Wayang Palembang yang Mati Suri
Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2018-01-21
Siapa bilang wayang kulit hanya ada di Jawa, Kalau di Jawa Tengah dan Yogyakarta terkenal dengan wayang kulit dan wayang orang. Di Jawa Barat ada wayang golek. Ternyata, Palembang pun memiliki kesenian serupa.
Kiagus Wirawan Rusdi, menyambut kami di teras sebuah rumah panggung. Lelaki tuan berperawakan kecil dan berkulit putih ini dalah pemimpin Grup Wayang Kulit Sri Palembang. Kami dipersilakan naik ke teras rumah panggung tempat tinggalnya yang juga dijadikan tempat berlatih menjelang pementasan.
Kami bergiliran menaiki tangga kayu.
Sebelum masuk ke dalam rumah, semua alas kaki dilepas di depan pintu. Memang begitu tradisinya agar lantai kayu rumah panggung selalu bersih. Tempat para tamu leluasa duduk beralaskan karpet atau tikar.
Ruangan besar di dalam rumah dipenuhi perangkat gamelan. Salah satu dinding ditutup kelir, layar berwarna putih yang digunakan untuk menampilkan bayangan wayang kulit. Disangga bangku plastik yang diletakkan terbalik.
DATANG DARI SEBERANG
Keberadaan wayang di Palembang sebenarnya tak lepas dari para dalang yang hijrah dari tanah Jawa ke Bumi Sriwijaya di abad ke-17. Dari pementasan-pementasan wayang itulah terjadilah akulturasi budaya dan bahasa. Banyak kemiripan antara bahasa Palembang dan Jawa, yang ditemukan dalam bahasa Palembang Kuno, sebelum kemudian bercampur dengan bahasa Melayu.
Pada masa penjajahan Jepang 1940-an, kesenian Wayang Palembang seperti hilang tertelan perang. Ketika Indonesia merdeka pun, kesenian ini masih mati suri. Karena para dalang yang sudah tua, di antaranya adalah Wak Agus, Wak Hanan, dan Wak Agus Rohim Keburu wafat tanpa sempat mewariskan ilmu mereka.
Kakek Kiagus Wirawan (saya lupa menanyakan nama beliau) adalah salah satu pemuda yang ingin mengembalikan kesenian wayang di Palembang. Pada 1950-an, beliau membeli semua wayang dan perangkat gamelan milik Wak Agus Rohim dan mulai mendalang.
Selain mementaskan kisah-kisah dari Mahabharata dan Ramayana, ada juga cerita lokal. Kala itu, untuk menciptakan sebuah cerita lokal, para kyai, ustadz, dan para sesepuh berkumpul. Mengumpulkan ide dan membuat alur cerita.
Sepeninggal kakeknya, ayah Kiagus Wiriawan (saya lupa juga menanyakan namanya) mewarisi grup kesenian ini. Sampai akhirnya, pada 1990-an Wayang Palembang kembali mati suri karena lagi-lagi tak ada yang mewarisi.
Menjadi dalang atau niyaga (penabuh gamelan) memang tidak diminati kala itu. Karena tidak menghasilkan banyak uang. Seringkali setiap pementasan, dalang dan niyaga hanya dibayar dengan beras. Bagaimana meteka bisa menghidupi keluarga?
TERPANGGIL MENDALANG
Sewaktu kecil, Kiagus Wiriawan memang sering melihat ayahnya mendalang, tapi tak berminat pula untuk mendalami. Sayangnya, ketika darah dalangnya muncul, apa daya Sang Ayah sudah tiada.
Semangat dan motivasi Kiagus Wiriawan bertambah, ketika pada 2004 UNESCO memberi bantuan untuk pelestarian Wayang Kulit Palembang, berupa bantuan 50 lembar wayang dan gamelan. Ia pun yakin kesenian ini harus terus dijaga, dan diwariskan pada generasi berikutnya.
Kendala baru pun muncul. Kiagus Wiriawan tak tahu harus mulai mempelajari cerita wayang dari mana?
Semasa hidup, ayahnya sempat menulis cerita-cerita wayang yang dipentaskan pada sebuah buku. Tapi, semuanya berbahasa Melayu dan ditulis dalam huruf Arab gundul. Sedihnya, Kiagus Wiriawan tak punya kemampuan membacanya. Akhirnya ia belajar dari sisa-sisa kaset rekaman pementasan ayahnya. Itu pun suaranya tak lagi jelas karena pita kaset sudah mulai rusak termakan usia.
Saking inginnya ia mendalang sampai kerap diberi mimpi bertemu dengan ayah, kakek, dan para dalang sepuh lainnya yang menceritakan kisah-kisah wayang. Sampai pada suatu kali seorang sesepuh di dalam mimpinya bertanya, "Apa kau tak tahu kalau aku ini sudah mati?" Ha... ha... ha... ha....
PENTAS SINGKAT WAYANG PALEMBANG
"Dulu ada 3 kotak berisi wayang kulit. Satu kotak hanyut terbawa banjir saat Sungai Musi meluap. Satu lagi terbakar saat musibah kebakaran tahun 1980-an," kata Kiagus Wiriawan membuka sebuah kotak besar.
Di dalamnya terdapat beberapa wayang kulit peninggalan kakeknya. Sebagian besar masih baik, beberapa saja yang sudah rusak. Warnanya lebih gelap, entah memang begitu atau karena termakan waktu. Detilnya rumit. Ditatah menembus kulit yang tebal dan kaku.
Kini yang tersisa hanya tinggal 70 lembar wayang kulit, kendang, dan saron. Bentuk saronnya pun unik. Berbeda dengan saron di Jawa. Kalau di Jawa, nada saron dipukul berirama dari kiri ke kanan. Sementara saron di Palembang dibuat dari kanan ke kiri. Arah yang disesuaikan dengan ajaran Islam.
Kiagus Wirawan mulai menjajarkan beberapa tokoh wayang. Beberapa lelaki siap di belakang gamelan. Mereka adalah saudara dan tetangga yang berminat menekuni wayang. Sehari-hari mereka bekerja sebagai nelayan, pedagang, bahkan masih ada yang duduk di Sekolah Dasar, tapi semuanya semangat bila tiba saatnya latihan.
Karena ini oentas kecil-kecilan, jadi kami menonton dari belakang dalang yang 'menempelkan' wayang kulit di kelir. Alunan Gending Sriwijaya membuka pentas kecil-kecilan itu. Gamelan berdenting berirama. Terkadang halus dan monoton, terkadang rancak terdengar.
Sosok yang ditampilkan pertama kali sesudah gunungan adalah raja. Ini melambangkan bahwa pimpinan harus selalu memberi contoh yang baik.
Cerita wayang dituturkan menggunakan bahasa Palembang tapi tampaknya 'setingkat lebih tinggi' dari bahasa sehari-hari. Sesekali telinga saya menangkap kata-kata dalam bahasa Jawa, seperti 'banyu' (air) atau 'di buri' (di belakang). Tak seperti di Jawa yang menghabiskan waktu semalam suntuk, durasi pementasan Wayang Palembang tak lebih dari 3 jam.
Sri Palembang (yang tampaknya satu-satunya grup wayang di sana) hanya mendapat panggilan pentas paling banyak dua kali dalam setahun. Itu pun di instansi pemerintah, bukan panggilan hajatan seperti dulu lagi. Kalah pamor dengan organ tunggal atau orkes dangdut yang tampil gemerlap.
Kesenian ini belum bisa kembali merebut hati masyarakat Palembang sendiri. Mungkin karena terlalu lama mati suri. Sedih rasanya kalau membayangkan harus mati suri untuk ketiga kalinya. Karena bagaimana pun kesenian ini merupakan warisan budaya yang terlalu berharga untuk dilupakan. █
Anggota Wayang Kulit Sri Palembang
Dalang: Kiagus Wirawan Rusdi
Saron: M. Hafizh
Gambang: M. Ali imron
Gendang: Ari Sandika
Gong besar: Ridwan
Gong kecil: Zainal
Kenong besar: M. Haris
Bonang: Abdul Hamid, Zamzani
Kecrek: Ki Agus Hidayatullah
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment