Tugas Negara vs Tugas dari Ibunda
Category: Segala Rupa • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2017-07-04
Pada suatu siang, 4 hari menjelang lebaran lalu, seseorang menghubungi saya melalui instagram message, meminta nomor yang bisa dihubungi. Entah siapa, saya belum kenal. Tapi selama ada peluang pekerjaan, nomor telepon pasti saya berikan.
Pesan melalui whatsapp baru datang keesokan pagi. Bertanya alamat surat-menyurat dan langsung saja saya kirimi alamat e-mail. Padahal ternyata yang diminta sebenarnya alamat rumah ha... ha... ha... ha....
Dari pembicaraan singkat di whatsapp, saya baru tahu bahwa yang menghubungi saya adalah orang dari Istana Negara. Kemudian saya ditanya, apakah saya punya waktu sore itu untuk ikut acara buka puasa bersama di Istana Negara?
Tentu saja perasaan saya kacau-balau antara kaget bercampur gembira. Bagaimana tidak? Ini kesempatan bertemu dengan Presiden RI, walau entah ditempatkan di kursi yang mana, tapi paling tidak bisa duduk semeja makan bersama. Tapi sedih juga. karena saya sedang tak berada di Jakarta.
Untuk beberapa menit otak saya berfikir cepat. Sebenarnya saat itu saya sedang berada di rumah orang tua saya di Bandung. Kalau pun harus kembali ke Jakarta masih cukup dekat. Bahkan membeli kemeja putih untuk acara pun masih sempat. Masalah bagaimana kembali ke Bandung naik apa, ya dipikirkan nanti saja.
Sempat bertanya dalam hati mengapa pula undangannya mendadak. Padahal baru kemarin saya meninggalkan Jakarta. Tapi ya, harus dimaklumi, mungkin di antara jadwal Presiden yang sangat padat, tetiba beliau mendapat wangsit ingin berbuka puasa bersama para blogger dan penggiat media sosial? Mana saya tahu. Yang jelas semuanya pasti sudah ada protokolernya.
Sambil memikirkan jawaban, saya melihat baskom berisi cabai giling di hadapan saya. Sedari pagi ibu meminta saya menghaluskannya lagi untuk dipakai membuat sambal goreng buncis dan sambal goreng ati. Menu yang selalu beliau masak saat lebaran. Nah, bila saya pergi mendadak ke Jakarta hari itu, siapa yang akan membantu?
"Wooooooh, saya sudah mudik mas," balas saya lengkap dengan 5 emoticon berurai air mata ha... ha... ha... ha....
Anggaplah kali ini saya belum beruntung, tak seberuntung teman-teman lain yang terundang dan bisa datang. Tapi terus terang, memutuskan untuk tidak hadir dalam acara di Istana Negara memang berat. Berlapang dada itu tidak mudah. Ikhlas itu susah.
"Artinya belum rezeki. Mungkin rezekinya akan datang lain kali," begitu kata ibu. Beliau tahu anaknya masih gundah. Mendengar perkataan ibu, mendadak dada ini rasanya plooong, lega rasanya. Menghaluskan sebaskom cabai giling pun saya anggap 'tugas negara', tugas mulia dari ibunda.
Puasa berakhir dan hari raya sudah lewat. Saya kembali ke Jakarta dan hari itu pak pos datang ke rumah menyodorkan amplop tanpa perangko dengan lambang Garuda di pojok atas. Secepatnya saya buka dan selembar kartu ucapan bernuansa ungu; bergambar bulan sabit, dan tulisan Selamat Idul Fitri.
Lembaran di baliknya hanya berwarna putih. Di bagian atas ada lambang bintang berwarna emas dengan lingkaran padi dan kapas. Persis di bawahnya ada tulisan: Presiden Republik Indonesia.
Ir.H.Joko Widodo dan keluarga mengucapkan
Selamat Idul Fitri 1438 H
Mohon Maaf Lahir Batin
Lalu diakhiri dengan tanda tangan beliau. Tanda tangan yang membuat saya cepat-cepat membuka google utnuk mencocokkan. Karena sempat terfikir ada kawan yang iseng memberi kartu ucapan palsu ha... ha... ha... ha....
Tepat dua minggu sejak ajakan berbuka puasa bersama di Istana Negara tak bisa saya hadiri. Kartu ucapan ini menjadi hadiah hari raya yang luar biasa. Akan saya simpan lengkap bersama amplopnya. Hampir seharian kartu itu saya pandang-pandang. Berkali-kali saya perhatikan tanda tangan Presiden RI yang tertera di kartu. Warna hitamnya bukan hasil cetakan tapi berasal dari tinta pulpen. Berarti Presiden menandatangani sendiri setiap kartu yang beliau kirimkan. Oalaaaah, Pak'e baik beneeeeer! Matur suwuuun! Sugeng riyadi! █
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment