Pilih Transportasi Apa?

Category: Sepeda • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2009-12-18

Di Jakarta, orang punya cara berpikir berbeda soal transportasi ke kantor. Semua tergantung jarak dan kemampuan ekonomi masing-masing.

Ada yang memilih naik kendaraan umum.

Berdesak-desakan naik bus kota non AC, karena bus transjakarta 'yang tampaknya lebih nyaman' tidak melewati rute dari rumah ke kantor mereka. Kalau memilih bus ber-AC harus rela terkena angin AC yang terkadang berhembus tak rata, sepoi-sepoi, atau malah bikin sakit kepala saking kencangnya.

Menggunakan bus transjakarta pada jam-jam sibuk berarti harus rela berlama-lama berdiri antre di halte, menunggu bus tiba. Saat bus datang, ada saja penumpang di belakang yang adu dorong, memaksa masuk walaupun pintu sudah setengah tertutup. Kalau sudah begini, biasanya sampai kantor 'emosi'-nya masih terbawa.

Yang naik angkutan kota siap-siap kaki tertekuk dan beradu dengkul dengan penumpang lain sepanjang perjalanan. Di saat jam sibuk, naik commuter line pun diperlukan trik tersendiri agar bisa terangkut masuk ke dalam rangkaian gerbong kereta tanpa 'muka menempel di kaca jendela' saking berjubelnya.


Ada yang pengen ngadem sepanjang jalan.

Taksi bisa jadi andalan. Lebih nyaman, tempat duduk luas, dengan sepoi-sepoi sejuk angin AC, dan tak perlu berdesak-desakkan (karena kini armada taksi tak memperbolehkan penumpang lebih dari 3 orang duduk di kursi belakang ha... ha... ha...). Sampai di kantor penampilan tak lusuh, pakaian tetap licin, aroma minyak wangi pun masih tersisa.

Kalau sudah memilih naik taksi harus berani tidak melirik argo. Karena kemacetan yang ditempuh sih, sama tapi harga berubah sesuai jarak terjauhnya. Kalau mau lebih ngirit, ya naik taksinya barengan dengan beberapa teman yang pergi atau pulang satu arah satu tujuan, biar ongkos bisa ditanggung bersama.


Maunya naik mobil pribadi.

Karena dijamin nyaman banget. Tidak perlu keluar ongkos taksi, tapi yaaa tetap harus beli bahan bakar sendiri. Selain itu harus juga kuat mental nyupir bermacet-macetan, atau pilihan lainnya harus kuat membayar gaji seorang supir pribadi.


Mau panas-panasan sedikit, asal cepat sampai.

Ojek motor bisa jadi pilihan untuk menembus kemacetan dengan cepat. Sekaligus jadi ajang uji nyali karena ngebut dan menyalip sana-sini.


Kalau nggak mau dibonceng naik ojek.

Ya beli motor sendiri, dikendarai sendiri....


Makanya saya memilih sepeda saja jadi alat transportasi.

Karena rasanya sudah capek banget bertahun-tahun naik kendaraan umum di jam-jam sibuk. Kalau mau naik taksi pulang-pergi kantor, nggak kuat bayar ongkosnya. Mosok harus puasa makan setiap hari kerja? Sementara saya tidak punya mobil. Kalaupun punya SIM A, tapi rasanya saya sudah menyerah duluan kalau disuruh nyupir menembus kemacetan Jakarta. Kalau langganan ojek kok, sepertinya boros sekali. Mau beli motor, saya sudah lupa caranya mengendarainya.

Nah, komplet sudah jawabannya.

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment