Susahnya Berkedip di Art Jakarta

Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2018-08-08

Kalau bisa akrobat, saya mungkin akan melompat jungkir balik, setiap kali melihat karya seni modern yang saya lewati. Lalu bingung karena semua ingin difoto.



Mata saya langsung dimanjakan warna-warni dan aneka bentuk karya seni ketika masuk ke dalam ballroom The Ritz-Carlton Hotel, Pacific Place, Jakarta pada awal Agustus lalu. Tempat digelarnya Art Jakarta.



Karya seni dua dan tiga dimensi, hingga seni kriya yang rumit pengerjaannya. Tinggal mana yang diminati, bisa langsung dibeli. Tapi jangan kecil hati kalau belum mampu membeli, karena hanya dengan melihat-lihat dan berfoto pun sudah merupakan sebuah penghargaan pada karya seni.



PERTEMUAN BANYAK PIHAK.

Tahun 2018 menjadi tahun ke-10 digelarnya Art Jakarta. Seperti konsep awal, Art Jakarta menyatukan antara galeri, perupa, dan pecinta seni, baik kolektor maupun masyarakat umum, sehingga akan muncul kolektor-kolektor seni, seperti yang diungkapkan Paramita Soedarjo (Head of Committee Art Jakarta 2018).



Menurut Ria Lirungan (Deputy Head of Committee Art Jakarta 2018), dalam perjalanan 10 tahun Art Jakarta bukan tanpa kendala. Mengajak masyarakat umum untuk lebih menghargai karya seni bukan hal mudah.



Saya jadi teringat saat pertama kali mencoba datang ke galeri seni. Itu kali pertama dan ternyata, bagi saya suasananya tidak terlalu nyaman. Antara lain karena melihat ekspresi petugas galeri yang seperti enggan berhadapan dengan saya. "Bukan kolektor kok banyak tanya." Mungkin begitu katanya dalam hati. Ha... ha... ha... itulah di mana saya tak lagi ingin ke galeri, bila tidak sedang ada pameran seni di sana.





Tapi karena diadakan setiap tahun, Art Jakarta pun menjadi salah satu agenda yang ditunggu-tunggu. Selama bertahun-tahun pengunjung menikmati karya-karya dengan cuma-cuma. Kalau tahun lalu ada 47.000 pengunjung datang. Semoga tahun ini jumlah tidak menyusut, walaupun harus merogoh kocek Rp50.000 untuk menikmati karya seni.



Tahun ini ada 51 galeri yang ikut serta, lebih dari 1.000 karya dari 300 perupa Indonesia dan manca negara yang ditampilkan. Selain ada karya dua dimensi berupa lukisan dan foto. Banyak pula lukisan tiga dimensi, termasuk karya-karya instalasi.



Ada talkshow dan workshop yang bisa diikuti. Seperti Mall Art, Creative Art Class, dan Creative Art Talk yang bekerja sama dengan beberapa perupa dan galeri seni. Sebuah pop up restoran juga membuat Art Jakarta tahun ini berbeda.






MEMPERHATIKAN DETIL

Walau masih belum banyak dilakukan, namun sebuah karya seni bisa dijadikan investasi. Di Art Jakarta, poses jual-beli antara galeri dan kolektor seni terjadi.



Tahun ini Art Jakarta memanjakan pengunjung dengan Art Gram, sehingga pengunjung bisa mem-posting instagram mereka dengan nuansa seni.
Boleh berfoto di depan karya. Asal tahu diri tidak menyentuh dan merusak karya. Tulisan I LOVE YOU yang disusun dari deretan lampu yang berganti warna setiap beberapa detil menjadi obyek yang paling disenangi untuk tempat berfoto. Di area lain, selau ada pengunjung yang berdiri di samping deretan kulkas yang digambari, siap difoto.








Semua pengunjung penasaran dengan pintu gerbang yang digantungi tulisan 'DIJUAL'. Masuk ke balik gerbang, kira seperti masuk ke dalam halaman rumah joglo yang lama ditinggalkan.



Art Jakarta 2018 yang berlamgsung hanya 4 hari, dibuka jam 12.00 - 21.00 WIB ini memberi cukup waktu untuk memperhatikan setiap detil karya yang dipajang. Bikin mata panas, karena jadi susah mau berkedip. Lukisan Erica Hestu yang 'lucu', lipatan-lipatan kanvas yang disusun berdimensi, karya-karya repetitif seperti lempengan-lempengan yang digantung, botol-botol berisi batu, sampai susunan piring di dinding dari Yayasan Jantung Indonesia.










Lukisan karya Hendra Gunawan tetap bikin memesona. Perempuan berkebaya dengan gincu tebal yang sedang melenggokkan pinggulnya. Karya dua dimensi ini diubah menjadi karya instalasi dengan dipasang 4 lapisan acrylic berlubang. Gambar di setiap acrylic memiliki makna tertentu.






The Letters karya Cheong Kwangho membuat saya bertahan paling lama. Karya kriya dari kuningan ini berukuran Berupa susunan huruf-huruf China sambung menyambung selebar 116 x 100 cm.



Saya lupa bertanya, apa isi surat ini sebenarnya. Karena kalau berisi surat cinta, mustahil kalau sampai ada yang menolaknya. Melihat karyanya saja saya langsung jatuh cinta.

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment