"Panggil Saja Saya Wage!"

Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-11-14

Begitu kata Wage Rudolf Supratman pada Meneer Schultzen. Seakan ia risih terus menerus dipanggil dengan sebutan Rudolf. Nama 'Belanda' yang sering membuatnya diusir dari sekolah karena berkelahi dengan anak-anak Belanda.



Bendera merah-putih-biru berkibar mengiringi para tentara KNIL yang sedang apel pagi dan menyanyikan lagu kebangsaan Belanda. Wage kecil juga mengikuti apel pagi itu, dari atas pohon sambil bernyanyi Ilir-Ilir. Kelakuannya itu berujung sabetan ikat pinggang ayahnya, yang tentara KNIL.



BIOLA ADALAH JIWA

Semasa kecil Wage sudah berminat pada musik. Menjajal rebab
(alat musik gesek tradisional Jawa) sudah ia lakukan sejak lama. Jauh sebelum Willem van Eildik, memperkenalkan biola padanya.





Wage Rudolf Supratman (Rendra Bagus Pamungkas) tinggal di Makassar bersama kakak sulngnya.
Kepiawaian bermain biola membuat dirinya masuk dalam grup musik Black and White. Siang hari ia bekerja di sebuah kantor dagang. Di situlah ia tahu bahwa di Jawa mulai ada pergerakan pemuda, begitu juga di Makassar. Wage mendukung perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda, tapi ia tidak setuju perlawanan dengan kekerasan.



Saat memutuskan hijrah ke Bandung. Wage bermain biola di kafe, bekerja sebagai jurnalis di surat kabar Kaoem Moeda, dan bergabung dengan kelompok pergerakan. Kala itu Wage sudah dikenal sebagai komponis. Lagu ciptaannya, Dari Barat sampai ke Timur sudah dinyanyikan banyak orang.



"Itu hanya lagu. Orang-orangnya masih terpecah-belah," pernyataan Wage ini bisa menggambarkan bagaimana ricuhnya Kongres Pemuda 1926 berlangsung. Bahkan perihal penetapan bahasa persatuan pun tak berujung pada keputusan.



Pada 1927, Wage pindah ke Batavia bergabung dengan gerakan pemuda. Dan ia ditugasi menciptakan lagu yang mampu menyatukan bangsa. Sebuah beban berat bagi Wage, apalagi ia terus dicurigai oleh pemerintah Hindia Belanda. Adalah tugas Sukoco (Eko Pethel), anak bangsa kaki tangan Belanda untuk mengawasi dan melaporkan setiap gerak-gerik Wage pada Fritz (Teuku Rifku Wikana), polisi berdarah Indo-Belanda.





Lagu kebangsaan bertajuk Indonesia (Raya) selesai tepat pada waktunya. Rencananya lagu ini akan dinyanyikan diiringi biola sebagai penutup Kongres Pemoeda II pada 1928. Baru saja biola diletakkan di bahu, kongres diserbu tentara KNIL. Syair lagu bertajuk Indonesia ini dianggap berbahaya dan akan menyulut kemarahan yang bisa mengundang pemberontakan. 



"Memainkan musik dengan menghasut itu berbeda," kata Mohammad Yamin (Oim Ibrahim). Bodohnyalah para petinggi Belanda, mungkin kepala mereka sudah terlalu lama terpapar panas sinar matahari khatulistiwa sehingga tak sadar betapa anak bangsa pandai bermain kata. Lagu Indonesia (Raya) akhirnya boleh dikumandangkan hanya dengan syarat tanpa syair.



DARAH PRIBUMI

Setelah Kongres Pemuda II, lagu tersebut kembali dilarang berkumandang. Tapi apa daya, syair tiga stanza Indonesia (Raya) cepat tersebar ke pelosok negeri. Larangan itu bagai menambah kayu pada bara api yg sudah terbakar. Kemerdekaan bukan impian, Indonesia merdeka adalah cita-cita.



Suatu malam Sukoco datang dan membocorkan rahasia pada Wage bahwa pemerintah Hindia Belanda akan berusaha keras membawa Wage ke penjara. Wage bertanya mengapa Sukoco memberitahunya.



"Mungkin karena kita sama-sama pribumi," jawab Sukoco.

"Kita memang sama-sama pribumi, tapi kita berbeda. Aku hidup untuk bangsaku," jawab Wage yang bagai tamparan keras di muka Sukoco.



Wage seperti tak punya rasa takut. Dalam keadaan diincar oleh pemerintah Hindia Belanda, ia terus berkarya. Lagu Raden Ajeng Kartini tercipta. Perawan Desa, salah satu buku propagandanya tercetak sudah. Walau beresiko menjadi buronan pemerintah Hindia Belanda.





YANG PAS & YANG KURANG

Kostum yang dikenakan para pemain disesuaikan pada zamannya. Jas-jas yang agak kusut, longgar kebesaran pada lengan dan pinggang saat dikenakan para anak bangsa yang rata-rata berbadan kurus.



Lokasi syuting banyak dilakukan di kawasan kota tua Semarang.
Mono Diep Huis salah satunya, sebuah gedung cagar budaya berlantai 3, yang masih lekat pada ingatan saya. Gedung dengan banyak ruang ini dipenuhi dengan perabot-perabot antik mirip suasana gedung perkantoran zaman Hindia Belanda.





Satu dua kekurangan tetap ada, seperti peran tukang loak yang menggunakan baju khas Tionghoa namun muka dan logatnya terlalu 'Jawa'. Beberapa adegan di awal film juga yang menurut saya terlalu cepat berganti. Menampilkan Wage yang berpindah-pindah kota dari Batavia, ke Jawa Barat, lalu ke Makassar. Tanpa penjelasan lebih dalam dialog.



Terus terang saya bertanya-tanya mengapa Wage tinggal bersama seorang lelaki Belanda? Barulah kemudian saya tahu lelaki Belanda itu adalah Willem van Eildik, kakak ipar Wage.



Tapi tak ada yang lebih mengganggu daripada nama-nama pemain yang berderet scroll-up di adegan awal film. Persis film-film Indonesia sebelum tahun 90-an. Macam takut tak dibaca penonton kalau diletakkan di akhir film.



Untungnya kekesalan itu terhapus dengan banyaknya pemain kulit putih yang memerankan orang Belanda.
Kalimat berbahasa Belanda 'berhamburan' dari awal sampai akhir. Lancar pula diucapkan oleh Wage, Fritz, dan pemain-pemain lain.
Dan entah mengapa sampai akhir film saya terus berharap Rudy Wowor muncul di salah satu adegan film, ternyata tidak ha... ha... ha... ha....



Kukejar ke mana pun kau berada. Begitu saya menggambarkan love and hate relationship antara Wage dan Fritz. Sebenarnya sebagai penonton saya lebih suka bila film diakhiri dengan adegan ekspresi kegundahan Fritz terus bingung pada asal-usul sebenarnya, pada darah pribumi yang mengalir dalam tubuhnya. Pasti lebih dramatis! Tapi soal ini, sutradara punya kuasa....



Sebagai film sejarah, film arahan John-de Rantau ini layak ditonton dan harus tetap diacungi jempol. Menampilkan pribadi Wage Rudolf Supratman yang rendah hati, tidak pernah ingin menonjolkan diri. Yang selalu bersembunyi dari sorotan, tapi tampil sebagai propagandis sejati. █



Foto: Dokumen Film Wage

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment