Garuda Pancasila di PLBN Entikong

Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2018-04-30

Saat sampai di Pos Lintas Batas (PLBN) Entikong, Kalimantan Barat yang diincar pertama kali adalah berfoto di depan monumen dengan lambang Garuda Pancasila. Lho, ini mau melintas atau mau foto-foto?




Boleh pilih salah satu, tapi kalau saya sih, pilih dua-duanya. Karena pos yang menjadi batas sekaligus penghubung ke Kuching, negara bagian Sarawak, Malaysia ini tampil membanggakan. Setelah kelar dibangun selama hampir 2 tahun dan diresmikan oleh Presiden RI, Joko Widodo, pada 2016 lalu.



Sudah selayaknya PLBN tampil gagah begini. Ia mampu menaikkan harga diri bangsa. Terbayang bagaimana dulu pos-pos perbatasan masih berbentuk bangunan standart ala kadarnya. Bisa jadi negara kita dipandang sebelah mata dan pengurusan surat imigrasi dianggap sekadar basa-basi saja.





Pos-pos yang dibangun memang merupakan jalur ramai pelintas batas. Seperti yang terdapat di Kalimantan Barat, yaitu PLBN Entikong, PLBN Badau, dan PLBN Aruk. Di Nusa Tenggara Timur ada PLBN Motaain, PLBN Motamasin, dan PLBN Wini, serta PLBN Skouw di Papua. Pembangunan PLBN ini merupakan wujud dari salah satu program Nawacita, yang melakukan pembangunan Indonesia mulai dari pinggiran, serta menjadikan halaman depan aktivitas ekonomi dan perdagagan dengan negara tetangga. Ibarat etalase toko, kalau disusun rapi dan menarik, pasti pembeli akan tertarik datang berulang kali.



MENUTUP JALAN TIKUS

Negara kita tidak seperti Amerika Serikat yang wilayahnya dengan Meksiko, dibatasi sungai Rio Grande. Sementara titik perbatasan wilayah Indonesia (dengan Malaysia) di Kalimantan adalah hutan, sungai, dan laut yang tak bisa dipasangi pagar kawat berduri. Jarak perbatasan pun sangat panjang, mulai wilayah utara Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Utara.



Kondisi seperti itu yang dimanfaatkan para penyelundup negara tetangga atau sebaliknya membawa barang-barang maupun perpindahan tenaga kerja ilegal. Melalui belasan 'jalan tikus' yang melintas hutan mereka menyelundupkan barang-barang ilegal. Kalau kata para petugas PLBN, "Sebenarnya bukan jalan tikus melainkan jalan gajah saking lebarnya."



Sebuah jalan inspeksi paralel dibangun sejajar dengan garis batas negara. Jalanan ini mempermudah Angkatan Darat Republik Indonesia melakukan patroli di sepanjang perbatasan dari Entikong sampai Aruk. Dengan adanya PLBN Entikong ini paling tidak para penyelundup tahu, bahwa Indonesia tak hanya menggertak. Batas wilayah negara dipertahankan dan penerapan hukum pun diberlakukan.





MENJADI PELINTAS PERTAMA

PLBN Entikong memiliki jam operasional yang sudah disepakati oleh Indonesia-Malaysia yaitu jam 05.00 - 17.00 wib. Saking penasarannya, saya dan teman-teman sudah ada di sana satu jam sebelum gerbang dibuka.



Sudah ada lima bus besar dan kendaraan pribadi parkir di pinggir jalan. Sebagian penumpang sudah menunggu di kedai-kedai makan, sebagian lagi baru turun dari bus saat petugas bersiap membuka gerbang. Semua orang berkerumun di depan gerbang, mesin-mesin kendaraan dihidupkan, dan klakson mulai dibunyikan bersahut-sahutan.
Ketika gerbang dibuka, semua calon pelintas berlarian ke dalam kawasan PLBN, masuk ke dalam gedung. Persis penonton konser yang menyerbu panggung.









Di dalam gedung yang luas, didominasi kaca dan ornamen khas Kalimantan pada dindingnya, semua calon penumpang harus berdiri antre untuk melewati gerbang pemeriksaan. Beberapa orang lolos tanpa masalah, tapi ada juga yang harus diperiksa ulang dengan metal detector. Setelah itu mereka harus sudah siap memegang paspor untuk mengantre pemeriksaan imigrasi.



Tapi khusus warga di Kecamatan Beduai, Entikong, dan Sekayam, untuk melintas tak perlu paspor. Setiap keluarga memiliki Kartu Izin Lintas Batas (KILB) yang bisa mereka pakai melintas batas hingga ke Serian, Malaysia. Warga juga bisa berbelanja produk-produk negara tetangga dan bebas cukai ketika membawanya masuk ke wilayah Indonesia.



DARI K-9 SAMPAI MOBIL JENAZAH

Menjelang siang hari, suasana PLBN lebih ramai. Di bagian timur, berderet kendaraan pelintas batas dari Malaysia menunggu proses imigrasi masuk ke wilayah Indonesia. Sejak 1 Januari 2018, mobil-mobil ber-plat Malaysia tak lagi bebas hilir mudik ke wilayah Indonesia. Mereka harus memiliki izin khusus dan membayar cukai untuk masuk ke wilayah kita.



Pada dasarnya, ada 4 unsur utama di zona inti (setiap) PLBN, yang dikenal dengan CIQS. Yaitu Custom (Bea Cukai), Imigration (Imigrasi), Quarantine (Karantina), dan Security (Keamanan). Kalau calon pelintas batas diperiksa barang bawaannya. Kendaraan yang hendak melintas juga diperiksa lebih ketat. Pasukan K-9 pun mengendus setiap bagasi
bahkan kursi penumpang.






Tapi ternyata tak semua orang yang melintasi perbatasan dalam keadaan hidup. Setiap hari PLBN Entikong menerima paling sedikit satu jenazah yang 'dikirim pulang'. Hari itu saya sempat melihat proses pemindahan peti berisi jenazah orang yang meninggal karena sakit saat berobat di salah saru rumah sakit di Kuching, Malaysia.



Prosesnya juga memakan waktu yang cukup lama. Selain pemeriksaan surat keterangan kematian, peti jenazah harus melalui mesin scanner, bahkan kondisi jenazah pun di periksa. Bukan tak menghormati, namun bukan sekali dua kali, petugas PLBN Entikong menemukan narkoba yang disembunyikan di dalam peti, bahkan di dalam perut jenazah.



Belum selesai proses pemeriksaan, sudah datang lagi mobil yang jenazah. Seorang TKI dari Flores yang meninggal karena kecelakaan kerja. Walau tak dalam keadaan hidup, alangkah beruntungnya ia bisa dikirim pulang ke negeri sendiri. Karena pada kenyataannya ternyata banyak tenaga kerja ilegal yang tak bisa 'kembali'.





LEBIH DEKAT LEBIH BAIK

Ketika melihat puluhan petugas yang bekerja di PLBN pada hari itu, saya jadi penasaran, di mana mereka tinggal? Karena seingat saya saat dalam perjalanan menuju PLBN, jangankan perumahan, rumah-rumah pun jarang. Beberapa desa yang berada dalam radius 5 kilometer, tapi ada juga petugas yang tinggal 30 kilometer jauhnya dari PLBN, dan  harus menempuh jarak 60 setiap hari.



Nah, tahun depan mungkin ia hanya perlu berjalan kaki 300 meter saja ke tempat kerja, karena sebuah mess 4 lantai sedang dibangun dekat zona inti PLBN. Terdiri dari 30 - 60 unit. Setiap unit memiliki 3 kamar tidur, 1 kamar mandi, dan dapur. Mirip dengan apartemen. Sebenanrnya jumlah ini belum memadai. Tapi sebagai langkah awal sudah cukup baik.



Sebagai penunjang dibangun pula masjid dua lantai, hotel, mini mall, dan pasar yang dirancang semi terbuka. Tampilannya akan sangat modern dengan gaya atap yang miring yang difungsikan sebagai jajaran tangga yang bisa digunakan sebagai tribun dan lapangan. Nantinya menjadi panggung pertunjukan, seperti dawai (pesta rakyat Suku Dayak) atau festival budaya lainnya.







Semuanya direncanakan akan selesai dibangun pada 2019. Wah, seru juga membayangkan ada konser atau featival yang digelar di sana. PLBN Entikong tak hanya dilintasi para pedagang atau orang sakit. Warga Indonesia yang ingin berwisata ke Malaysia mungkin akan  mereka singgah dan beristirahat menikmati suasana nyaman di Entikong. Bisa jadi warga negara tetangga yang berbondong-bondong datang saat grup musik dan artis kondang Indonesia menggelar konser di Entikong. Seru kan! █



---------------------------------------------



Perjalanan ke PLBN Entikong pada April 2018 ini, atas undangan dari Humas Sekretariat Kabinet Republik Indonesia. Foto-foto juga ditampilkan di twitter dan instagram dengan hashtag #MenujuIndonesiaBaru #WajahBaruPerbatasan

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment