'Anak Termuda' di Keluarga Krakatau

Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-08-31

Saya bukan anak gunung! Melihat dari kejauhan puncaknya yang menjulang saja, rasanya badan ini langsung lelah. Tapi ketika diajak ke Anak Krakatau, pantanglah saya tolak. Kuat atau tidak mendaki, dipikirkan nanti!




Pemandangan matahari terbit yang diburu tak sesuai harapan. Walaupun bulatan kuningnya yang tertutup awan, tampak beda, mungkin karena disaksikan dari atas perahu motor di tengah perairan Selat Sunda.



Demi matahari terbitlah kami berangkat menjelang subuh dari Pulau Sebesi. Tapi tujuan sebenarnya adalah Anak Krakatau. Perjalanan ini bukan tanpa pengorbanan. Selama 2 jam perahu motor terus digoyang terhantam gelombang angin Timur. Berusaha tidur berbaring menjadi cara paling ampuh bila tak ingin memuntahkan semua isi perut ke laut.






Gelombang mulai berkurang saat perahu mendekati Pulau Panjang. Salah satu pulau 'keluarga' Krakatau. Di kejauhan tampak menjulang Gunung Rakata. Lebih dekat dengan perahu ada pulau dengan 'gundukan pasir' berwarna hitam, itulah Anak Krakatau. Di pulau itulah ujung perahu menyentuh garis pantai.



Karena tak ada dermaga di pulau Anak Krakatau. Semua penumpang harus turun menggunakan tangga kayu yang disandarkan di haluan perahu. Tangga itu terus bergeser mengikuti ayunan perahu yang sesekali terdorong ombak. Saat menjejak pasir, air membasahi kaki sebatas lutut, untung tadi saya mengikuti saran nahkoda untuk membuka sepatu terlebih dulu.



PENDAKIAN DI LERENG BERPASIR

Semua pendakian harus ditemani oleh jagawana, karena Anak Krakatau ini merupakan kawasan cagar alam.
(Baca: Anak Krakatau Bukan Tempat Wisata)
Mereka bertanggung-jawab atas keselamatan para pengunjung pulau. Pengarahan singkat dilakukan  sebelum pendakian, termasuk soal menjaga perilaku di kawasan.



Dimulai dari pantai, jalur yang didaki harus terlebih dahulu menembus pepohonan yang tidak lebat. Kemungkinan tersesat saat pendakian bisa dibilang tidak ada, tapi saat turun gunung biasanya rombongan akan terpencar-pencar. Bila hal itu terjadi, selalu ingat untuk berbelok ke kanan, begitu petunjuk jagawana.









Kami berjalan beriringan. Dari jalur yang dinaungi pepohonan lalu mulai menjadi semakin gersang. Beberapa tumbuhan tampak mati kekeringan tertimbun abu vulkanik yang terbawa angin saat Anak Krakatau 'batuk-batuk kecil'. Pepohonan berganti dengan lereng pasir berwarna hitam. Tak lagi ada pepohonan di sini. Dan pendakian pun dimulai.



Berjalan dengan kaki terbenam di pasir memang bukan hal mudah. Bagi yang bukan anak gunung, harus pandai-pandai mengatur nafas. Karena lereng yang landai berubah kemiringan menjadi 30 - 45 derajat. Makin menanjak.



Beberapa kali saya, berhenti di tengah pendakian, menemani Mollyta Mochtar, teman dari Medan yang harus lebih sering mengatur nafas, beristirahat sejenak, sambil menghapus keringat. Saat memutar badan menengok Molly dan teman-teman di belakang, saya berseru, "Wah, ada lauuut!"



Tentu saja ada laut! Gunung ini kan berada di Selat Sunda. Tentu saja dikelilingi laut. Di dekatnya ada Pulau Panjang dan Pulau Rakata, yang saya lihat tadi dari perahu. Sebenarnya ada satu pulau lagi, Pulau Sertung, yang tak nampak karena berada di balik gunung Anak Krakatau.






CUKUP SAMPAI PUNDAK BUKAN PUNCAK

Beruntung kami mendaki di pagi hari. Udara masih terasa sejuk saat matahari belum tinggi. Dalam waktu kurang dari setengah jam pendakian berakhir di pundak Anak Krakatau yang berada sekitar 150 meter di atas permukaan laut (mdpl), setengah dari puncak tertingginya.



Pundak Anak Krakatau berada di sebelah Selatan gunung. Berupa bukit memanjang. Sebuah cekungan besar memisahkan pundak dengan lereng gunung. Tampak jalur lahar yang kini sudah berupa tumpukan bebatuan seperti lidah terjulur dari puncak, menuruni lereng, hingga ke laut. Begitu proses meluasnya pulau ini.



Ngeri rasanya membayangkan di bawah kaki saya berpijak, ada magma yang menggelegak panas di bawah kaki saya. Walaupun dalamnya ribuan kilometer di bawah laut. Tapi di puncak Anak Krakatau masih ada bongkahan batuan, sisa lahar yang sudah mengeras, tapi panasnya masih mengeluarkan asap menandakan gunung ini tumbuh meninggi.





Dari puncak tampak jalur berwarna hitam. Itu bebatuan baru, muntahan lahar panas yang sudah dingin.






THE GREAT KRAKATOA

Letusan Gunung Krakatau Purba sudah disebut sejak 416 masehi, dalam kitab Pustaka Raja Parwa. Dalam teks berbahasa Jawa Kuno itu, Krakatau disebut Gunung Batuwara yang memiliki ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut.



Letusan gunung itu menyebabkan gempa, banjir (tsunami) di tanah Jawa, juga menutupi sinar matahari. Dahsyatnya letusan menyebabkan pulau Jawa terpisah menjadi dua, dan tersebutlah pulau Sumatera. Kejadian dalam sastra ini dikuatkan oleh pakar geologi Berend George Escher dan beberapa ahli lainnya.



Letusan Krakatau Purba menghancurkan badan gunung itu sendiri, membuat kaldera besar di bawah laut, seluas 7 kilometer. Sisa badan gunung menjadi Pulau Verlaten (Sertung) dan Lang (Panjang).



Masih di pinggiran kaldera, karena desakan vullanik dari dasar laut, muncullah Pulau Rakata di pinggir kaldera, pulau ini mengerucut dan menjadi gunung api. Setelah Rakata, muncul pula Danan, dan Perbuatan. Ketiga gunung ini berjajar berdampingan, membentuk pulau vulkanik, dan dinamai Krakatoa atau Krakatau.



Bayangkan! Sebuah gunung meletus saja getaran yang ditimbulkan pasti maha dahsyat, apalagi tiga gunung sekaligus! Dan kejadian itu terjadi pada 27 Agustus 1883. Gempanya menggetarkan tanah Jawa dan Sumatera. Menimbulkan tsunami di Selat Sunda, ombak setinggi 40 meter menghantam dan menelan sebagian tepian barat pulau Jawa. Suara letusan gunung ini terdengar sampai Australia, dan angin membawa serpihan abunya sampai ke Eropa.



MUNCULNYA GUNUNG BARU


Letusan itu melenyapkan Pulau Krakatau, Gunung Danan dan Perbuatan, serta metuntuhkan sebagian dinding Gunung Rakata.
Tapi kegiatan dalam perut bumi tak pernah berhenti. Setelah puluhan tahun, muncullah dataran baru di tengah kaldera raksasa sisa Krakatau. Selama 1927 - 1929, dataran ini terus tumbuh dan mengerucut. Lahirlah Anak Krakatau.





Gunung Rakata dari Anak Krakatau. Seperti ibu yang selalu setia menemani anaknya tumbuh dan meninggi.



Seperti 'anak-anak pada umumnya', Anak Krakatau pun menjadi anak yang aktif. Ia mengeluarkan lahar yang terus menumpuk di puncak. Ia bisa bertambah tinggi 5 meter setiap tahunnya. Sejak 'lahir', ketinggian yang tercatat: 9 mdpl (1927), 67 mdpl (1933), 138 mdpl (1960), 181 mdpl (1977), 250 mdpl (1992), 300 mdpl (2005), dan tahun ini diperkirakan sudah 350 mdpl.





Setelah menjejakkan kaki di Anak Krakatau, sudah pula tahu 'silsilah' serta bibit, bebet, dan bobot-nya. Jadi tahu bahwa Anak Krakatau bukan berasal dari sembarang gunung. Ia bagian dari sejarah dunia.



Anak Krakatau memang masih 'terbilang muda'. Di setiap letusan ia mengeluarkan kepulan asap (stromboli) yang membumbung tinggi di atas puncaknya. Sebuah daya tarik tersendiri dan menjadi salah satu pemandangan indah yang dicari. █



BALAI KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM

Jl. Z.A.Pagaralam No.1B, Bandarlampung, Lampung

Telepon: 0721 703882



---------------------------------------------



Perjalanan bersama blogger, fotografer, instagramer, dan youtuber ini merupakan kerjasama
Dinas Pariwisata Lampung dan Genpi Lampung. Foto-foto juga ditampilkan di twitter dan instagram dengan hashtag #LampungKrakatauFestival #LampungKrakatauFestival2017


Comments

No comments yet. Be the first to comment!

Leave a Comment