Satu Hari di Saparua
Category: Jalan-jalan • Author: Terry Endropoetro • Published on: 2012-10-31
Saparua, sebuah pulau di gugusan pulau Seram, Ambon, Haruku, dan Nusa Laut. Satu hari di sana memang tidak cukup, terlalu banyak tempat yang harus dikunjungi. Tapi paling tidak, saya sudah menjejakkan kaki di kampung halaman Pattimura.
KAPAL CEPAT KE SAPARUA
Ada dua kapal sandar berjajar di kanan-kiri dermaga. Satu menuju ke Saparua, satu lagi ke Masohi (pulau Seram). Agak tidak mungkin salah naik kapal, karena di pagar masuk dermaga petugas akan menunjukkan kapal yang harus dinaiki sesuai tujuan. Kalau masih bingung juga, silakan bertanya pada para pedagang atau kuli angkut di sekitar kapal, mereka akan memberi tahu kapal yang mana yang akan menuju kemana. Sebuah papan kayu diletakkan sebagai jembatan antara dermaga dengan kapal. Pagi itu air laut masih pasang, sehingga posisi jembatan hampir sejajar. Tapi bila air laut sedang surut, kemiringan papan bisa mencapai 45 derajat.
Tiket yang kami beli adalah tiket kelas ekonomi. Letaknya di kapal bagian bawah yang terbagi menjadi dua ruangan. Ruangan di kelas ekonomi bagian belakang agak panas, mungkin karena sudah penuh sesak dengan penumpang. Sementara yang di bagian depan, masih banyak tempat duduk bersandaran empuk yang kosong. Kami memilih tempat duduk di deretan paling depan, yang mempunyai ruang cukup luas untuk meletakkan ransel, dan kaki pun tak harus tertekuk sepanjang perjalanan. Angin sepoi-sepoi masuk dari sebuah pintu terbuka yang menuju haluan.
Suara ramai di dermaga masih terdengar, bergantian dengan para pedagang di dalam kapal yang hilir mudik menjajakan permen, kacang, roti hingga kue anti mual yang ternyata berupa martabak dan pastel. Bukan saja makanan yang ditawarkan, pulsa elektronik pun ada. Beginilah suasana kapal cepat tiap harinya, yang hanya beroperasi 6 hari dalam seminggu. Hari Minggu adalah hari libur, tak ada kapal dari Ambon maupun dari Saparua, karena semua orang pergi ke gereja.
Tepat jam 09.00 kapal bergerak mundur meninggalkan dermaga. Pintu yang menuju haluan ditutup. Ruangan masih terasa sejuk, entah dari angin pendingin ruangan yang berhembus seadanya atau karena ruangan yang tak terlalu penuh. Beberapa saat kemudian, kapal berputar dan melaju dengan kecepatan penuh, Barulah saya sadar kenapa banyak penumpang memilih kelas ekonomi bagian belakang. Karena di bagian depan adalah haluan, tempat ombak menghantam dari depan, dan goncangan pun menjadi lebih 'aduhai'.
Perjalanan yang ditempuh hampir satu jam, tak terasa karena saya tertidur sepanjang perjalanan. Saat kapal memasuki teluk kecil dari arah selat, dari jendela yang kacanya sudah agak kusam tampak samar-samar pelabuhan Haria dan daratan Saparua.
Dari gerbang pelabuhan, kami naik oto ‐sebutan untuk angkutan kota‐, yang disewa setelah melalui tawar menawar harga. Kami berlima duduk di belakang, sementara supir dan temannya duduk di depan, seorang lagi menjadi kernet menjaga pintu. Musik dinyalakan, berdentum keras sepanjang jalan.
RUMAH PATTIMURA
Melewati salah satu jalan kecil di kampung Haria, di kanan-kirinya rumah-rumah berdinding kayu berdiri rapi dengan halaman yang asri tertata. Di Saparua, semua orang tahu letak rumah Pattimura. Sebuah rumah berwarna merah muda, dengan teras luas berpagar putih dan hijau muda.
Kami disambut dengan ramah oleh Franky Matulessi, ahli waris keluarga yang menempati dan merawat rumah peninggalan Pattimura. Kami dipersilakan masuk ke ruang tamu yang terang benderang karena sinar matahari masuk dari jendela kaca. Bingkai-bingkai disusun memenuhi dinding, memajang dokumen dengan huruf-huruf mesin ketik. Salah satunya adalah surat pengadilan Pattimura dengan tulisan tangan berbahasa Belanda. Bingkai lain berisi pengakuan Inggris yang mengakui Thomas Matulessi, ‐mantan sersan di resimen Inggris, sebagai 'kapten perang'. Ada juga peta Saparua yang menggambarkan lokasi pertempuran saat penyerangan pada benteng Duurstede. Yang paling menarik perhatian adalah gambar pataka ‐panji-panji pasukan Pattimura, yaitu sebuah perisai yang dibagi empat, menggambarkan pohon sagu, ikan, kerang, cengkeh dan pala, di bagian atasnya tampak gambar semacam benteng, sebuah tameng pasukan cakalele dan sebuah parang tampak melintang di belakang.
Ketika bung Angky, begitu beliau ingin disebut, meminta izin berganti baju, kami hanya mengiyakan tanpa mengerti maksudnya. Tak lama kemudian, beliau kembali dengan baju dan celana selutut berwarna hitam, selendang merah melilit pinggang dan kain merah sebagai ikat kepala. Baju kebesaran rakyat Maluku. Lalu kami diajak masuk ke sebuah ruangan, di dalamnya ada lemari sebuah lemari kaca berisi selempang, celana tenun, dan ikat kepala milik Pattimura.
Bung Angky, yang menceritakan perjuangan Pattimura dengan menggebu-gebu dan berapi-api, membuat saya benar-benar merasa bodoh karena sudah menyia-nyiakan pelajaran sejarah saat masih bersekolah dulu. Langsung terbayang, betapa gagahnya Pattimura kala itu. Seorang kapitan, pemimpin berkharisma dari negeri Haria. Anak muda keturunan raja Sahulau dari negeri Seram ini, menghabiskan masa mudanya masuk keluar hutan melawan dan menggempur kolonialisme Belanda. Penyerbuannya ke benteng Duurstede pada 1817 sempat membuat guncang kedudukan VOC di Ambon dan Batavia. Namun di tahun yang sama, Pattimura dikhianati, lalu ditangkap dan akhirnya meninggal pada usia 34 tahun di tiang gantung benteng Victoria.
BENTENG DUURSTEDE
Benteng ini dibangun Portugis pada 1676. Letaknya meninggi di atas bukit, di pinggir pantai teluk Saparua. Saat pendudukan VOC, benteng ini dijadikan benteng pemerintahan dan pertahanan, sekaligus menjadi tempat penimbunan cengkih.
Kami menaiki tangga, menuju satu-satunya pintu masuk ke dalam benteng. Lapangan rumput yang sangat luas menutupi tanah di dalam benteng. Ada beberapa bangunan yang masih berdiri, sebagian lagi hanya berbekas pondasi. Dinding benteng disusun dari batu dengan lapisan yang sangat tebal, lengkap dengan pelataran untuk tempat para serdadu VOC mengambil posisi membidik dan menembak musuh di bawah. Dulunya puluhan meriam berderet melindungi benteng, kini hanya tinggal beberapa saja yang tersisa. Entah mengapa, suasana sepi di benteng ini sangat mencekam, matahari yang tadi bersinar terik mendadak bersembunyi di balik awan mendung.
"Benteng Duurstede harus diserang, entah besok atau lusa...." Kalimat itu yang diteriakkan rakyat Maluku saat berkumpul membicarakan rencana perang. Penyerangan besar-besaran yang dipimpin Kapiten Pattimura adalah luapan dendam rakyat Maluku yang teraniaya. Ratusan prajurit dan penghuni benteng dihabisi tak bersisa. Hanya satu yang dibiarkan hidup oleh Pattimura, Jean Lubert van Den Berg, anak lelaki residen yang ditemukan bersembunyi ketakutan dengan sebelah telinga berdarah, hilang tertebas pedang.
Dari atas dinding benteng terhampar pemandangan indah. Pantai berpasir putih berbatasan dengan laut, membentuk garis melengkung memagari teluk. Saya putuskan duduk sejenak, melepaskan pikiran dari cerita sejarah dan masa lalu. Inilah saatnya menikmati laut dan langit biru.
SEMERBAK AROMA CENGKiH
Takjub! Itu kesan pertama saya sejak menjejakkan kaki di dermaga Haria. Karena bukan bau laut yang tercium, tapi aroma wangi cengkih yang merebak segar di mana-mana.
Kami datang ke sana pada bulan Oktober, saat musim panen cengkih hampir berakhir. Di setiap kampung yang dilewati, tercium aroma segar cengkih yang berasal dari bunga-bunga cengkih yang sedang dikeringkan. Mulai yang masih berwarna hijau, berubah menjadi kecokelatan, proses penjemurannya sendiri memakan waktu beberapa hari hingga warna bunga cengkih berubah menjadi merah kehitaman, tanda sudah benar-benar kering dan dapat diperjualbelikan. Selama itulah anak-anak 'libur' dulu bermain bola karena lapangannya dipakai untuk menjemur cengkih. Begitu juga motor dan oto harus hati-hati saat melintas di jalan raya, agar tak melindas cengkih-cengkih yang dijemur beralaskan terpal di pinggir jalan beraspal.
GERABAH DARI OUW
Supir oto mengantar kami ke rumah oma Ollin, salah satu pengrajin gerabah di kampung Ouw. "Tara biking janji dulu e, beta belum siap apa-apa," protes oma pada supir oto.
Tapi tidak siap bukan berarti tidak bisa. 'Ruang kerja' oma adalah sebuah bangunan kayu beratap daun rumbia, berlantai tanah yang menyambung dengan teras rumahnya. Sambil duduk di kursi kayu kecil, perempuan berusia 73 tahun ini meletakkan tanah liat di atas terpal, mencampurnya dengan pasir halus yang diayak, lalu menguleninya persis seperti sedang membuat adonan roti, sesekali adonan tanah liat diperciki air. Setelah adonan tercampur rata, diletakkan di atas piringan pemutar gerabah lalu dibentuk menjadi sebuah mangkuk kecil. Piringan berputar sesuai gerakan tangan oma membentuk gerabah, meratakan bagian dalam dan luarnya dengan tambahan adonan tanah liat, lama-lama mangkuk itu menjadi lebih besar.
Tidak ada penggaris, hanya telapak tangan yang dijadikan alat ukurnya, semua dibuat dengan 'rasa' tapi menghasilkan bentuk gerabah-gerabah dengan ukuran besar dan tinggi yang sama. Percaya atau tidak, proses dari menguleni sampai membentuk sebuah mangkuk selesai dalam waktu kurang dari 15 menit. Itu pun beberapa menit sudah dipakai oma Ollin untuk memarahi cucunya yang mengejar-ngejar ayam jago kesayangannya.
Mangkuk yang sudah jadi itu dibawa oma ke halaman rumah, lalu dibiarkan terjemur di bawah sinar matahari. "Bisa 2 atau 3 hari tergantung ada panas atau tida," jelasnya. Lalu oma menyusun batang-batang dahan pohon sagu kering di atas halaman berpasir. Beberapa mangkuk gerabah mentah dikeluarkannya dari dalam rumah. Gerabah-gerabah berbentuk mangkuk berbagai ukuran itu berwarna berwarna cokelat muda, ada pula yang berwarna putih kecokelatan. Semuanya disusun sedemikian rupa di atas dahan-dahan sagu kering, diselingi dengan daun sagu, dan ditutup dengan pelepah pohon sagu kering.
Api dinyalakan di bagian bawah tumpukan, asap putih mengepul dari sela-sela. Sesekali oma memasukkan lagi potongan dahan sagu kering, menjaga agar api tetap menyala. Kurang dari satu jam, batang dan daun sagu kering sudah hampir habis terbakar. Dengan menggunakan dua buah batang dahan yang dijadikan japit, oma mengangkat sebuah mangkuk besar, yang sudah berwarna cokelat dengan sapuan hitam yang tidak rata.
Mangkuk besar itu diletakkan di atas terpal plastik. Lalu oma mengambil sebongkah getah damar, ditumbuknya dengan batu hingga menghasilkan beberapa pecahan dan serpihan. Oma mengambil segenggam penih serpihan getah damar lalu diletakkan di dalam hele yang masih panas. Asap dengan aroma tajam getah damar langsung tercium. Dengan menggunakan batang sagu getah diratakan ke seluruh permukaan mangkuk agar mengilat.
"Ini hele namanya," jelas oma, "tapi kalau mau dipakai tempat biking papeda seng diolesi deng getah damar, nanti biking orang sakit perut.", tambahnya sambil tertawa.
Hele berdiameter 25 sentimeter dengan tinggi 15 sentimeter dijualnya seharga Rp25.000 itu masih terasa hangat ketika saya taruh di atas pangkuan, bagaimana membawanya di pesawat saat menuju ke Jakarta nanti saja dipikirkan. Telinga dan kepala yang tadi pengar akibat dentuman keras musik di dalam oto, kini sudah mulai terbiasa. Menikmati lagu-lagu Ambonia sambil memandang pantai di sepanjangg sisi jalan menuju Haria.
Terima kasih Attriya @A3ya, Eurekasari @eurekaditdot, Vicka @VickaNadayang, dan Irma @I_bollie yang sudah mengajak saya dalam perjalanan singkat ini.
Comments
No comments yet. Be the first to comment!
Leave a Comment