Santai Waeeee!

Category: Sepeda • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2009-12-14


Pada zaman Indonesia hanya memiliki satu stasiun televisi, dengan jam siaran yang sangat terbatas. Di Jakarta saja gedung tinggi bisa dihitung dengan jari, jadi bisa dibayangkan bagaimana sepinya kota tempat saya tinggal di ujung selatan Jawa Tengah.

Saya dibesarkan di kota kecil Cilacap. Tinggal di komplek perminyakan yang saat itu hanya terdiri dari 130 rumah dan hampir sebagian besar anak-anaknya adalah teman sebaya.
Ada semacam jadwal bermain yang tak tertulis, setelah mandi sore biasanya semua anak di komplek berkumpul di sekitar lapangan bola. Bermain bola, kasti, bentengan, cabut ubi, atau lompat karet. Saya selalu ikut bermain, walaupun selalu kalahan! Cuma balap sepeda 'prestasi' saya yang paling oke. Nantangin ngebut keliling komplek? Hayooo! Walaupun akhirnya bukan saya juga pemenangnya ha... ha... ha....


Semasa kuliah di Yogyakarta, kendaraan saya adalah sebuah sepeda federal. Selain jarak rumah kos dan kampus tak terlalu jauh, bersepeda di Yogya memang nikmat, mungkin lebih karena suasana kota yang tenang dan tidak diburu-buru waktu.

Di kota ini, berbagai kendaraan bisa berjalan memenuhi jalan yang sama. Bus kota, mobil pribadi, motor, becak, andong, sepeda. Semua berbagi jalan dan saling menghormati kendaraan lain. Jadi, begitu melihat motor atau mobil ngebut melintas, teriakan yang terlontar biasanya: "Nyantai wae, Maaas..."


Jauh berbeda dengan keadaan di Jakarta. Bus kota, mobil pribadi, dan motor semua adu kebut. Tidak ada yang mau mengalah. Kendaraan minoritas seperti sepeda, gerobak sayur terkadang cuma dianggap penghalang jalan. Semua orang merasa 'harus sibuk' dan berlomba dengan waktu, jadi semua kendaraan harus dipacu secepat-cepatnya. Padahal ya nggak bisa cepat juga kalau dimana-mana macet, bukan?

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment