Menginjak Rumput Istana
Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-08-23
Sejak kecil setiap tanggal 17 Agustus, tepat jam 10 pagi, saya selalu menemani ibu menghitung dentuman meriam yang disiarkan melalui televisi. Setelah upacara selesai saya bertanya, "Bu, habis ini Presiden tidur siang?" Ibu mengiyakan dan saya percaya. Padahal jawaban cepat itu mungkin supaya saya tidak keluyuran main sepeda di siang bolong.
Beberapa hari menjelang 17 Agustus 2017 kemarin, sebuah pesan whatsapp dari nomor yang sama beberapa bulan lalu (baca: Tugas Negara vs Tugas Ibunda).
Nomor yang itu: Salam mbak. Mau tanya, untuk 17 Agustus ini Mba Terry ke manakah?
Saya: Belum ada rencana pergi-pergi. Paling nonton upacara bendera di depan TV.
Nomor yang itu: Kalau hadir upacara penurunan bendera di Istana, berminatkah?
Rasanya saya malah mau pingsan. Menjawab mengiyakan saja salah ketiknya berkali-kali.
SEPERTI MAU BERTEMU PACAR
Soal busana sudah dipikirkan dua hari sebelumnya. Nanti pakai baju kebaya warna apa? Mau pakai kain batik, songket, atau tenun ikat? Kalungnya yang mana? Gelangnya warna apa? Tas yang mana, lalu bingung ketika warna bros dan selopnya tidak senada. Hebohnya membongkar lemari pakaian, persis seperti mau ketemu pacar.
Untuk menuju ke Istana Merdeka. Saya memilih naik ojek online. Karena waktu tempuhnya biasanya cepat. Tapi saya tak biasa duduk menyamping jadilah ada proses 'mencincing' sarung saat hendak duduk di boncengan. Jadi kalau dilihat pinggang ke atas sudah cantik berkebaya, pinggang ke bawah gaya duduk seperti lelaki.
Di tengah perjalanan, si pengemudi ojek online mengaku bahwa ia belum pernah ke daerah Jakarta Pusat, tak bisa menggunakan GPS karena ia tak bisa membaca peta. Komplet!
Jadi demi sampai tujuan, sambil tangan kanan memegangi kain agar tidak 'berkibar-kibar', lengan kiri memeluk tas, dan tangan kiri menggenggam ponsel sambil membuka aplikasi peta.
KEHILANGAN UNDANGAN
Saat menerima undangan, sederet pesan dan peraturan juga disampaikan. Harus saya patuhi sebelum datang dan saat mengikuti upacara. Upacara baru dimulai jam 17.00, tapi saya disarankan datang jam 14.00, dan saya tepati.
Di bawah terik matahari dan udara Jakarta yang panas, para undangan yang berpakaian daerah berwarna-warni sudah antre di gerbang pemeriksaan. Sesekali kami saling menitipkan urutan antrean, mencuri waktu untuk berlari ke photo booth.
Saat gerbang masuk dibuka, hanya selebar badan orang dewasa. Semua undangan harus memperlihatkan lembar undangan untuk diperiksa dengan cermat oleh beberapa Paspampres (Pasukan Pengaman Pesiden) yang berjaga.
Berjalan menggunakan selop tinggi mencari tempat duduk yang sudah ditentukan (seperti tertera dalam undangan) sambil membawa tas berisi souvenir dan konsumsi ternyata cukup membuat saya kewalahan. Keringat langsung deras mengucur.
Karena bukan orang penting, tentunya saya tak bisa duduk di deretan paling depan. Beruntung masih bisa menempati bangku di deretan ke-7 dari depan. Duduk sambil membereskan tas, tiba-tiba saya baru sadar undangan yang tadi letakkan di atas kursi hilang!
Selain takut ketahuan tak ada undangan dan diusir dari tempat upacara, tapi lebih sedih karena wujud undangan itu bagi saya karena penting untuk dikoleksi. Panik juga. Mencari-cari di dalam tas sampai melongok ke kolong kursi.
Akhirnya saya nekad bertanya pada ibu di sebelah saya, "Ibu lihat undangan di sini tadi?"
Malu-malu dia mengeluarkan undangan dari tas souvenirnya. "Saya pikir itu undangan saya," katanya sambil tersenyum, seperti tertangkap basah. Kok, bisa? Kata saya dalam hati, wong dia sedang memegang undangannya untuk berkipas-kipas gitu.
AJANG FOTO-FOTO
Hampir semua undangan, termasuk saya, langsung berfoto dengan latar belakang Istana Merdeka. Tapi jangan sekali-kali menginjak rumput halaman istana kalau tidak mau ditegur dengan sangat tegas oleh pengawal kepresidenan yang 'bertebaran' berjaga di mana-mana.
Halaman rumput tak boleh diinjak sembarang orang karena sengaja dipersiapkan untuk upacara di tengahnya ada kolam dan tiang bendera yang dijaga oleh 4 anggota pasukan berseragam merah-putih, lengkap dengan senjata. Setiap 30 menit akan berbaris datang pasukan pengganti. Pertukaran tugas menjaga bendera sudah menjadi atraksi tersendiri.
Beberapa meter di luar pagar istana masyarakat berkumpul. Mereka bisa menyaksikan berlangsungnya upacara melalui layar lebar yang dipasang di luar halaman istana.
Padahal saya yakin gambar yang ditampilkan akan persis sama dengan di televisi. Tapi saya akui, sensasi berada di lokasi memang berbeda. Itulah mengapa banyak orang rela meluangkan waktu, datang dari jauh, berpanas-panasan demi melihat menonton upacara berlangsung.
PRESIDEN KITA SELEB BANGET!
Menjelang jam 16.00 mendadak terdengar sorakan dan tepuk tangan. Presiden Joko Widodo muncul dikeliling para pengawalnya. Nah, sejak itu jangan harap bisa SMS, whatsapp, atau posting foto di media sosial. Semua sinyal hilang. Bleb!
Dari layar besar saya melihat beliau berjalan menyusuri barisan undangan di sisi Barat (barisan di mana saya duduk). Untuk Presiden yang satu ini, tampaknya semua orang tak merasa harus jaga image. Para undangan langsung menyerbu maju ke depan,
berebutan berjabat tangan, menyerobot kerumunan untuk bisa berfoto. Beberapa ibu-ibu berkebaya dan bersanggul rela naik ke atas kursi, sekedar melambaikan tangan sambil bersorak-sorai. Tapi belasan pengawal kepresidenan memang sudah mengantisipasi keriuhan seperti ini.
Presiden RI ke-7 ini memang luar biasa, tiba-tiba beliau menuju gerbang. Berhenti dan tampak berbicara sebentar dengan para pengawal. Beberapa menit kemudian gerbang dibuka. Hebohlah masyarakat di luar gerbang.
Sempat berjabat tangan dan menyapa masyarakat umum tampaknya membuat Presiden Jokowi gembira Senyum beliau tambah sumringah. Dan saya yakin itu bukan pencitraan, karena perlakuannya tulus dari hati.
UPACARA MENGHARU BIRU
Jam 17.00 tepat upacara dimulai. Paspampres menyebar di antara undangan. Bila tak diperintahkan, undangan tidak boleh berdiri, harus tetap duduk di kursi. Dilarang memotret selama upacara berlangsung karena prosesi ini harus diikuti dengan hikmat.
Angkatan bersenjata berbaris masuk serentak membentuk kelompok-kelompok. Angakatan Laut, Angkatan Darar, Angkatan Udara, Kepolisian, Marinir, dan Pasukan Pengawal Presiden. Semua postur setara, tegap sempurna.
Pasukan Pengibar Bendera mulai berbaris masuk halaman istana. Prosesinya sama dari tahun ke tahun yang saya lihat di televisi. Sampai ketika Sang Dwiwarna siap diturunkan. Semua yang hadir di situ harus mengangkat tangan kanan dalam posisi memberi penghormatan. Alunan instrumen Indonesia Raya mulai terdengar, tanpa diperintah para undangan menyanyikan syairnya. Duh, meleleh air mata saya.
Ketika lagu Indonesia Raya selesai. Terdengar sorakan gemuruh masyarakat yang menonton di luar pagar. Sebenarnya, kalau tak ingat ada di halaman Istana Merdeka, saya pun ingin ikut bertepuk tangan.
Dari layar lebar saya melihat petugas Paskibra yang melipat rapi Sang Dwiwarna. Meletakkannya di atas baki, dan mengelus bagian atas bendera dengan lembut. Sekali lagi air mata saya meleleh. Betapa besar cintanya pada negara, ia memperlakukan Sang Merah Putih seperti sebuah nyawa.
GEMBIRA SAMPAI AKHIR
Upacara penurunan bendera memang selesai setelah Presiden RI beserta ibu dan Wakil Presiden RI beserta ibu beranjak dari kursi dan meninggalkan teras Istana Merdeka. Tapi sebenarnya belum selesai. Ada prosesi pengembalian' bendera negara dari Istana Merdeka ke Monumen Nasional (untuk disimpan).
Dibawa dalam kereta kencana. Diiringi pasukan drumband tentara, pasukan berkuda, dan pasukan yang membawa bendera-bendara kerajaan adat dan suku di Nusantara. Duh, merinding rasanya!
Begitu digaungkan bahwa rangkaian upacara selesai. Sebagian besar undangan, termasuk saya, menyerbu lapangan rumput istana. Kembali berfoto-foto, walaupun hari sudah mulai gelap. Selain berfoto dengan para pasukan penjaga bendera, ada hal lain yang penasaran saya coba. Menjejakkan telapak kaki di atas rumput istana ha... ha... ha... ha..... █
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment