Pengalaman Kecelakaan Lalu Lintas di Tana Toraja

Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2018-07-23

Rasanya sebelum meninggalkan rumah, saya sudah berdoa agar disehatkan, diberi cuaca yang indah, dipermudah selama perjalanan. Tapi tampaknya saya memang lupa berdoa agar terhindar dari kecelakaan. Kejadian, deeeh…



Jam belum menunjukkan jam 21.00 Saya, Reh Atemalem, Putri Laras, Nita Sellya, dan Dyan Adjie memenutuskan menyeesaikan makan malam di sebuah kafe di Rantepao dan kembali ke hotel yang berjarak 2,1 kilometer.



Kami menuju mobil L300, kendaraan yang sudah kami pakai sejak dari Makassar, 2 hari yang lalu. Pak Said, pemandu wisata yang menemani kami duduk di depan, di sebelah pengemudi. Rere dan Laras duduk di bangku tengah. Dian, saya dan Nita duduk di bangku belakang.



Tak banyak kendaraan yang berpapasan di jalan. Selain letak hotel kami yang menjauh dari pusat kota Rantepao, hujan turun sepanjang sore. Walau malam itu sudah tinggal menyisakan gerimis, tapi tentunya orang akan malas keluar rumah bila tak ada keperluan.



Mobil berjalan pelan di sisi kanan dekat markah jalan. Dari arah berlawan kami melihat ada lampu mobil sedan. Tapi makin lama makin ke tengah, memotong jalur. Padahal jalan raya yang kami lewati cukup lebar. Empat bus berjajar pun bisa. Sedangkan saat itu hanya dua mobil yang saling berhadapan.



Dalam hitungan detik kami semua melihat dan tahu bahwa akan terjadi tabrakan. Semua mengambil ancang-ancang siap untuk benturan terburuk. Tangan saya menjulur ke depan memegang sandaran bangku. Kempat reman saya lainnya, melindungi kepala dari kemungkinana benturan pada jendela.



GEDUBRAAAK! Sudah jelas tabrakan!


Sadar bahwa mobil tak terbalik, kami buru-buru turun dari mobil. Ada yang luka? Ada yang sakit? Ada yang terbentur? Barulah terasa bibir saya mati rasa. Ludah saya terasa asin. Aaah, ini luka! Padahal tadi saya sudah berusaha melindungi wajah dan kepala dari benturan di depan. Tapi saking kerasnya hentakan, bibir saya malah membentur bahu Dyan. Sementara Dyan terluka di tulang kering. Kakinya menghantam besi di bawah bangku depan. Rere merasa bahu dan dada bagian kanannya nyeri, terbentur ke arah jendela. Sementara Laras dan Nita tak cedera sedikitpun, mungkin mereka paling banyak amalnya. Ha… ha… ha… ha.... Selain Pak Said tentunya, yang ternyata juga tidak luka sedikit pun. Padahal saya sudah membayangkan yang tidak-tidak, karena beliau duduk paling depan di mobil ‘tanpa hidung’ itu.



Tapi Tuhan Maha Baik, tabrakan tidak terjadi di tengah hutan atau di tempat sunti sepi, melainkan terjadi persis di depan lapangan KODIM 1414 Rantepao. Para tentara pun berlarian dari pos penjagaan, datang membantu.



“Siapa yang luka? Siapa yang luka?” Tanya seorang tentara berpakaian preman. Tampaknya pangkatnya paling tinggi di situ. Nadanya yang tegas, malah bikin saya gentar mengaku kalau saya terluka. Lagi pula saya pikir luka di bibir saya tidak terlalu parah. Tapi kemudian Dyan menunjuk saya, padahal kakinya sendiri luka.



Diantar seorang tentara berseragam, saya, Rere, dan Diyan pergi ke Klinik KODIM yang letaknya persis di seberang jalan. Hanya ada perawat jaga. Dan ketika kami heboh menceritakan kejadian tabrakan, ia tak mengubah ekspresi wajah. Menurutnya kecelakaan kerap terjadi di tempat yang sama. Ooo, gitu....



Beruntung luka di bibir saya tak perlu dijahit. Bahu dan dada Rere pun tak mengalami retak atau apa, sedangkan tulang kering Diyan hanya berupa lebam yang akan makin membiru beberap hari lagi. Sayangnya, yang sempat berfoto dengan luka hanya saya. Itu juga tampaknya efek syok belum hilang.





Ketika kami kembali ke Pos Jaga KODIM. Ternyata urusan belum selesai. Setelah diusut-usut jelas yang salah si mobil sedan. Karena posisi mobil kami tak menyentuh garis marka jalan. Tampaknya pengemudi mobil sedan mengantuk. Menurut pengemudi, di detik terakhir mobil sedan itu seperti sadar sudah berpindah jalur. Berusaha membanting setir tapi terlambat. Menurut cerita Nita, selain pengemudi, penumpang mobil itu terdiri dari empat wanita dewasa dan empat orang anak. Luar biasaaa! Entah bagaimana mereka menyusun duduk sehingga tak sedikit pun dari mereka terluka.






Tabarakn itu menyebabkan bagian depan mobil saling mengait, Mesin mobil kami pun tak bisa menyala. Pak Said menelepon hotel dan diputuskan kami akan segera dijemput. Berarti semua barang-barang dari dalam mobil harus dikemas. Proses ini sedikit heboh, karena selain ransel dan kamera, kami juga membawa jaket dan kain tenun yang biasa kami buat selimut selama perjalanan. Belum lagi printilan kantung plastik berisi makanan ringan, cool box berisi minuman kemasan, beberapa peralatan kerja milik Dyan, dan dua tandan pisang! Ha… ha… ha… ha…. Ya maklumlah, kan kami sedang tamasya.



Semua barang kami letakkan dulu di pos jaga, sambil menunggu jemputan dari hotel, sekalian meyakinkan tak ada lagi yang tertinggal di dalam mobil. Tiba-tiba saya teringat sesuatu, “Balo! Balo belum diambil! Di dalam kantong plastik digantung di dekat pintu tengah.”



Dengan kaki terpincang-pincang Diyan berlari ke mobil. Semenit kemudian, kembali membawa kantung plastik berwarna putih. Mendadak kami tertawa serempak. Ini barang berharga! Balo, minuman fermentasi khas Toraja. Tadi pagi sengaja kami beli di Pasar Bolu. Kan nggak lucu ya, kalau nanti para tentara tahu kami menyimpan minuman keras di dalam mobil. Nanti dijadikan barang bukti. Dikira kami mabuk-mabukan sambil berkendara ha… ha… ha… ha….. █

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment