keliling Indonesi.





Wayang Pancasila karya Nanang Garuda mewakili nusantara, kata Edi Bonetski





Bernyanyi qasidah diiringi gitar Frater Morghan. Pemandangan sehari-hari di Pesantren Wali Songo.





BPIP pun meminta Liberius Langsinus atau yang dikenal dengan sebutan Bung Sila untuk berbagi pengalaman. Tokoh pemuda dari Maumere ini dengan inisiatif pribadi mengunjungi 34 propinsi menggunakan motor hanya dengan bekal Rp400.000.



Sementara seniman dan budayawa Taufik Rahzen dan Edi Bonetski terbang jauh dari Yogyakarta dan Jakarta untuk berpuisi dan bernyanyi bersama para santri dan santriwati diiringi gitar oleh Frater Morgan, Frater Fian, dan Pater Adi. Beberapa santri pun berkesempatan memainkan Wayang Pancasila karya Nanang ‘Garuda’.



Ini menunjukkan bahwa jiwa Pancasila juga masih dimiliki para generasi muda. Hanya saja wujud dan pengamalannya berbeda dengan generasi sebelumnya. Kini, gotong royong tidak harus diartikan sebagai aktifitas fisik, tapi bisa berupa kolaborasi yang berjalan apik.



Kalau benar di nafasmu Indonesia Raya.

Kalau benar di hatimu patri Pancasila.

Kalau benar di jiwamu tersimpan garuda.

Kita bersama sejalan, satukan hati, untuk satu tujuan mulia. █

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment