Ikat Kepala dari Ratenggaro
Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-11-07
Kubur batu di kanan-kiri jalan menjadi tanda bahwa Kampung Adat Ratenggaro sudah dekat. Namun, di depan gerbang masuk, mobil terhenti oleh kerumuman orang yang berbalut kain tenun warna-warni. Apakah ini penyambutan buat saya?
Budaya zaman megalitikum ini masih terpelihara baik di Ratenggaro.
Diambil dari gunung, dibawa dengan upacara dan diiringi doa-doa. Ratenggaro sendiri berasal dari kata 'Rateng' yang berarti kuburan, dan 'Garo' adalah nama suku Garo. Konon, pada zaman perang antar suku, suku yang kalah dibunuh di tempat dan langsung dikuburkan. Jadi tak heran ratusan kubur tersebar di jalan masuk desa.
Kubur-kubur batu di sekitar Kampung Adat Ratenggaro.
DISAMBUT KUDA
Kampung Adat Ratenggaro terletak tak jauh dari pantai. Berada di wilayah Umbu Ngedo, Kecamatan Kodi Bangedo, Sumba Barat Daya. Ditempuh selama 1,5 sampai 2 jam berkendara dari Tambolaka.
Dari kejauhan tampak atap-atap rumah tradisional berbalut alang-alang (rumput kering). Tinggi menjulang bak menara. Makin tinggi puncaknya, makin tinggi pula tingkatan sosial si empunya.
Begitu saya keluar dari mobil semua mata tertuju pada saya. Sebagai pendatang, tampilan saya sangat berbeda dengan mereka. Perempuan berkepala botak ini dalam sekejap mengundang beberapa orang berkerumun mendekat. Mereka mengiringi ke mana pun saya pergi. Menyapa dalam bahasa Inggris sepatah-sepatah, bertanya asal saya, sesekali melontarkan celotehan dalam bahasa setempat yang tak saya tahu artinya.
Beberapa lelaki berkuda mendekati saya, menawarkan bila saya hendak menyewa kuda untuk dinaiki atau sekedar berfoto. Hanya Rp20.000 saja. Dengan halus saya menolak tawaran mereka. Walau sebenarnya ingin, tapi pasti saya bakal salah tingkah ditatap mata orang sekampung. Saya belum siap mental. Ha... ha... ha... ha...
Saya mendekati sekelompok ibu yang duduk di teras salah satu rumah. Tapi ternyata mereka hanya tamu (keluarga) yang datang dari desa tetangga, diundang untuk menghadiri upacara. Sementara wanita-wanita Kampung Adat Ratenggaro sibuk di dapur umum. Di bawah naungan tenda terlihat asap mengepul dan para lelaki muda sibuk membantu membagikan nasi.
MINIMNYA ACARA BUDAYA
Sayangnya, karena harus melanjutkan perjalanan ke Sumba Timur, waktu saya berkunjung di Kampung Adat Ratenggaro menjadi sangat terbatas. Padahal kalau bisa, saya akan duduk seharian di desa adat itu sambil ikut ngobrol dan mengunyah sirih-pinang.
Seperti yang sudah-sudah, Sumba selalu menggadang-gadang Pasola sebagai acara wisata tahunan. Padahal menurut saya, acara semacam Angkat Kubur Batu ini pun sangat menjual. Tinggal bagaimana Dinas Pariwisata setempat menanggapinya. Karena acara semacam ini pastinya tidak diputuskan dalam sehari. Ada persiapan berbulan-bulan dan tanggal pelaksanaannya pun ditentukan jauh hari sebelumnya.
Toh sebenarnya bagi wisatawan tak perlu acara resmi dengan kata sambutan, tak perlu umbul-umbul. Bisa berbaur dengan masyarakat setempat, atau boleh ikut dalam ritual, sudah menjadi pengalaman tersendiri. Nah, kalau ada info waktu dan tempat acara berlangsung pasti para tour guide (se-Sumba) akan menggiring wisatawan ke sana.
MEMBAYAR SEMBUNYI-SEMBUNYI
Memanfaat waktu yang sempit, saya mampir ke sebuah rumah yang memajang banyak cindera mata, berupa ukiran dari kayu dan tanduk kerbau. Tapi mata saya lebih tertarik pada kain-kain yang disampirkan di bilah bambu.
Seorang lelaki paruh baya menghampiri saya. Perawakannya tinggi besar, ternyata kain-kain itu hasil tenunan istrinya. Ia menjelaskan beberapa kain ditenun menggunakan benang buatan pabrik. Sehingga kain yang dihasilkan agak keras dan kaku.
Hanya tiga kain ditenun dari benang yang dipintal sendiri. Lebih tebal, halus, lembut ketika diraba, dan tentu proses pembuatannya lebih lama. Harga kain-kain itu berkisar antara Rp350.000 - Rp600.000, tergantung pada benang, bahan pewarnaan, dan motifnya.
Selama saya melihat-lihat kain, giliran para lelaki yang mendekat. Tampaknya mereka penasaran mengapa saya bertanya-tanya soal kain lelaki, bukan kain perempuan. 'Gender' pada kain ini sebenarnya hanya masalah lebar kain. Kain perempuan biasanya sudah berbentuk sarung.
Para lelaki mengenakan kain tenun yang diikat di kepala. Sebilah parang terselip di antara gulungan kain di pinggang. Jangan salah sangka, walaupun mereka menatap saya dengan mata lebar, muka 'ketat' tanpa ekspresi, bibir merah dan mulut mereka terus bergerak mengunyah pinang, tapi ketika saya ajak berfoto semua tertawa dan sebagian menyingkir malu-malu. Ha... ha... ha... ha....
Selain dibuatkan ikat kepala oleh bapak penjual, saya penasaran juga dengan cara para lelaki Ratenggaro menggulung kain mereka.
Bersama mama penenun yang lupa saya tanyakan namanya.
Saya memutuskan membeli selendang berwarna oranye. Harga sepakat tanpa ditawar. Masalah baru muncul saat saya hendak membayar. Bagaimana saya mengambil uang dari dompet kalau banyak orang berdiri mengeliling jarak sehasta dari saya.
"Ooo, tidak apa-apa. Di sini tidak ada orang jahat," kata si bapak sambil tertawa, tapi tak juga ia menyuruh orang-orang pergi menyingkir.
Akhirnya saya mengalah, melipir ke bawah pohon, lalu membungkuk, mengambil uang dari dompet yang dirapatkan di dada. Saat kembali kepada bapak penjual kain dan membayar apa yang saya beli, para lelaki yang mengerubungi tertawa sambil bertepuk tangan. Tampaknya baru kali ini mereka melihat cara pembayaran sembunyi-sembunyi macam ini. Ha... ha... ha... ha.... █
BAGAIMANA KE SANA?
Lebih praktis (dan menghemat waktu) bisa menyewa mobil di Waitabula.
Silakan hubungi Erick Dopo (0853 3383 5818) harga sewa mobil Rp800.000 per hari (sudah termasuk BBM) bisa jalan-jalan dari Sumba Barat Daya sampai Sumba Timur. Kelar urusan!
──────────────────
Perjalanan mengeksplore Sumba (20 - 24 Oktober 2017) ini terselenggara atas dukungan #MahakaryaIndonesia. Foto-foto juga diposting di twitter dan instagram dengan hastag #MahakaryaIndonesia
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment