Bertemu Sultan Tidore
Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2014-12-09
Setiap perjalan bisa menjadi pengalaman berharga. Kalau tidak ikut serta dalam rombongan #MahakaryaIndonesia dan @gelar_nusantara. Mungkin bertemu dengan seorang raja cuma mimpi selewatan malam saja.
Bangunan kadato kie atau kedaton kesultanan Tidore terletak di Soasio, di kaki gunung Matubu yang puncaknya menjulang di ketinggian 1.730 mdpl.
Dibangun di atas tanah seluas 1,7 hektar pada zaman kekuasaan Sultan Djafar Sjah ‐Sultan Tidore ke-36‐ menyerupai bentuk kedaton aslinya yang dihancurkan Belanda pada awal 1900-an.
Bangunan 2 lantai ini didominasi warna kuning dengan atap mengerucut berwarna biru. Di sisi kanan dan kiri ada tangga naik ke teras di tingkat atas, tempat Sultan menerima tamu.
Melepaskan alas kaki sebelum menaiki anak tangga adalah wajib, karena hanya Sultan yang boleh beralas kaki di dalam kedaton.
Seorang abdi kedaton yang berdandan adat dengan sarung dan jas, menunggu di ujung tangga teratas. Beliau bertugas memperhatikan dengan cermat para tamu yang datang, di lengannya menumpuk sarung tenun.
Untuk menghadap Sultan, semua wanita diwajibkan menggunakan sarung tenun khas Tidore. Begitu pula para lelaki yang mengenakan celana dan menampakkan lutut pun harus mengenakan sarung, sementara yang bercelana panjang bisa langsung naik memasuki teras.
Sarung tenun yang saya kenakan berwarna kuning dengan benang emas, sementara teman-teman yang lain mengenakan sarung dengan warna berbeda.
"Sarungnya dipinjami atau boleh saya bawa pulang? " tanya saya berbisik, disambut senyum abdi keraton. Mungkin setelah itu, muka saya 'terekam' sebagai orang yang dicurigai membawa pulang sarung pinjaman ha... ha... ha... ha....
Dari teras di lantai atas, saya bisa langsung melihat lautan dan samar-samar daratan Halmahera jauh di seberang. Di halaman kedaton yang luas, ada dua tiang yang masing-masing mengibarkan bendera merah putih dan bendera Kesultanan Tidore berwarna kuning bergambar dua buah pedang bersilang perlambang Tidore sebagai kie makolamo, suku pemberani, ahli dalam strategi perang, dan memiliki kelebihan ilmu.
Dua orang dewan adat tampak gagah dengan pakaian destar ngongare ‐jubah panjang dan turban berdiri di kejauhan. Sementara Sekertaris Kesultanan Tidore Muhammad Amen Faaroek yang memakai jubah berwarna biru dan kain penutup kepalanya terlipat ke belakang menyambut kami dengan senyuman lebar.
Kedaton Kesultanan Tidore
Dari teras atas kedaton Tidore, pemandangan laut dan daratan Halmahera di seberang.
Sekertaris Kesultanan Tidore, Muhammad Amin Faaroek menyambut para tamu.
Foto-foto dulu dengan sarung tenun Tidore.
UNGKAPAN BANGGA SEORANG PEMIMPIN NEGERI
Suasana mendadak sunyi senyap ketika Sultan keluar dari ruangan diiringi beberapa dewan adat. Sultan Tidore Jou Hi Husain Syah yang dinobatkan menjadi Sultan Tidore ke-37 pada Oktober 2014 menggantikan Sultan Djafar Syah yang mangkat pada 2012. Sebelumnya beliau menjabat Kapiten Laut Kesultanan Tidore, yang bertugas mengawasi lautan, 'berkuasa' atas 60% dari seluruh wilayah Tidore.
Beliau mengenakan jubah panjang berwarna putih dengan hiasan emas, kain penutup kepala yang mengerucut pun berwarna senada. Dengan senyuman mengembang, wajah beliau memancarkan aura bijaksana, aura seorang raja. Saat berbicara, ungkapan rasa bangga beliau akan negeri Tidore sangat terasa, terucap pada setiap kalimat yang tertata.
"Bismillahirrahmanirrahim, Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Selamat siang, salam sejahtera untuk kita semua.
Pertama-tama seperti biasa kita naikkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kudrat dan iradat-Nya jualah, dengan kehendak-Nya, dengan takdir-Nya pada siang hari ini bapak-ibu sekalian dan kami dapat dipertemukan. Karena kerajaan ini merupakan kesultanan yang bersendikan agama Islam, bagi yang beragama Islam marilah menyampaikan salam terhadap manusia pilihan Tuhan, 'kekasih' Allah SWT, Muhammad SAW.
Kunjungan ini merupakan sebuah kehormatan yang besar terhadap negeri kami yang jauh. Terima kasih sudah mau meluangkan waktu, datang melihat sebuah pulau yang kecil ini. Menurut sebagian sejarawan, Tidore ini kecil di dalam, namun namanya besar. Dan yang besar itu dipimpin oleh yang kecil, karena di masa lalu, dalam kawasan timur Indonesia wilayah kesultanan Tidore ini lebih besar dibandingkan kekuasaan Hasanudiin yang ada di Makassar, Kesultanan Ternate, Bacan, Jailolo, dan kesultanan-kesultanan lainnya. Hampir tiga per empat wilayah Papua berada dalam kekuasaan Kesultanan Tidore, juga sebagian wilayah Maluku dan sebagian Mindanao (Minahasa).
Perjalanan panjang sejarah ‐sebelum dan sesudah menjadi Indonesia‐ itu mencatat tentang putra-putra terbaik negeri Tidore, antara lain seperti Amiruddin Syaifuddin Syah atau Sultan Syaidul Jehad Amiruddin Syaifuddin Syah Muhammad El Mab'us Kaicil Paparangan (1797-1805), yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Nuku dan bergelar Jou Barakati, seorang panglima perang yang diberkati.
Seorang putra terbaik yang sedang 'bersepi diri' (ungkapan Tidore yang berarti sudah wafat, dimakamkan), Zainal Abidin Syah yang ikut memperjuangan Irian Barat masuk ke dalam pangkuan NKRI. Pada 1946, Sultan Tidore ke-35 ini diangkat oleh Presiden Soekarno sebagai Gubernur I Irian Barat. Walaupun belum diberi penghargaan apa-apa oleh negara tapi saya yakin Allah Tuhan YME telah memberikan penghargaan khusus tersendiri buat putera terbaik Tidore ini.
Seorang lagi adalah Tuan Kadi (tokoh agama) Imam Abdullah Abdus Salaam yang dikenal dengan sebutan Tuan Guru (1712-1807). Beliau dibuang oleh pemerintah Hindia-Belanda ke Cape Town, Afrika Selatan pada 1780. Beliaulah adalah orang pertama yang menyiarkan agama Islam di Cape Town. Satu-satunya orang Tidore yang diberi gelar sebagai pahlawan nasional Afrika Selatan oleh Nelson Mandella. Anak-cucu beliau dari keturunan yang ke-9 saat ini menjadi Menteri Ekonomi dan Keuangan Afrika Selatan. Beberapa waktu lalu sudah sempat berkunjung sebagai tamu negara RI, dan menyempatkan berkunjung kemari (Tidore).
Dunia itu bulat pun konon ada hubungannya dengan negeri ini. Berawal dari perebutan koloni antara Spanyol dan Portugis. Perjanjian Saragosa (1529) yang diprakasai Paus yang membagi dua koloni. Dari benua baru ke barat di bawah kekuasaan Spanyol, dan dari benua baru ke timur di bawah kekuasaan Portugis. Tapi ternyata mereka bertemu lagi di Ternate dan Tidore."
Saya berbahagia sekali negeri ini bisa dikunjungi, semoga menjadi berkah, mudah-mudahan bisa menambah referensi dan kita bisa bertukar informasi. Bila dalam pelayanan kami kalau ada hal-hal yang kurang berkenan. Saya beserta bobato adat atau dewan adat menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya. Kami percaya bahwa ketulusan menjadi segala-galanya. Karena Allah SWT memberikan berkah pada kita semua.
Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh."
Sultan Tidore dan tolamo (dewan adat). Panji-panji kesultanan menghias singgasana.
Kesempatan berfoto bersama Sultan tak mungkin dilewatkan, walaupun hanya berbekal mengelap wajah yang berminyak karena tak ada lagi waktu untuk berdandan. Tak berhenti sampai di situ, saya pun menyodorkan buku Pemberontakan Nuku yang saya bawa. Tanda tangan yang beliau goreskan pada halaman pertama buku tentang panglima perang pemberani dari Tidore bisa jadi bukti bahwa pertemuan ini benar terjadi.
Perbincangan berlanjut santai. Sama seperti panganan yang ada di hadapan Sultan, para tamu pun disuguhi pisang goreng, kasbi (singkong) goreng, kacang goreng, teh jahe, dan kopi dabe ‐kopi khas Tidore. Bedanya, kalau Sultan dan para dewan adat menyicipi sedikit-sedikit, kami malah menghabis tandaskan semua suguhan. Tanpa sisa ha... ha... ha....
Foto ini bisa jadi bukti buat anak-cucu
"Silakan dihabiskan," karena titah Sultan jadi harus dilaksanakan.
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment