Mi Tek Tek Legendaris di Bandung

Category: Icip-icip Kuliner • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2019-01-01

Jalan kecil di sebelah Savoy-Homann dipenuhi para pedagang kuliner. Dibanding gerobak-gerobak moderen dengan kaca tembus pandang, gerobak pikul jadi lebih menarik perhatian. Nah, ini yang kami cari!



Letaknya di trotoar sisi kiri Jalan Homann. Gerobak pikul tampak di bawah lampu temaram. Sangat berbeda dengan pemandangan di seberang dengan cahaya lampu jalan benderang. Deretan gerobak makanan yang menawarkan beragam kuliner, seperti nasi dan mi goreng, bubur ayam, batagor, martabak, dan masih banyak lagi. Para penikmat kuliner memenuhi trotoar, mereka duduk di kursi-kursi plastik.



Lalu apa yang membuat saya dan Adipati Julian malam itu memilih makan kuliner yang dijual dengan gerobak pikul? Jawabannya ada di spanduk yang terpajang di belakang ibu penjualnya. Tertera tulisan ‘Sejak Tahun 1950’ dan ‘tidak membuka cabang lain’. Pada spanduk juga hanya ada tiga foto makanan, yaitu mi tek-tek rebus, mi tek-tek goreng, dan nasi goreng. Tak ada nama yang menjadikannya ciri khas. Hanya tertulis ‘We’re here for you’. Oouuuwww…





“Ibunya gitu banget, sih,” kata Julian saat duduk di bangku sebelah saya. Ia baru saja memesan satu porsi mi goreng dan satu porsi mi rebus, ibu penjual hanya mengangguk tanpa tersenyum, sambil terus mengaduk telur dan bumbu di dalam kuali. Seakan-akan tak peduli pada pembeli.



Rukiyah, ibu yang duduk di belakang tungku, sibuk membuatkan pesanan. Perempuan yang usianya mendekati 60 tahun ini adalah generasi ketiga yang menjalankan usaha yang dirintis Mazlan, sang kakek, pada 1950. Rukiyah masih mempertahankan cara memasaknya tradisional, yang menggunakan arang. Sebuah kipas angin kecil dipasang untuk mempertahan nyala arang agar tetap membara.



Kami masih harus menunggu dua pesanan lagi dan harus benar-benar sabar, karena pesanan makanan dibuat satu persatu. Konon dengan cara ini, bumbu akan tercampur rata. Lebih sedap tentunya.



Rukiyah bertanya pada kami, “Pedes henteu?” Nah, itu tandanya mi pesanan kami sudah akan dibuat. Oh ya, jangan harap akan di antar ke tempat duduk, karena Rukiyah berdagang sendirian, ia tak mungkin bolak-balik mengantarkan pesanan. Ia akan memanggil dengan “Pak”, “Bu”, “Cep”, “Neng”. Otomatis semua pembeli yang menunggu pesanan akan menoleh, tinggal melihat pada siapa mata Rukiyah tertuju.






Mi goreng sudah selesai lebih dulu. Tampilannya berwarna cokelat mengilat. Dihidangkan bersama kerupuk dan irisan timun, disajikan di atas piring dengan alas daun pisang. Tampaknya ini salah satu solusi agar Rukiyah tak harus repot mencuci piring. Kalupun harus mencuci, ia hanya harus mencuci mangkuk-mangkuk bekas mi rebus. Seperti yang tak lama kemudian ia sodorkan ke Julian.



Malam itu indera penciuman saya tampaknya bermasalah, berkali-kali saya mencoba ‘mencari’ aroma asap pada mi goreng yang saya santap, tak juga saya dapatkan. Tapi ketika mencicipi kuah mi rebus, naaah… barulah terasa ada cita rasa asap di lidah.



Saya suka mi goreng buatan Rukiyah, cita rasanya manis gurih, porsinya pun masih dalam ukuran normal. Hanya saja, standart kepedasan antara saya dan Rukiyah agak berbeda.



“Kepedesan, Neng?” tanya Rukiyah yang melihat saya berkali-kali menyeka hidung. Ternyata ia tak sejudes yang kami sangka. Ia menawarkan segelas air putih hangat, yang manjur meredakan rasa pedas di lidah. Tersenyum pula saat saya ajak ngobrol. Melihat Rukiyah sedang menuangkan nasi goreng ke atas daun pisang, saya jadi tertarik ingin memesan. Pengen nyoba, tapi kenyang…. █



MI TEK-TEK

Jl. Homann, Bandung

Jam buka: 18.00 – 23.00 wib setiap hari

Harga: Rp15.000 per porsi (makanan), air putih gratis

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment