Lawangkala di 20 Tahun Selasar Sunaryo

Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2018-09-30

Sebuah gerbang anyaman dari bambu menganga. Bentuknya seperti bubu, alat untuk menangkap ikan yang mengecil di bagian dalam. Membuat ragu saat harus melangkah, karena setelah masuk ke sana, kita tak lagi bisa kembali.



Tepat 20 tahun lalu, Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) di kawasan Bukit Pakar, Bandung seperti berpayung awan mendung. Sebagian besar ruangan di SSAS dan sebuah karya instalasinya diselubingi kain hitam dan diikat. Pameran Titik Nadir yang digelar Sunaryo menggambarkan perasaan sedih, marah, duka, dan kekecewaannya terhadap Tragedi 1998 dan situasi politik Indonesia kala itu. Suram dan mencekam.



20 tahun kemudian, pameran yang sama sempat diusulkan Agung Hujatnikajennong sebagai kurator sempat mengusulkan untuk diulang. Tapi Sunaryo menolak. Menurut perupa kelahiran Banyumas 1943 ini, Titik Nadir dilatarbelakangi suasana yang sangat mendukung. Pameran yang sama tak bisa diulang. Situasi sudah berubah, karena waktu tak bisa berulang. Akhirnya Sunaryo memutuskan membuat Lawangkala.





BERKECAMUK MASALAH WAKTU

Dalam Lawangkala yang dipamerkan 15 September – 23 September 2018 ini, Sunaryo membuat lorong dari anyaman bambu yang terinspirasi dari bubu, alat penangkap ikan ini dibentuk sedemikian rupa sehingga ikan yang masuk ke dalam bubu tak bisa keluar. Begitulah Sunaryo menyimbolkan waktu yang berhubungan dengan kehidupan, keabadian, semesta, spiritual, dan Sang Pencipta.



Diambil dalam bahasa Jawa, lawang (pintu, gerbang) dan kala (waktu). Sunaryo menggabungkan dua material. Bambu yang keras menggambarkan kekekalan, namun di dalamnya juga ada kertas yang melambangkan kefanaan. Sunaryo tak hanya menciptakan sesuatu untuk dilihat, tapi juga menyentuh dengan hati dan pikiran. Dalam 2 bulan bubu raksasa ciptaannya selesai dibuat.



Gerbang yang menyerupai mulut bubu itu tambak megah namun menarik untuk dimasuki. Bentuknya yang menngecil, seperti magnet yang menarik saya ke dalam. Sampai di salam, saya membalikan badan. Bambu-bambu yang menjulur memang sengaja dibuat menghalangi pintu.



Tak mungkin saya hanya berdiri diam. Mau tak mau saya harus bergerak menyusuri lorongyang berliku, tanpa tahu apa yang akan saya temui nanti. Ini melambangkan bagaimana banyaknya cobaan dan tantangan dalam hidup. Apapun yang terjadi harus kita hadapi.



Diiringi dentingan musik yang mengalun lambat. Aroma bambu tercium samar. Bambu saling mengait, rangkaiannya melengkung sempurna. Di sebuah kelokan, ada ruangan gelap di sisi kanan. Saya mengintip dari sela-sela anyaman bambu. Bayangan saya memantul dari cermin yang dipasang jauh di seberang ruangan gelap. Beginilah Sunaryo melambangkan interospeksi diri.





Lorong bambu terus berliku. Bentuk bubu sedikit bercabang. Di bawahnya ada air sungai mengalir yang dibuat dalam visual. Coba beristirahat sejenak. Tenangkan hati dan pikiran, tinggalkan keduniawian. Suara gemericik air mengingatkan kita bahwa, “Urip ki mung mampir ngombe.” Pecayalah bahwa hidup ini sudah ada yang mengatur.



Waktu adalah sesuatu yang tak bisa dijamah, tak pula memiliki batasan. Sementara manusia membatasi waktu dengan awal dan akhir, dimula dengan lahir dan nantinya mati. Lawangkala melambangkan hidup yang harus kita lalui, karena semesta memiliki hukum sebab akibat. Jadi, tetap lakukanlah yang terbaik menurut kita, walaupun kita merasa salah dalam melangkah. Cahaya terang di ujung lorong melambangkan pencerahan. Membawa saya ke akhir perjalanan….



SAATNYA MENAMBAL & MENJAHIT

Dalam Lawangkala, Sunaryo juga memamerkan 23 karya lukisan 2 dimensi, 3 dimensi, dan instalasi. Lukisan Sunaryo didominasi warna hitam. Beberapa lukisan yang berkesan gelap diberi sedikit aksen merah, menjadi pusat perhatian di dalamnya. seperti Diamlah Luka, Senja Kala, Sajadah Semesta, Menyusun Diam, dan beberapa lukisan lainnya.



Menurut Sunaryo, sebuah karya seni kadang tak bisa dijelaskan satu per satu secara rinci. Karya seni lebih pada pengalaman pribadi dan setiap orang yang melihat dapat mengapresiasi dan menginterprestasikan sendiri.



Dalam karya-karyanya, Sunaryo banyak menampilkan irama, jarak, dan ruang. Ia juga memotong kanvas, menyambungkannya dengan jahitan, menyambungnya dengan tambalan. Menjadikannya tampilan baru. Seperti yang bisa dilihat pada Kaladampit, Luka Awan Menyentuh Bumi, Menjaga Malam, dan Taburan Kata.



Semua lukisan Sunaryo berkaitan dengan waktu. Mengingat ada proses-proses yang belum tentu terulang lagi dalam hidup. Seperti Blood Moon #1, peristiwa alam yang terjadi dalam 100 tahun dirasa harus ia abadikan.







Perupa berusia 75 tahun ini ingin membuat Mata Waktu yang Fana. Karya tersembunyi yang dipajang di dalam sebuah ruang kecil, dengan dua sisi yang diberi cermin, membuat karya lukisannya menjadi sebuah karya instalasi. Deretan mata yang memantul di kaca mengingatkan, bahwa banyak mata ada di sekitar kita. Siap mengritik dan menelanjangi. Karya ini kita bisa selalu mengingat apa yang telah kita lakukan. Dengan berkaca, kita bisa selalu mengingat apa yang telah kita lakukan. Melakukan yang terbaik di setiap detik waktu kehidupan yang kita lalui. █



SELASAR SUNAYO ART SPACE

Jl. Bukit Pakar Timur No. 100, Ciburial, Cimenyan, Bandung

Jam buka:

Selasa – Minggu, 10.00 – 20.00 wib.

Harga tiket:

Rp25.000 (umum)

Rp15.000 (anak usia 6 – 12 tahun, pelajar, dan mahasiswa)

Gratis (pengunjung di atas usia 70 tahun)

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment