Masjid Menara Layur, Semarang

Category: Rumah Ibadah • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2018-05-17

Masjid menjadi salah satu tempat yang mampu menunjukkan arah yang benar. Tak hanya bagi penganut agama Islam, tapi juga bagi para pedagang agar tak tersesat.




Pada abad 17, Semarang sempat menjadi salah satu pusat perdagangan besar di pantai Utara Jawa. Kapal-kapal dagang dari Arab, Malaka, dan Tiongkok berderet di laut Jawa mendekati muara. Barang-barang dagangan diangkut menggunakan perahu-perahu menuju Groote Boom (Pelabuhan Kota Lama), melalui Kali Semarang. Bertukar dengan pasokan gula dari tanah Jawa.



KAWASAN PARA PEDAGANG

Kala itu Jalan Layur yang berada di sepanjang Kali Semarang, menjadi kawasan pemukiman para pedagang Melayu, Arab, Tionghoa, dan tentunya orang-orang Jawa. Kini, beberapa bangunan lama masih tersisa. Rumah-rumah dengan bentuk atap yang khas, bisa dipastikan dulu dimiliki oleh saudagar Tionghoa. Mungkin karena rutin dilanda banjir rob saat air laut pasang, mengakibatkan sebagian besar bangunan tak lagi dihuni, bahkan ditinggalkan dan dibiarkan tak terawat.



Satu bangunan yang masih tetap dipertahankan oleh masyarakat setempat adalah Masjid Menara Layur. Dinamai seperti itu karena mungkin menara masjidlah yang pertama tampak tampak menjulang di antara deretan rumah dan toko sederhana di Jalan Layur. Selain itu dulu menara masjid juga berfungsi sebagai mercusuar, memandu perahu yang hilir-mudik di Kali Semarang.







Lokasi masjid berada sekitar 2 meter lebih tinggi dari jalan raya. Untuk melewati gerbang masjid harus menapaki beberapa anak tangga. Di atas gerbang ada sederet hiasan kaligrafi. Masjid yang dibangun pada 1802 oleh ulama dari Yaman ini berbentuk persegi sederhana. Halamannya luas, dilapis semen. Bagian atap masjid mirip atap Masjid Demak. Kubahnya berbentuk persegi dan bersusun tiga. Begitu juga atap pada menara masjid. Budaya Arab, Melayu, dan Jawa bersatu padu.



NGITIPIN MASJID

Mungkin karena masih pagi, semua jendela masjid dalam keadaan tertutup, begitu juga pintunya. Saya jadi tak berani masuk ke dalam. Apalagi ternyata tempat sholat untuk wanita tempatnya berada di bangunan baru di luar bangunan utama. Sempit pula ruangannya. Niatan hendak melakukan sholat sunnah pun saya batalkan.



Melihat ada daun jendela yang sedikit terbuka, saya pun bergegas menaiki teras masjid. Daun jendela terbuat dari kayu tebal. Berat! Walaupun sudah dilapisi cat berwarna hijau, saya yakin jendela dan pintu masjid rerbuat dari kayu ulin. Karena berat sekali dan perlu tenaga untuk membukanya. Keunikan terdapat pada pengait jendela. Selain ukuran yang panjang, peletakannya pun berbeda. Pengait daun jendela bagian kanan dipasang di bagian bawah, pengait daun jendela bagian kiri dipasang di atas.



Jendela besar itu dilapisi lagi dengan kayu yang berlubang-lubang berbentuknya bintang. Dari salah satu 'bintang' saya mengintip ke dalam. Bagian dalam masjid sangat sederhana. Ada 4 tiang utama penyangga. Langit-langitnya sangat tinggi.



Masjid ini sudah mengalami beberapa perubahan. Dulu masjid ini memiliki tiga pintu utama yang menghadap Timur Laut, Tenggara, dan Barat Daya. Sekarang jamaah hanya bisa masuk dari pintu Barat Daya. Karena bagian sisi lain digunakan untuk tambahan ruang ibadah agar mampu menampung lebih banyak jamaah. Selain itu, sebenarnya masjid ini terdiri dari dua lantai. Tapi karena banjir rob yang kerap melanda, bagian bawah masjid pun tak lagi difungsikan. Di halaman terdapat keran-keran untuk berwudlu, sumber airnya berasal dari sumur tua yang bagian atasnya ditutup demi keamanan.








Kalau datang pada bulan Ramadhan. Saat berbuka puasa, para jamaah bisa menikmati ta'jil berupa sajian kue-kue tradisional dan kopi rempah. Waaah, seru ya. Eh, tapi entahlah ini berlaku hanya untuk jamaah lelaki saja atau wanita juga boleh menikmati? █



Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment