Dapat 7 Mukjizat Sebelum Waisak

Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2019-05-30

Sejal awal tahun lalu, keinginan saya sudah bulat. Ingin pergi ke Candi Borobudur untuk menyaksikan perayaan Waisak. Perjalanan untuk pertama kalinya ini terancam gagal. Bukan karena bertepatan dengan bulan puasa, tapi karena mendadak saya harus hidup seirit-iritnya. Untuk pergi, hanya kalau ada mukjizat.




Di satu malam, saya ngobrol dengan Tuhan.

“Tuhan, saya ingin merayakan Waisak tahun ini. Karena saya belum mampu melaksanakan umroh, apalagi naik haji. Saya pikir, tak ada salahnya saya mengikuti prosesi Waisak. Mungkin dengan ikut berjalan kaki bersama umat Buddha, dari Candi Mendut ke Borobudur, saya bisa merasakan bagaimana lelahnya Sa’i di Tanah Suci.



Maafkan saya, karena sebenarnya saya lelah ditakuti-takuti soal neraka. Tapi jarang sekali ahli agama yang mengajarkan bagiamana cara mendapatkan tiket ke surga. Semua ulama menceritakan keagungan-Mu, tapi lupa mengajarkan bagaimana berlaku baik pada sesama.



Saya terlahir sebagai muslim, sekarang masih muslim, dan saya tetap akan menjadi muslim atas restumu. Tapi menghadapi kehidupan sehari-hari, malah lebih mudah saya pahami dari ajaran agama Buddha. Untuk saling mengasihi, saling menghargai, tak saling membenci, tidak merusak, dan tidak menyakiti makhluk lain di bumi.”



Malam itu saya berbesar hati. Menyadari situasi yang tak memungkinkan, tampaknya keinginan pergi pun harus ditunda. Saya pendam diam-diam, bahkan saya hapus perlahan. “Gusti Allah mboten sare,” begitu pepatah Jawa berucap. Tuhan tak pernah tidur. Ia punya cara sendiri membalas obrolan umatnya.



1. PETIR DARI GUNDALES

Hari Waisak jatuh pada 19 Mei 2019. Di awal Maret, menjelang tengah malam, seorang teman mengirimkan pesan melalui ponsel. “Kamu mau ke mana dalam waktu dekat ini, mbak?” Sebut saja namanya Gundales Putra Petir. Saya pun ngoceh soal rencana pergi ke perayaan Waisak yang terancam gagal.



Keesokan pagi, dalam perjalanan ke kantornya Gundales Putra Petir menyempatkan bertemu saya. Ia sodorkan selembar kertas, tiket KA Dwipangga Jakarta – Yogyakarta untuk pemberangkatan 16 Mei 2019.



Tuhan Maha Pembuka Jalan, Ia menghilangkan kesulitan dan memberi keputusan Mungkin ini memang pertanda keinginan saya Dia restui.




2. PAYUNG PEMBAWA BERKAH

Di akhir Maret, saya diundang ke acara Wonderful Noon, yang diselenggarakan Kementerian Pariwisata RI. Di acara seru-seruan itu, saya mengikuti lomba menghias payung. Dari sekian banyak pemenang, saya salah satunya! Hadiahnya adalah selembar voucher hotel dari TAUZIA Group, bertuliskan POP! Hotel Tugu Yogyakarta.



Tuhan Maha Maha Pemurah. Di kala saya masih bimbang, Ia memberikan satu lagi pertanda. Artinya saya memang harus berangkat.






3. NILAI KEKERABATAN

Dua minggu sebelum keberangkatan ke Yogyakarta, saya baru berani, menghubungi Nilam Wulandaru, teman satu almamater di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Seperti biasa dia membalas pesan saya melalui ponsel, “Yo we kowe bobok kene wae! Saiki wis ono angkringan nang ngarep omah.”



Nilam dan keluarganya tinggal di Yogyakarta. Rumahnya sudah seperti tempat transit bagi saya dan beberapa teman lainnya. Entah hanya numpang mandi, atau numpang mandi, numpang tidur, sekaligus minta makan.





Keluarga Nilam Wulandaru yang selalu bisa diandalkan.




Angkringan Payung, murah, meriah, kenyang, lengkap dengan wi-fi.



Ketika tahu saya hendak ke perayaan Waisak, Nilam memberi nomor telepon Suitbertus Sarwoko, kakak kelas sesama almamater yang berprofesi sebagai pelukis dan pemilik Galeri Banyu Bening di sekitar kawasan Borobudur.



“Silakan kalau mau mampir. Ada kamar sederhana kalau mau menginap. Rumah saya persis di depan gerbang masuk Candi Borobudur.” Begitu balasan pesan yang saya terima.




Keluarga Suitbertus Sarwoko. Rumahnya 10 langkah dari gerbang Borobudur.



4. JALAN UNTUK BERIBADAH

Tuhan Maha Merencanakan Sesuatu. Ia tak berbicara langsung pada saya, tapi Ia lakukan melalui teman-teman saya. Selain Nilam dan Suitbertus, ada Uul HIjadan, teman di Yogyakarta yang tahu rencana saya untuk merayakan Waisak di Borobudur.



Ia memberi saya kontak Walubi (Perwakilan Umat Buddha Indonesia). Dari mereka, saya mendapatkan jadwal acara, dan bagaimana caranya agar saya bisa beribadah dan mengikuti prosesi sesungguhnya.





5. PERBEDAAN DULU & SEKARANG

Beberapa hari menjelang keberangkatan, saya masih mencari moda transportasi apa yang termurah untuk saya kembali ke Jakarta. Sampai seorang teman menghubungi karena sebuah divisi dari PT KAI hendak meminta testimoni perihal perbedaan fasilitas kereta api dulu dan sekarang, termasuk pelayanan di atas kereta.



Obrolan santai berlangsung menjelang buka puasa. Sampai saatnya berpisah, salah seorang memberi amplop pada saya. Isinya sebuah voucher kereta api eksekutif, yang bisa saya pakai kapan saja ke mana saja.



Tuhan Maha Dermawan. Ia menjawab semua kebutuhan saya untuk menjalankan ibadah, walaupun itu merupakan ibadah lintas agama.






6. IBADAH & KEWAJIBAN IBADAH

Ada sedikit hal yang mengganggu pikiran saya. Kalau saya mengikuti prosesi perayaan Waisak. Bagaimana saya sholat? Walau saya diberi info di Candi Mendut dan Borobudur tetap difasilitasi musholla. Di sekitar kawasan tersebut pun banyak masjid yang terbuka bagi setiap jamaah.



Dua hari menjelang keberangkatan, saya datang bulan. Tuhan Maha Tahu. Ia berikan saya kesempatan. Walaupun tak boleh naik ke atas candi sebagai tempat suci, namun saya bisa leluasa mengikuti prosesi dari siang hari sampai pagi menjelang.



7. KAKI YANG KAKU

Hampir 6 bulan lebih kaki kanan saya mengalami cedera. Tidak parah, namun sangat tidak nyaman. Otot di bagian lipatan paha dan betis seperti kaku. Sangat tidak nyaman ditekuk saat sholat, sakit kalau harus naik-turun tangga, rasa pegalnya pun menyiksa.



Ini akibat saya terlalu sering membawa ransel berat. Otot kaki dipaksa terus menumpu beban. Saya disarankan mengurangi isi tas. Duh, bagaimana ya? Yang di tas saya semuanya penting. Mulai laptop, power bank, alat make-up, sampai bulu mata palsu pun saya bawa.



Di hari keberangkatan, ransel besar sudah ada di punggung. Satu ransel lain dengan ukuran lebih kecil berisi laptop, agenda, dan semua ‘isi meja kerja’. Saya haru berjalan menuju halte bus sejauh 500 meter untuk menunggu bus. Dua kali ganti jalur bus untuk sampai di Stasiun Gambir. Sesampai di Yogya pun saya masih harus memanggul dua ransel itu ke mana-mana. Jangan tanya bagaimana rasa sakitnya kaki saya.



Tapi ketika bangun pagi untuk mengikuti prosesi di Candi Mendut, saya tak merasakan sakit apa pun pada kaki. Saya coba angkat, tekuk, menendang tak ada rasa nyeri sedikit pun. Lalu saya coba berjongkok. Tuhan Maha Pengasih! Ia hilangkan cedera di kaki. Saya bisa duduk bersila, bahkan bersimpuh dengan sempurna. Saya yakin, Tuhan merestui perjalanan ini.



Kalau seperti di acara-acara penghargaan, saya akan berkata, “Terima kasih pada para sponsor yang sudah membuat perjalanan saya merayakan Waisak 2019 lancar. Terima kasih Gundales Putra Petir, Nilam Wulandaru sekeluarga dan Angkringan Payung, keluarga Suitbertus Sarwoko, Uul Hijadan, Walubi, Kementerian Pariwisata RI, POP! Hotel Tugu Yogyakarta, PT. KAI, dan sponsor utama, Tuhan yang Maha Esa. Yang mengingatkan saya untuk selalu bersyukur. Yang menunjukkan bahwa Ia adalah Sang Maha Penguasa, Maha Pengatur, dan Maha Mengabulkan Segalanya." █

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment