‘Nona’ Tembus Pintu, Beta Lari’e
Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2018-07-27
Ketika seorang teman di Jailolo menawarkan untuk menginap di rumah keluarganya, saya langsung setuju daripada harus mencari homestay atau hotel. Ternyata, bukan hanya dapat penginapan juga bonus ‘nona’ yang tampaknya ingin berkenalan.
Setiba di rumah keluarga teman, kami fikir kami akan menginap Bersama pemilik rumah. Ternyata kami diajak ke halaman belakang, ke arah kebun. Melalui jalur jalan setapak yang dibuat khusus dengan lapisan semen. Memanfaatkan tanah yang luas, atas keputusan keluarga dibuatlah 5 rumah kecil untuk tempat menginap bila ada keluarga yang datang.
“Kadang-kadang saja ada wisatawan asing menginap, mungkin karena agak jauh dari kota,” begitu kata oom pemilik rumah. Bukan saja jauh dari kota, tapi jarak 200 meter dari rumah utama yaaa… lumayan jauh toh?
Saya dan Rainer masing-masing mendapat satu rumah, berselang satu rumah yang tirai jendelanya dibiarkan terbuka. Ternyata yang saya kira rumah, hanya berupa satu kamar yang luas sekali. Saya hitung jumlah ubinnya …. 16, 17, 18, 19, 20 ubin! Kamar yang saya tempati sekitar 6 X 6 meter. Tempat tidurnya pun besar, dilapisi seprai, lengkap dengan bantal dan selimut tebal. Ada lemari pakaian, meja kecil dengan dua buah kursi, serta pendingin ruangan.
Saya berlari ke teras depan, bersamaan dengan Rainer memanggil dari ‘rumahnya’, “Sudah lihat kamar mandinya belum?” katanya dengan mata berbinar.
Hanya ada satu pintu lain di ujung ruangan. Pastinya itu pint uke kamar mandi. Ketika dibuka, langsung tampak pepohonan menjulang tinggi di balik dinding pembatas yang juga tinggi. Di salah satu sisi yang terlindung atap, ada toilet duduk, shower, dan washtafel dengan cermin yang lebar. Luas kamar mandi terbuka ini mungkin setengah dari luas kamar tidur. ‘Agak berlebihan’, sih, tapi cukup luas kalau saya mau lari-lari kecil dulu sebelum mandi ha… ha… ha… ha…. Acara mandi sore berlangsung secepat kilat, karena suara kicau burung tak lagi terdengar, bayangan pepohonan pun mulai tak nampak tertelan gelap.
Saya letakkan kamera di tempat tidur. Melihat lampu kamera ternyata masih menyala, segeralah saya matikan. Lalu saya sibuk membongkar ransel. Saat saya menoleh ke tempat tidur, lampu kamera saya menyala lagi. Saya matikan. Baru berbalik sebentar, lampu kamera menyala lagi. Saya matikan dan mulai berdoa agar kamera jangan sampai rusak, perjalanan masih panjang. Lalu, TIK! Lampu kamera menyala lagi. “Jangan rusak!” bentak saya spontan dan lampu kamera mendadak mati. Eh, busyeeet!
Kami makan malam di rumah utama bersama keluarga pemilik rumah. Berlanjut dengan mengobrol akrab sambil menikmati air goraka. Saat jam menunjukkan pukul 22, kami pun pamit kembali ke ‘rumah’. Jalan setapak diterangi lampu, tapi terus terang saya tak nyaman dengan kegelapan yang pekat di sekitarnya.
“Kalau tahu-tahu tengah malam ada yang seram-seram, saya gedor ‘rumah’-mu ya,” kata saya. Acungan jempol Rainer membuat hati saya tenang.
Selalu ada ‘upacara’ sebelum tidur. Berganti baju dan urusan kamar mandi. Lampu kamar mandi yang terbuka itu bersinar terang, tapi langit di atas gelap gulita. Saat sedang mencuci muka, saya mendengar sayup-sayup senandung orang bernyanyi. Ah, mungkin Rainer sedang gembira karena sudah makan kenyang tadi. Tapi…. Lama-kelamaan saya sadar, suara senandung itu berasal dari arah yang berbeda. Bukan dari ‘rumah’ Rainer, tapi dari atas. Hhh, berarti dari pohon, dong. Baiklah! Malam ini libur dulu acara sikat gigi. Saya berlari masuk ke kamar dan mengunci pintu.
Bodohnyaaaa…. Kan yang namanya hantu pastinya bisa menembus pintu. Saya bersiap-siap, kalau benar ‘nona’ tadi menembus pintu, saya akan berlari secepat kilat ke pintu depan. Sedetik, dua detik, lima menit, tak ada yang menembus pintu. Duh, leganya. Mungkin ‘nona’ tadi cuma mau pamer suaranya yang merdu. Saya pun mencoba memejamkan mata dengan lampu kamar yang dibiarkan menyala. “Nona jangan ganggu. Beta cuma mau numpang tidur saja di sini. Kalau urusan su selesai beta pulang ke Jawa,” kata saya pelan, kepada ‘nona’ yang tak terlihat itu.
Tak lama kemudian terdengar pintu ‘rumah’ sebelah dibuka. Ada suara beberapa orang berbicara dan sesekali bercanda. Mungkin ada keluarga yang baru datang dan hendak menginap. Beberapa kali saya dengar pintu kamar mandi ‘rumah’ sebelah dibuka-tutup. Aaah, hati saya pun tenang dan saya mulai tertidur.
Pagi-pagi ketika Rainer menghampiri untuk sarapan pagi. Saya bercerita soal ‘nona’ yang bersenandung malam tadi. Rainer menanggapinya dengan tertawa. “Kurang seram, dong. Buktinya nggak sampai nggedor ‘rumah’ saya.”
“Ya, nggak takut lagi. Kan ada sekeluarga yang datang malam tadi. Jadi ramai di sebelah,” kata saya. Lalu kami sama-sama terdiam. ‘Rumah’ sebelah itu kosong, dengan tirai jendela yang masih dibiarkan terbuka. Hmmmm…. █
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment