Dilema Listrik & Naik Haji
Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2018-12-12
Kampanye energi terbarukan sudah digembar-gemborkan beberapa tahun silam. Mengingat sumber daya alam yang kita punya. Tapi perlu kerja keras untuk mengubah kebiasaan lama ke hal-hal baru. Dan ini bukan tanpa kendala.
Di dalam komplek ada pembangkit listrik untuk memfasilitasi 130-an rumah, gedung pertemuan, lapangan tennis, dan lampu penerangan jalan. Pokoknya, bisa dibilang pasokan listriknya turah-turah (berlebihan). Dalam setahun pemadaman listrik bisa dihitung dengan jari.
Kemewahan seperti itu ternyata tak bisa saya nikmati ketika sedang kuliah di Yogyakarta. Saya menyewa rumah bersama empat orang teman. Dari situlah saya belajar berbagi dan mengerti bahwa tak ada yang bebas biaya. Listrik dan air semuanya berbayar.
Dari mereka juga saya belajar bagaimana melakukan penghematan energi. Dari hal terkecil, seperti mematikan lampu kamar mandi dan kamar tidur saat tak digunakan. Ini hal-hal yang (dulu) tak pernah saya lakukan di rumah.
Beruntung jendela-jendela kaca yang ada di setiap kamar cukup menerima cahaya matahari, sehingga pencahayaan alami menerangi seisi rumah saat siang hari. Pada malam hari hanya beberapa lampu saja yang kami hidupkan. Seorang teman yang memiliki televisi, sengaja meletakkannya di ruang tengah untuk ditonton bersama.
Karena menggunakan pompa air untuk kebutuhan mandi dan mencuci, otomatis tagihan listrik menjadi lebih besar. Jadi kami betul-betul memastikan keran air tak meneteskan air lagi usai dipakai. Saat menyikat gigi dan menyuci tangan pun keran tak selalu dibiarkan terbuka. Untuk berwudlu pun kami tak membuka keran dengn kucuran air secukupnya. Penghematan ini berlaku bagi kami selaku penghuni rumah maupun teman-teman yang datang bertamu.
Semasa kuliah juga, saya disadarkan bahwa masih banyak warga masyarakat yang belum menikmati penerangan di malam hari, bahkan listrik pun tak menjangkau daerah tempat tinggal mereka. Tak perlu jauh-jauh ke Indonesia Tengah atau Timur, saya merasakannya sendiri saat melakukan kuliah kerja nyata di Desa Puledagel, Blora, Jawa Tengah beberapa tahun lalu.
Desa ini hanya berjarak sekitar 20 kilometer dari Blora. Tapi karena lokasinya cukup jauh dari jalan raya, tidak ada tiang listrik terpancang . Semua kabel listrik disangkutkan pada pohon-pohon Randu yang berjajar di jalan masuk desa. Pasokan listrik pun terbatas. Hanya belasan rumah saja yang bisa menikmati penerangan di malam hari. Itu pun baru dinyalakan pada jam 17.00 dan berakhir pada jam 06.00 pagi.
Tapi percaya atau tidak, dalam beberapa hari, para ‘mahasiswa sok kota’ ini sudah terbiasa dengan keterbatasan listrik yang ada. Saat listrik menyala semua gadget sudah tersusun rapi dengan kabel-kabel menjulur. Beberapa jam kemudian, berganti dengan baterai kamera dan laptop. Yang penting di pagi hari semua peralatan elektronik yang dibutuhkan sudah full charged.
Saat di sana, kami menyaksikan betapa semua warga bersuka ria, karena dalam beberapa bulan ke depan tiang-tiang besi sudah akan dipancang. Listrik akan masuk lebih jauh ke pelosok desa.
Entah mengapa pasokan listrik yang dijanjikan masih menggunakan teknologi konvensional. Bukan dengan memanfaatkan teknologi baru, yang memanfaatkan tenaga surya, angin, atau air? Padahal penerapan teknologi dengan penggunaan panas matahari sebagai energi terbarukan bisa diterapkan. Mungkin karena dikelilingi kebun-kebun jagung ratusan hektar dan minim pepohonan rindang, maka panas matahari bisa dijadikan sumber energi potensial.
Tapi mau apa lagi, tiang-tiang besi tetap dipertahankan. Walau ternyata, usulan penggunaan panel surya, bukan tak pernah dibahas warga desa. Tapi memang untuk melakukan secara swadaya, masih terbentur masalah biaya.
“Aku wis puluhan tahun gelep-gelepan, yo ora masalah (aku sudah puluhan tahun gelap-gelapan, ya tidak ada masalah)” kata Rusman, lelaki lewat setengah baya yang memiliki kebun jagung 10 hektar. Ia tak merasa perlu repot-repot memasang panel surya, “Nang omahku kamare mung siji. Listrik akeh-akeh nggo ngopo? Mending duite ta tabung nggo bekel munggah haji (di rumahku kamarnya hanya satu, listrik banya-banyak untuk apa? Uang kutabung untuk bekal naik haji).”
Berbeda dengan Rustam, daripada memasang panel surya Siswanto tak keberatan dengan minimnya listrik di desanya. Ia lebih memilih meng-kredit motor. “Kalau punya motor, kan saya bisa antar istri ke pasar. Sambil menunggu istri jualan, saya bisa ngojek. Uangnya bisa untuk uang jajan anak.” Pernyataannya diamini oleh beberapa warga desa.
Terbukti, memberi pemahaman tentang energi terbarukan bukan hal mudah. Semuanya kembali pada pribadi dan kebutuhan masing-masing. Ada yang mau belajar dan berubah untuk menjadi lebih baik, ada juga yang tak mau repot mengubah kebiasaan yang ada. Ada yang sadar akan lingkungan dan memanfaat potensi energi terbarukan yang tersedia, masih banyak pula yang tak peduli bahwa minyak bumi akan habis nantinya. █
Foto: www.pixabay.com
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment