Mantan Manten

Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2019-03-30

Lupakan mantan! Mudah diucapkan tapi susah dilakukan. Ini masalah hati, kadang susah diimbangi logika. Soal ini memang hanya ada dua pilihan. Melupakan masa lalu kelabu atau bertahan mengingatnya sambil terus meratap mendayu-dayu.



Asap rokok dihembuskan ke arah baju beskap putih pengantin pria. Tangan
paes manten (perias pengantin) mengelus pelan, bibirnya terkatup rapat tapi di dalam hati ia merapal mantera.



Sebelumnya, pengantin pria sempat mengurungkan niat, karena baju pengantin yang seharusnya ia kenakan ternyata tak muat. Apa jadinya kalau ia bersanding tanpa beskap. Jas tertutup berkerah tinggi itu akan menjadikannya raja sehari. Panik, malu, kesal, semua jadi satu.



Ketika paes manten menyodorkan beskap untuk dikenakan kembali oleh pengantin pria. Menyematkan kancing satu per satu, dan ternyata pas di badan. Senyum sumringah mengembang, ia tampil gagah layaknya raja.



Percaya atau tidak, dalam budaya Jawa ada saja hal-hal di luar logika. Ini yang diangkat film Mantan Manten yang disutradarai , Farishad Latjuba. Aneh, tapi memang terjadi.



DARI PUNCAK MELUNCUR KE BAWAH

"Aku tak akan melepaskan pelukanku," kata Surya Iskandar (Arifin Putra) yang dijawab dengan janji Yasina (Atika Hasiolan) tak akan melepaskan cincin tunangan dari jarinya, ternyata cuma bahasa manis di lidah. Ketika Yasnina dijebak dan dicampakkan oleh Iskandar (Tio Pakusadewo), calon mertuanya.



Segalanya pun berubah. Dari seorang penasehat keuangan ternama, martabat dan harga diri bagai hilang musnah. Kesuksesan yang sudah berada di puncak gunung, mendadak merosot ke bawah. Dunia Yasnina jungkir balik tanpa ia minta. Usaha Yasnina untuk menuntut balik secara hukum pun dipandang sebelah mata, karena ia sudah tak punya apa-apa. Hanya ada rasa malu, marah, sakit hati, dan kesombongan yang tersisa.



Dari Ardy (Marthino Lio) mantan sekretarisnya, Yasnina ingat, masih ada satu harta yang ia punya. Sebuah rumah di Tawangmangu, yang pernah ia beli dua tahun lalu.



DUA PEREMPUAN PUTUS ASA

Rumah yang dimaksud Yasnina, secara resmi masih dimiliki oleh Marjati (
Tuti Kirana
), seorang paes manten yang mengabdi turun-temurun pada keraton. Perundingan tak berjalan lancar. Tawar menawar harga, sampai pembagian komisi berjalan alot. Dua perempuan putus asa ini tak ada yang mau mengalah.




Tapi akhirnya titik terang pun datang. Nina yang mendesak menuntut haknya sebagai pembeli, dilihat Marjati sebagai solusi. Karena ia bertanggung jawab harus mencari pengganti penerus tradisi.



Walau setengah hati, secara tak sadar, Nina belajar tentang pentingnya pemaes dalam budaya Jawa. Bagaimana menangani kegundahan calon pengantin, mendalami ritual dan prosesi, serta pentingnya bermeditasi.



Perlahan ia tak lagi berfikir tentang gemerlap karir, hatinya terbuka untuk suatu tanggung jawab baru. Sayangnya, batu sandungan tetap ada. Ketika Marjati yang dengan susah payah, akhirnya tak kuasa menolak permintaan Iskandar untuk menangani pernikahan Surya. Marjati terjebak pada janji yang sudah ditorehkan ibu dan neneknya pada Kasunanan, untuk mengabdi pada Raja dan keturunannya.



FILM DEWASA

Terus terang ketika mendengar judul film Mantan Manten, saya tak ingin berekspektasi apa-apa. Saking banyaknya film Indonesia yang menjual nama artis tenar, tapi setelah alur cerita yang bagus, mendadak jomplang karena adegan yang dipaksakan. Entah guyonan slapstik, atau hal-hal tak masuk akal 'yang diada-adakan.' Demi menjaring penonton, cerita berisi dianggap tidak penting.



Jadi ketika menonton Mantan Manten di layar lebar, saya yang sudah 'waspada' sejak awal cerita, ternyata malah terbawa cerita. Jelas sebagai produser, Visinema punya standar tersendiri untuk film-film yang dihasilkannya.





Kemunculan Darto (Dodit Mulyanto) membuat suasana pecah. Ia mengangkat dirinya sebagai 'pengawal' Marjati. Bertanggung jawab, baik hati, tapi juga sok tahu, dan dengan jahil mengajarkan cara mutih dalam budaya Jawa kepada Yasnina.



"Ternyata orang kota tak melulu tahu segalanya," kalimat sinis yang diucapkan Darto, seharusnya tak hanya menyinggung Yasnina, tapi semoga diresapi oleh semua orang yang menonton. Jangan sok tahu dan merasa sudah menguasai segalanya.



Di beberapa pergantian adegan memang agak membingungkan. Seperti saat Surya bertemu ayah dan calon mertuanya di pendopo, atau ketika Yasnina minggat dari rumah Marjati dan menginap di hotel lalu Ardy (yang tinggal di Jakarta) datang berkunjung.



Ini sempat membuat saya bertanya-tanya, "Sik! Sik! Iki critane dhe'e nang Jakarta opo Solo?"





Kalau peka, sebenarnya banyak sekali pelajaran yang bisa diambil dari film ini. Tradisi sebagai jembatan pengikat cerita. Tradisi yang harus tetap dijaga, karena bercermin pada tradisi bisa membantu kita memutuskan langkah dan keputusan yang bijaksana.



Farishad Latjuba dan Jenny Jusuf sebagai penulis naskah, sudah berusaha menampilkan filosofi tradisi paes. Walau hanya bagian permukaan saja karena kalau dituangkan semua dalam cerita mungkin bisa jadi film serial 16 episode ha... ha... ha...ha....



Buat penggemar film konyol, pasti film ini menjadi tak menarik. Karena film ini tidak berkisah soal cinta monyet, tapi tentang kehidupan percintaan yang berliku. Yang tak bisa diselesaikann hanya dengan ucapan "I love you.".



Buat kalian yang masih susah melupakan mantan, harus paham, yakin dan percaya. Sebuah niatan bisa memupuskan pergulatan batin, amarah, kebencian, sakit hati, dan dendam masa lalu. Hidup kalian akan lebih menyenangkan, dengan membuka lembaran baru. █

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment