Jangan Malu Kalau Tak Paham Seni

Category: Seni Budaya • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-10-20

Pertunjukan ini diadakan di basement parkir. Tak ada kursi, penonton pun bebas duduk di mana saja. Tak ada panggung, belum terbayang di mana pertunjukan akan ditampilkan.



Pertunjukan dimulai dan penonton digiring ke salah satu pojok tempat parkir menghadap sebuah dinding bertulisan 'Loyalitas Tanpa Batas'. Beberapa pelakon mengecat tulisan itu. Menutupinya dengan cat berwarna putih. Adegan berlangsung dalam sunyi.



Lalu perhatian penonton beralih ketika terdengar suara mesin motor dinyalakan. Lampu-lampu motor yang menyala membuat pencahayaan ruangan menjadi dramatis. Penonton digiring lagi ke jalanan utama lain.



Bergantian dua orang menari di atas air yang tergenang, mulai menjejakkan kaki, berlari hingga berguling-guling. Sesekali air menciprat ke arah penonton. Adegan masih tanpa bunyi, sesekali berteriak keras.



Lalu ada sederet perempuan membawa keranjang belanja, berpapasan dengan para lelaki yang membawa gerobak semen. Ada pula mobil bak, yang membawa tabung oksigen. Seorang pelakon memakai selang oksigen lalu berpantomim memperlihatkan sedang memahat. Kemudian berhenti. Lalu bernyanyi bak rocker bersuara serak.



"Kamu ngerti nggak?" tanya saya pada Kande Dayinta, teman menonton yang di awal-awal pertunjukan bolak-balik membaca buku acara, dan dia menggeleng.



Saya jadi sadar, sudah salah sejak awal. Teater ini memang sudah terkenal.  Bukan penampil biasa. Mereka lebih menonjolkan seni bereksperimen. Teater ini menggabungkan seni gerak dan visual. Bukan teater dengan dialog dengan alur cerita yang mudah dipahami.



Saya lulusan seni rupa, hidup dan sempat pula bekerja di bidang seni, sesuai ilmu yang saya pelajari. Saya juga penikmat seni rupa dan seni pertunjukan. Tapi mungkin masih dalam taraf 'manusia biasa'. Jadi begitu disuguhi pertunjukan teater seoerti ini, langsung 'berkunang-kunang' rasanya. Merasa bodoh karena tak mampu menyambungkan
adegan satu dengan adegan lainnya. Kesal karena tak juga kunjung mengerti.



Yang salah memang saya. Karena tak mungkin kurator memberi lampu hijau terlaksananya pertunjukan. Karena menurut saya, untuk mencerna dan memahami seni pertunjukan eksperimental seperti ini memerlukan 'ilmu' tersendiri, imajinasi yang lebih untuk mengerti.



Tak masalah dibilang awam soal seni. Tapi yang jelas, pantang bagi saya meninggalkan ruangan saat pertunjukan berlangsung. Sebosan apa pun pertunjukan itu. Walau tidak pula lalu manggut-manggut seolah-olah mengerti apa yang mereka tampilkan.



Sikap saya ini merupakan penghargaan untuk para pekerja seni pertunjukan. Bagaimana pun jerih payah mereka harus dihargai. Proses yang mereka lalui tidak mudah. Mulai cetusan ide hingga menampilkannya di panggung. Banyak hal yang harus ditanggung. Itu saya acungi jempol! Usai pertunjukan jangan lupa beri tepukan tangan yang tulus. Kreativitas tak boleh mati hanya karena seorang penonton tak mengerti. Salut pekerja seni Indonesia! Salut! █

Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment