Urusan dari Perut sampai ke Hati

Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2018-01-07

Ada mitos yang mengatakan bahwa wanita yang sedang mengandung sebaiknya tak pilih-pilih soal makanan. Konon katanya, agar kelak anak yang dilahirkan juga bisa makan apa saja yang disuapkan.



Hal ini mungkin ada benarnya, karena bila ibu sehat selama kehamilan, begitu pula bayi yang dikandungnya. Diharapkan sehat pula saat bayi lahir dan tumbuh besar. Tapi kebanyakan para ibu terhanyut pujian, saat anak bisa menyantap segala macam makanan lalu bangga dengan tubuh anaknya yang gemuk 'membulat'. Memang tampak menggemaskan, tapi apakah menjamin si anak sehat?



Jalinan ibu-anak dimulai di detik pertama anak menyusu pada ibunya. Hubungan ini tak putus saat usia bayi bertambah dan tak lagi menyesap air susu. Berlanjut dengan interaksi saat ibu mulai menyuapi anak dengan makanan bertekstur lembut. Gurih, manis, asam, asin bahkan pahit di setiap suapan menambah pengalaman anak tentang rasa. Ibu akan mengenalkan makanan yang lebih beragam pada anak, seiring gigi yang tumbuh satu persatu.



Dulu, untuk memberi anak makanan sehat sarat bergizi, para ibu mengacu pada 4 Sehat 5 Sempurna. Kini program gizi seimbang itu berganti istilah menjadi Tumpeng Sehat. Mengajarkan anak menyantap sayuran dan buah kaya serat, membatasi asupan lemak, garam, dan gula secukupnya, serta mengonsumsi air putih menjadi hal yang dibiasakan.

Namun ternyata, sehat tidaknya anak tak hanya dilihat dari ragam makanan yang disantap, tapi juga soal kebersihan, dan seberapa aktif ia bergerak. Karena dengan banyak bergerak akan membantu anak tumbuh dengan berat badan sesuai usia. Cara hidup sehat yang populer beberapa tahun terakhir ini merupakan prinsip gizi seimbang yang sudah disesuaikan dengan situasi kekinian.



Bila dulu susu menjadi penyempurna asupan gizi, kini susu dikelompokkan dalam sumber protein hewani yang bisa digantikan dengan daging atau telur. Ternyata jauh sebelum ada prinsip gizi seimbang, ibu saya sudah lebih dulu menempatkan susu dan telur pada jenis protein yang sejajar.



Beliau tahu saya lebih memilih menghabiskan 2 buah telur rebus dari pada segelas susu. Bila melihat masih saya hanya meminum setengah gelas susu. Beliau akan menuangkan sisanya ke dalam plastik lalu disimpan di dalam lemari pendingin.



"Biarkan susu ini menjadi es," kata beliau, "nanti bisa kamu makan sepulang sekolah." Sepulang sekolah susu yang sudah menjadi es langsung saya lahap. Susunya tetap sama, hanya berbeda dalam penyajian. Tapi mengapa menjadi lebih menarik?



Banyak hal remeh-temeh soal makanan yang dilakukan ibu, tapi ternyata menjadi pengalaman berkesan dan terus teringat hingga saya beranjak dewasa.



Setiap pulang dari arisan, misalnya. Ibu selalu bercerita tentang hidangan apa saja yang tadi disajikan nyonya rumah. Beliau sebutkan satu per satu. Mulai dari hidangan pembuka sampai pencuci mulut. Mulai dari bentuk potongan kue bolu sampai penyajian menu utama. Sebagai anak kecil, saya mendengarkan saja, tapi secara tidak sadar, saya belajar tentang susunan set menu. Bahkan berimajinasi tentang bentuk dan penyajiannya.



Hubungan ibu-anak selalu luar biasa. Setiap ibu selalu menjadi panutan. Tak hanya soal masak-memasak, tapi juga soal merawat dan membesarkan anak. Saat saya mulai mengandung hingga melahirkan, ibu menjadi tempat bertanya, mulai menghilangkan rasa mual di awal kehamilan sampai bagaimana cara memasang popok kain menggunakan peniti.



Hubungan ibu dan anak adalah hubungan abadi yang berurusan dengan hati. Seorang ibu akan selalu siap sedia saat dicari. Yang menjawab telepon anaknya dengan senang hati, walaupun hanya ditanya soal resep bubur bayi. █



Foto: www.pixabay.com

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment