Redupnya Panggung Sutan Sjahrir
Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2018-08-22
Nama Sutan Sjahrir ada dalam catatan sejarah bangsa, tapi bagai tenggelam dibanding nama besar Soekarno dan Hatta. Mungkin namanya makin meredup karena tak lagi sering disebut.
Sehari setelah Hari Kemerdekaan ke-73, dalam rangkaian Salihara International Performance Festival 2018, yang sekaligus merupakan perayaan ulang tahun ke-10 Komunitas Salihara, digelarlah pentas teater Monolog Sutan Sjahrir.
Banyak hal tentang Sjahrir yang tak tercatat di dalam buku sejarah, tak pelajari di sekolah. Itulah salah satu alasan monolog ini dipentaskan, begitu jelas Rukman Rossadi yang berperan sebagai sutradara.
Rukman Rossadi menggaet Ahda Imran sebagai penulis naskah dan Rendra Bagus Pamungkas untuk memerankan Sutan Sjahrir. Tiga nama ini sudah malang melintang di panggung teater dan perfilman Indonesia.
KEMERDEKAAN CARA SJAHRIR
Sebagai anak lelaki seorang Jaksa Tinggi Sjahrir beruntung bisa menyelesaikan sekolahnya di Bandung, lalu meneruskan ke Belanda. Di masa-masa bersekolah itulah ia bertemu dengan Soekarno dan Hatta, menjadi tokoh intelektual yang ingin negara ini merdeka, mewujudkan bangsa baru dengan cara mereka sendiri. Seperti Soekarno dan Hatta, Sjahrir juga berada dalam situasi yang sama, menentang segala politik pemerintahan Hindia Belanda.
Medan menjadi kota di mana Sjahrir ditangkap oleh pemerintahan Hindia Belanda, diasingkan ke Digul. Lalu bersama Hatta, pengasingannya dipindah ke Banda Neira yang jauh dari mana-mana. Kepulauan kaya rempah nan indah permai. Lautnya tenang. Suasananya damai. Sjahrir bisa setiap hari berenang di laut bersama anak-anak Banda dan berperahu ke pulau-pulau sekitar.
"Satu dua hari memang terasa menyenangkan," kata Sjahrir. Tapi pemerintahan Belanda tetap tak bisa meredam gejolak jiwa yang ingin memerdekakan bangsanya.
Menjelang kemerdekaan, Sjahrir menolak bergabung dengan para proklamator yang berkolaborasi dengan Dai Nippon untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Sjahrir lebih menginginkan kemerdekaan Indonesia yang revolusioner. Yang membahana. Yang akan diingat seluruh dunia.
Ketika negeri ini merangkak merdeka dan Indonesia membutuhkan seorang Perdana Menteri. Sjahrir lah yang ditunjuk Soekarno. Sampai 1947, Sjahrir berperan besar mengaungkan nama Indonesia di dunia Internasional.
Sjahrir yang selalu menginginkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tak berpikiran sempit, tidak mengandalkan politik identitas, kedaerahan, atau keagamaan akhirnya mulai tak sepaham dengan Soekarno. Sampai akhirnya kehidupannya berubah menjadi tragedi karena ia ditangkap, ditahan tanpa pernah diadili.
MERASAKAN BEBAN SJAHRIR
Setting panggung sangat sederhana namun mengena. Berbentuk ruangan dengan dua jendela berteralis besi. Ada dua buah kursi rotan dan sebuah meja kecil bundar terbuat dari kayu. Di belakangnya ada lemari dengan tumpukan buku dan sebuah radio.
Di sisi lain adalah ruang kerja Sjahrir. Sebuah meja dengan tumpukan buku dan kertas, gelas kaleng motif 'blirik', dan sebuah mesin tik besar. Di dinding terpasang gantungan, tempat menggantung jas, syal, dan topi.
Diawali dengan diperdengarkan lagu Kota Bandung, yang dilantunkan oleh Miss Tarminah. Penyanyi tempo dulu yang kondang pada masanya.
Dengan langkah tegap Sjahrir muncul di paggung. Tampilannya necis. Rambutnya licin, klimis, tersisir rapi. Mengenakan baju putih dengan lengan panjang digulung. Celana 'gombrong' berwarna cokelat. Kostum, penampilan, dan suasana benar-benar membawa saya ke masa 1940-an.
Sedemikian pandainya Rendra memerankan 3 tokoh sekaligus sehingga saya langsung bisa menebak siapa saja 'mereka'. Saat Rendra berbicara dengan suara halus tertata, ia menampilkan Hatta. Sementara sebagai Sjahrir, dengan tangan masuk ke dalam kantong celana gaya bicaranya meledak-ledak. Saat tubuhnya mendadak tegap dengan dada terbusung dan suara berubah berwibawa, ia menjadi Soekarno.
Adegan demi adegan dipisahkan dengan lagu berbagai era, pembacaan teks Proklamasi, serta sesekali diselingi pembicaraan tokoh-tokoh politik. Gelap terang cahaya melambangkan pergantian waktu. Sampai ketika Sjahrir silam, dan kembali ke panggung dengan sedikit menyeret kaki, tangan kanan yang lumpuh, dan ujung mulut bagian kanan yang tertarik ke atas.
"Kata dokter, tekanan darahku yang menyebabkan aku begini," kata Sjahrir pelan. "Aku terus berlatih menulis, agar bisa kembali menulis namaku. Walaupun hasilnya..." Ia menunjukkan lembaran kertas berisi coretan tak terbaca.
Monolog berlangsung. Meluapkan ganjalan di hati Sjahrir. Ia ditahan karena dituduh mendalangi pemboman Makassar. Tapi pertanyaan besarnya adalah mengapa selama ditahan tak pernah ada pengadilan.
JATUH YANG BIKIN PATAH HATI
Awalnya saya fikir monolog ini akan melulu berbicara tentang ketidaksepahaman politik. Ternyata, ada juga humor terselip di sela-sela.
"Bung saja. Hari ini saya tidak ikut serta," kata Sjahrir sambil melambaikan tangan pada rekan tahanan melalui jendela berteralis besi. Ia sedang menolak ajakan untuk berolahraga bersama.
Sjahrir lebih memilih mengenang Maria Johanna Duchateau. Wanita Belanda yang memiliki pemikiran terbuka dan sepaham dengannya. Entah apa sebenarnya yang membuat mereka saling tertarik dan akhirnya menikah. Sayang, pemerintah Hindia Belanda menganggap pernikahan itu akal-akalan belaka. Apalagi sebenarnya Maria masih berstatus istri orang. Walaupun suaminya bermain gila dengan banyak wanita.
Pernikahan Sjahrir dan Maria dibatalkan. Mereka dipaksa berpisah. Sjahrir sempat berjanji akan menyusul Maria ke Belanda. Namun sayang, ia keburu dibuang ke tanah pengasingan. Lalu kesibukan menjelang merdeka pun menghalangi keinginannya untuk mengejar kembali kekasih hatinya.
Sjahrir yang serius berubah menjadi romantis saat bicara soal kekasih hatinya. Sekali lagi saya akui Rendra cukup piawai. Saat duduk di atas meja, gerak tubuhnya berubah gemulai. Ia berubah peran menjadi Poppy, sekretaris saat Sjahrir menjadi Perdana Menteri.
Sjahrir bercerita bahwa Perdana Menteri Inda, Jawaharlal Nehru pernah memberi kejutan saat Sjahrir bertugas berkunjung ke New Delhi, India. Diam-diam Nehru, mendatangkan Maria jauh-jauh dari Belanda.
Sjahrir menjabat tangan Maria tanpa peluk cium mesra. "Lama tak bertemu," hanya itu yang bisa dilakukan Sjahrir, tidak lebih. Ia tahu hati Maria pasti hancur berkeping-keping. Tapi mau apa lagi, karena Poppy, perempuan lain di hati Sjahrir juga berada dalam rombongan.
Mungkin kalau dulu, saat dipaksa berpisah dari Maria, Sjahrir masih bisa mengalihkan perhatian pada bangsanya. Namun kini, ia harus melewari hari-hari sepi. Dipisah-paksa dari Poppy dan kedua anak yang dikasihi. Sjahrir pun patah hati!
Di ujung kehidupannya yang berubah menjadi tragedi. Dunianya hanya seluas rumah tahanan. Tapi ia tetap rajin duduk, memegang pulpen, dan berusaha untuk kembali bisa menulis namanya sendiri. "Sjahrir." █
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment