Silariang. Cinta dengan Taruhan Nyawa

Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2018-01-15

Ketika cincin disodorkan, senyum Zulaikha yang sumringah mendadak berubah, "Pasti ibuku tak setuju." Lalu apa arti hidup tanpa cinta? Begitu teriak anak muda bila kasta menjadi penghalang. Adat dikangkangi dan mereka nekat kawin lari, sebelum kemudian tersadar, apa arti cinta kalau mati?



Masalah cinta memang urusan sepasang insan. Tapi kalau urusan menikah, itu sudah berkaitan dengan dua keluarga. Itu yang terjadi di sebagian besar suku di Indonesia. Restu yang diberikan keluarga akan membawa kebahagiaan. Namun sebaliknya, tanpa restu runyam madalah adanya. 



Film Silariang: Cinta yang (Tak) Direstui, menampilkan kisah itu. Silariang adalah istilah kawin lari di masyarakat Sulawesi Selatan. Judulnya pun ditulis dengan bentuk huruf Lontara. Silariang menjadi pilihan pasangan-pasangan nekat yang cintanya tak direstui keluarga, biasanya karena alasan kasta yang tak sederajat.



MELAWAN KETATNYA ADAT

Inilah yang dilakukan Yusuf (Bisma Karisma), anak seorang pengusaha kaya raya di Makassar. Ketika cintanya pada Zulaikha (Andania Suri), anak bangsawan Bugis tak direstui Puang Rabiah (Dewi Irawan), sang ibunda.



Menurut Puang Rabiah, anak bangsawan tak bisa dilamar sembarang orang. Darah bangsawan haruslah dimurnikan oleh sesama darah bangsawan. Sementara Dirham (Muhary Wahyu Nurba), ayahanda Yusuf, mempertahankan harga diri. Ia tak hendak 'membelikan darah', mengajukan mahar, melamarkan Zulaikha untuk anaknya.



Awalnya Zulaikha ragu, namun Yusuf meyakinkan dan akhirnya berhasil mengajaknya pergi jauh dari Makassar. Membawa baju seadanya dan sedikit perhiasan sebagai bekal. Tinggal di kampung terpencil, Yusuf dan Zulaikha menyembunyikan nama asli. Karena tahu keluarga mereka akan selalu mencari. Bukan untuk menikahkan mereka secara resmi tapi memburu nyawa sebagai ganti.



Adik Puang Rabiah, Puang Ridwan (Sese Lawing) yang selalu berwajah masam menyebar mata-mata mencari keponakannya dan Yusuf yang telah mencoreng nama keluarga. Sementara Zulfi (Cipta Perdana), kakak Zulaikha, berusaha membela adik perempuan satu-satunya. Namun apa daya melawan adat yang sudah ribuan tahun dipegang kuat. Bagi orang Bugis, saat ujung badik sudah ditegakkan, ia baru akan disarungkan lagi setelah berlumuran darah.





CINTA & HAMPARAN SEPRAI PUTIH

Film yang diproduksi Inipasti Communika dan Indonedia Sinema Persada ini memang diperuntukkan bagi penonton usia 13+. Penonton yang tak terbiasa mendengar dialek Makassar pasti awalnya sempat bingung dengan penggunaan kata 'kita', 'tak', 'ki', 'ji', 'mi', tapi di situlah keindahan tutur kata yang berayun saat diucapkan.



Karena durasi, film ini hanya menampilkan sedikit penderitaan lahir batin pelaku silariang. Pada kenyataannya, sepanjang hidup pelaku silariang tak akan pernah tenang. Selain selalu khawatir diburu dan kehilangan nyawa, mereka juga terkena hukum sosial. Masyarakat mana pun tak menerima pelaku silariang, karena aib ini tak seharusnya dilindungi.



Usaha Wisnu Adi sebagai sutradara berhasil, membuat penonton gemas melihat anak-anak kekinian yang tak berfikir panjang dan menggampangkan persoalan hidup. Tapi roda terus berputar. Saat perhiasan demi perhiasan habis terjual, barulah mereka tahu bahwa nasi di piring ada karena imbalan kerja. Tumpukan baju kotor pun bisa memperuncing masalah. Beras dan susu anak tak bisa dibeli hanya dengan cinta.





Debu yang beterbangan saat tirai jendela dibuka menggambarkan rumah yang dipinjamkan Kepala Kampung pada Yusuf dan Zulaikha sudah cukup lama tak dihuni. Tapi melihat seprai putih bersih, yang terhampar di ranjang malam petama mereka, jadi muncul pertanyaan. Dari mana seprai sebersih itu? Tak mungkin Zulaikha terfikir membawanya. Kalaupun itu peninggalan pemilik rumah sebelumnya, mungkinkah Zulaikha sempat mencuci pada siang hari dan kering dalam beberapa jam saja?



Syukurlah ada tokoh Dhira (Nurleila M. Ipa) dan Akbar (Fhail Firmansyah). Sehingga beberapa detil yang mengganggu dalam beberapa adegan bisa diabaikan. Pasangan suami-istri ini, mengajari Yusuf dan Zulaikha bahwa seseorang harus bekerja untuk mendapat makan. Dhira dan Akbar menampilkan karakter yang kocak, ringan tangan, baik, dan tulus hati



RESTU ADA PADA SEORANG IBU

Sebagai cerita yang mengangkat adat, film ini menjadi tontonan yang bagus. Membuat kita sadar bahwa ibu adalah pemberi restu. Ibu menjadi penentu. Seperti Puang Rabiah yang bertitah untuk menggelar upacara Mabbaratta. Sebuah upacara penuh doa, mengangkut nisan dalam keranda menuju liang kubur. Perlambang putusnya hubungan darah dan garis waris, artinya Zulaikha sudah dianggap mati.



Upacara ini menjadi harapan Puang Rabiah, agar nyawa anak perempuannya tak lagi diburu. Sekuat apapun perempuan ningrat ini memegang adat, ia tak bisa mengelak ketika harus bergelut dengan kesedihan mendalam dan rasa rindu.



Puang Rabiah menjadi ningrat bukan sekadar dilimpahkan gelar semata. Ia dididik dengan dasar agama.
Sadar walaupun harga diri harus tetap dipertahankan, tapi Puang Rabiah memutuskan menjadi orang yang mulia, agar badik bisa kembali disarungkan tanpa harus ada darah di ujungnya. █

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment